Mohon tunggu...
Santi Puspita Ningrum
Santi Puspita Ningrum Mohon Tunggu... Mahasiswa

accounting student with organizational experience in secretarial field. I am a person who likes administration and is interested in administrative management, besides that I have a desire to develop document management skills in an international scope. With my educational background and abilities, I am ready to contribute my time and competence.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Samudra yang Tak Pernah Meminta Kembali

23 Maret 2025   07:43 Diperbarui: 23 Maret 2025   07:43 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku bersandar di ujung dermaga, memandangi hamparan lautan yang terentang laksana untaian doa berwarna biru pekat. Ombak-ombaknya datang silih berganti. Tanpa lelah, tanpa keluh, dan tanpa berharap kembali. Seperti seorang ibu yang tak menuntut imbalan, hanya memberi dan merelakan.

Perahu-perahu mungil di kejauhan hanyalah bintik-bintik rindu yang mengapung, menanti rangkulan daratan. Tetapi laut berbeda; ia selalu rela ditinggalkan, selalu tulus menjadi tempat singgah yang tak pernah menanyakan kapan pulang.

Terbayang sosok ayah dalam ingatan. Wajahnya keras laksana karang yang setia menahan ombak, tapi hatinya selembut pasir yang menanti jejak kaki. "Laut itu sabar," ujarnya di satu senja yang lembut. "Ia tahu, tak semua yang pergi akan kembali. Tapi ia selalu membuka pelukannya, tanpa tanya dan tanpa syarat."

Sejak kecil, aku tumbuh bersama bisikan debur yang tak pernah jeda. Setiap pagi, ibu menitipkan bekal untuk ayah yang berlayar. Setiap malam, aku menunggu siluet kapalnya di bawah rembulan. Kadang ayah pulang dengan senyum penuh hasil laut; kadang dengan tangan kosong. Namun laut selalu menyelipkan hikmah: bersyukur atas yang digenggam, dan ikhlas atas yang terlepas.

Hingga suatu malam, badai datang menyapa dengan raungan angin serupa lolongan serigala lapar, langit menebal gelap seperti menelan cahaya. Malam itu, ayah tak kembali. Sejak saat itu, laut menjadi tempat aku menitipkan doa, sekaligus rumah bagi rinduku yang tak pernah sempat bersua.

Aku pernah marah pada laut. Mengapa ia harus menyimpan sosok yang paling kucintai? Mengapa ia tak mengembalikan ayah seperti hari-hari sebelumnya? Tapi laut tetap membisu, tak membela diri, tak memberikan jawaban. Hanya desiran ombaknya yang terus berbisik lembut: "terima... nak, terimalah."

Musim berlalu. Aku bertumbuh dan mulai memahami. Laut tak pernah menelan siapa pun; ia hanya meminjam. Kadang, ia menjaga jiwa-jiwa yang terlalu letih, mimpi-mimpi yang tak sempat kembali, atau doa-doa yang patah di tengah perjalanan.

Hari ini, aku kembali duduk di dermaga yang sama. Udara asin mengisi dadaku, mataku hangat seperti teh yang diberi kenangan. Di kejauhan, anak-anak kecil bermain pasir, riuh tanpa tahu bahwa laut menyimpan luka dalam diam.

Seekor camar melintasi langit, suaranya memecah sepi. Aku menutup mata, membiarkan angin membawa pesan yang dulu ayah bisikkan: "Menjadi manusia, nak, adalah belajar merelakan. Seperti laut yang melepas ombak, tahu ia akan kembali dalam wujud yang berbeda."

Aku teringat bait puisi yang tak pernah sempat kubacakan untuknya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun