Mohon tunggu...
Olahraga

Kisah Inspiratif Para Atlet Indonesia Pemenang Olimpiade

9 September 2016   13:46 Diperbarui: 9 September 2016   16:14 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Belum lama ini Indonesia berada dalam euforia kemenangan dari ajang olahraga paling bergengsi yang diadakan 4 tahun sekali yaitu Olimpiade. Tangis haru, ucapan syukur dan air mata menjadi saksi bisu atas pencapaian para atlet bangsa di Rio, Brasil. Salah satu momen paling mengharukan adalah ketika bendera merah putih berhasil berkibar di Rio dan lagu Indonesia Raya berkumandang tepat di saat Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Di balik semua kemenangan tersebut, terdapat kisah-kisah inspiratif dan penuh teladan bagi para kawula muda.

Rahasia Dibalik Kemenangan Tontowi Ahmad

 Nama Tontowi Ahmad atau yang akrab disapa dengan nama Owi ini semakin melambung saat ia bersama pasangan ganda campurannya yaitu Liliyana Natsir berhasil membuat Sang Saka Merah Putih berkibar di Brasil. Pemain bulu tangkis berusia 29 tahun tersebut tentu saja telah mengorbankan banyak hal demi mengharumkan nama Indonesia di ranah internasional. Meninggalkan istri, anak dan orang tua di rumah demi membela negara merupakan makanan sehari-hari yang harus ia lalui. Menunda bulan madu dengan istri tercinta demi berlatih untuk Asian Games pada tahun 2014 silam, juga bukti nyata pengorbanan seorang Owi.

Pengorbanan dan kerja kerasnya tidak sia-sia karena ia beberapa kali berhasil meraih emas untuk Indonesia. Ternyata di balik setiap kemenangan tersebut terdapat sebuah rahasia yang luar biasa. Rahasia tersebut adalah nasihat sang Ayah yang terus ia ingat saat ia merasa down dan gugup menghadapi lawannya. Membaca Ayat Kursi adalah salah satu petuah dari Ayahnya yang dipegang teguh oleh Owi, hasilnya ia akan menjadi tenang dan siap untuk bertanding. Bagi Owi, arti kemenangan pada Olimpiade di Rio ini adalah sebuah pembuktian bagi mereka yang kerap kali menyalahkan dan menjelek-jelekkannya saat ia gagal menyabet kemenangan pada setiap pertandingan yang ia lakukan.                                 

Kerelaan Hati Liliyana Natsir Meninggalkan Masa Muda Demi Negara

Jika kita memundurkan waktu beberapa tahun ke belakang saat kita berusia 12 tahun, kira-kira sedang apa kita saat itu? Hmmm, bermain Berbie dengan kawan-kawan sebaya? Mengejar layangan putus bersama teman-teman? Tentunya usia baru kanak-kanak hingga menginjak remaja adalah masa dimana kita mendapat limpahan cinta, kasih sayang serta perhatian dari orang tua kita.

Kehangatan sebuah rumah dan lezatnya masakan ibunda adalah dua hal yang harus dikubur dalam-dalam oleh seorang Liliyana Natsir saat dirinya memfokuskan diri untuk menjadi juara. Sejak usia 12 tahun, Liliyana harus rela berjauhan dari kedua orang tuanya karena ia harus mengikuti sederet pelatihan untuk kejuaraan yang akan ia ikuti. Bukan itu saja, Liliyana juga rela melepas bangku sekolah agar ia lebih fokus dalam berlatih dan mengumpulkan medali-medali kemenangan bagi Ibu Pertiwi. Tentu saja kenangan-kenangan manis masa remaja seperti pergi ke mall bersama sahabat-sahabat, menghadiri pesta ulang tahun, santai sore di kafe-kafe keren tidak sempat ia rasakan. Tetapi semuanya terbayar lunas saat Liliyana berhasil menggigit medali emas yang ia peroleh pada Olimpiade Rio tahun 2016 ini.

Eko Yuli Irawan, Sang Penggembala Kambing yang Sukses di Olimpiade Rio 2016

Lahir dan tumbuh besar di sebuah desa yang jauh dari kemudahan fasilitas tidak membuat seorang Eko Yuli Irawan putus asa. Atlet angkat besi yang berhasil menyabet perak di nomor angkat berat 62 kg putera pada Olimpiade Rio 2016 ini telah melewati masa-masa pahit sebelum ia mengecap manisnya kemenangan. Sebelum menjadi peraih medali tiga kali berturut-turut dalam setiap olimpiade, ia hanyalah seorang penggembala kambing.

Eko yang kini dibanjiri dengan berbagai bonus yang melimpah dari pemerintah tidak melupakan asal-usulnya. Ia tidak malu mengaku bahwa ia berasal dari keluarga yang kurang mampu dan harus menggembala kambing untuk mencukupi kebutuhan hidup. Namun kemiskinan bukanlah alasan untuk menyerah dan kalah sebelum bertanding. Meskipun Eko baru bisa berlatih setelah menggembala empat ekor kambing, ia tetap melakoni setiap sesi latihan demi latihan dengan serius. Ternyata, Tuhan telah menjawab doa dan mimpinya, dengan semangat dan kerja keras yang ia lakukan, sebuah medali perak berhasil ia hadiahkan pada hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 71.

Bentuk Cinta Sri Wahyuni untuk Indonesia

Kita sering kali menyuarakan bahwa kita adalah anak Indonesia dan sangat mencintai Indonesia. Namun apa yang telah kita berikan pada negara? Seperti apa bukti kecintaan kita pada tanah air ini? Mencintai negara tempat kita dilahirkan adalah hal yang dirasakan semua anak bangsa tidak terkecuali Sri Wahyuni, seorang atlet angkat besi wanita di kelas 48 kg putri. Bertanding dalam cabang olaharaga angkat besi memang bukan hal yang mudah, apalagi Sri Wahyuni hanyalah seorang remaja yang baru menginjak usia 21 tahun.

Rasa takut, lelah dan ribuan perasaan lainnya campur aduk dalam dada Sri saat ini berada di putaran final. Tetapi rasa cintanya yang besar dan tulus terhadap Indonesia membuatnya terus berjuang hingga titik darah penghabisan. Sri mengatakan bahwa saat ia merasa gugup ia akan mengingat Indonesia, negara yang ia cintai. 

Gagal mengangkat beban pada kesempatan pertama membuat Sri tidak menyerah dan mencoba lagi di kesempatan kedua. Namun dewi fortuna belum berpihak pada Sri, ia gagal meraih emas di arena Riocentro tersebut. Meskipun begitu, Sri berhasil membawa pulang medali perak dan yang lebih membanggakannya, banyak olahragawan Jepang memuji kekuatan Sri Wahyuni karena berhasil menyingkirkan atlet angkat besi asal Jepang saat perebutan medali perak.

Pantang Menyerah karena Keterbatasan Fisik ala David Jacobs

Sepintas memang tidak ada yang beda dari David Jacobs, seorang atlet tenis meja Paralympic yang telah berhasil memboyong emas pada Paralympic 2012 di London. Namun ternyata David mengalami kekurangan fisik berupa tangan kanan yang berukuran lebih kecil dari normal dan jari-jari yang sukar digerakkan. Sempat merasa minder akibat kekurangannya tidak membuat David berhenti untuk menggapai mimpinya sebagai atlet tenis meja difabel terbaik di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun