Mohon tunggu...
Santika Tika
Santika Tika Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Harapan yang Sirna

7 Mei 2013   08:32 Diperbarui: 6 Juli 2015   16:06 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Santika
“Hancur sudah segalanya”, ibu separuh baya itu mengusap pipinya yang dibasahi air mata. Ketika anak sulungnya pulang secara mendadak dan mengajaknya berdiskusi di dalam kamar  yang pengap. Berkali-kali ibu separuh baya itu meminta anaknya mengulangi ucapannya namun tetap yang di ucapkan anaknya tidak berubah. Tubuhnya bergemetar dan hanya mampu mengusap dada.
Sudah hampir sepekan sejak obrolan itu ibu Liana hanya diam di kamar sementara anak sulungnya semakin gelisah. Wanita kelahiran tahun 1969 ini tinggal di sebuah kampung di kaki Gunung Manglayang bersama suami dan tujuh orang anak. Kemiskinan bukan halangan untuk tidak menyekolahkan ke tujuh anaknya. Ibu Liana selalu bertekad harus bisa mengantarkan anak-anaknya sampai sukses, ya salah satu jalan adalah dengan menyekolahkan mereka. Ibu Suryati berjualan gorengan sementara sang suami bekerja sebagai buruh tani, ketujuh anaknya pun ikut membatu ekonomi keluarga dengan menjual gorengan di sekolah. Begitupun dengan si sulung. Sebutlah ia Melati. Melati tanpa rasa gengsi selalu membawa gorengan ke  sekolahnya, Melati memang anak yang rajin dan pintar, sejak SD hingga SMA predikat juara satu selalu tersemat padanya. Ia mendapat beasiswa penuh untuk bersekolah di salah satu sekolah kejuruan favorit di kota Bandung, SMK N 7 Bandung. Selepas lulus Melati membantu berjualan gorengan dan menjadi buruh cuci di samping menunggu panggilan kerja.
Tekad ibu Liana yang ingin menyekolahkan anaknya  rupanya di dengar oleh yang Maha Kuasa, ibu Liana mendapatkan harta warisan sepeninggal mertuanya. Tanpa berpikir panjang harta itupun di pakai untuk melanjutkan sekolah Melati ke perguruan tinggi. Rasa bangga menyelimuti keluarga ini, bahwa yang miskin mampu bersekolah setinggi-tingginya. Melati melanjutkan sekolahnya di Universitas Indonesia, di tahun pertama sungguh sangat sulit, uang yang ibu Liana punya tidaklah mencukupi kebutuhan Melati. Melatipun mencari pekerjaan dan semakin giat berusaha untuk mendapatkan beasiswa.  Pak Tono suami ibu Liana seringkali menyelipkan kebanggaanya di sela-sela obrolan dengan tetangga, ibu Liana kadang merasa risih oleh sikap suaminya yang terlalu berlebihan.
Namun godaan memang selalu datang menghadang meremukan jiwa yang bersinar. Mungkin Tuhan sedang menguji atau mungkin Tuhan marah. Si sulung yang selama ini menjadi kebanggaan bahkan menjadi panutan adik-adiknya. Kini sudah seminggu ada di rumah, ia telah mengambil cuti dari kuliahnya, ia mengurung diri di kamar menanti jawaban ibu Liana dengan gelisah karena sekarang perutnya mulai terlihat membesar.
Siapa sangka gadis lugu yang pintar, yang secara sepintas terlihat seperti santri, kerudung panjang dan jilbab yang selalu menutupi auratnya. Tutur kata yang lemah lembut dan ambisi yang menyala seakan padam entah kenapa. “Apa yang sebenarnya kau cari? Apa yang kau tuju? Kenapa bisa? Kenapa begini? Terjebak nista ! mau bagaimana sekarang?”, wajah ibu Liana mengguratkan kebingungan dan kekecewaan yang dalam, tatapannya kosong.
Hidup sendiri di sebuah kos-kosan di kota metropolitan yang penuh hingar bingar, jauh dari pengawasan orang tua membuat Melati  lalai, terbawa arus pergaulan bebas. Kini nasi telah menjadi bubur, tak ada alat yang bisa menghapus nama keluarga yang telah tercoreng, tak ada jalan yang bisa di tempuh dengan jalan suci. Janin yang kini berkembang tumbuh diperutnya adalah anak tak berdosa. Dengan tekad kuat Melati memilih untuk menikah dari pada harus membuat dosa yang lain.
Ibu Liana masih saja bungkam perihal pengakuan anak sulungnya itu. Hatinya hancur berkeping-keping. Peluh yang telah ia korbankan untuk anaknya hanya berakhir sia-sia, hanya berbuah cacian dan cibiran tetangga. Tak ada lagi kebanggaan, tak ada lagi harapan, kekecewaan terlalu dalam melukai hati hingga tak ada lagi semangat untuk membiayai anak-anaknya sekolah.
Melati yang semakin gundah karena tak ada respon lebih lanjut dari ibu Liana akhirnya Melati memberanikan diri berbicara dengan pak Tono di temani pacarnya, kemarahan pun tak dapat terelakan lagi. Dengan sedikit percekcokan dan perundingan sengit akhirnya pernikahanpun akan di gelar.
Tak ada percakapan lagi ibu Liana memilih meninggalkan rumah ketika ijab qobul di gelar. Tak ada sedikit pun perasaan ingin menemani dan turut dalam acara. “Itu bukan anaku” itulah ucapan yang ia lontarkan ketika beberapa tetangga menanyainya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun