Pada hari Penampahan Galungan, Selasa, Anggara Wage Dunggulan, umat Hindu bersiap menyambut hari suci Galungan, dengan membuat Penjor. Penjor memiliki makna rasa syukur atas segala anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa selama ini terhadap umat manusia.
Lengkungan penjor yang terbuat dari batang bambu yang melengkung dihiasi berbagai sarana upakara, bermakna bahwa dengan rasa syukur tersebut, manusia tetap tidak boleh sombong, menjaga kesucian hati, pikiran, perkataan, juga perbuatan, menghargai orang lain, menghormati leluhur, memelihara tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun, sesuai dengan kreativitas masing-masing yang berlaku secara Desa, Kala dan juga Patra.
Selain menghaturkan penjor, umat Hindu juga menyembelih babi yang sebagian dagingnya akan dibuat banten sebagai pelengkap rangkaian upacara. Pemotongan hewan ini bermakna simbolis membunuh segala sifat kebinatangan yang ada di dalam diri manusia.
Umat Hindu meyakini pada hari Penampahan ini para luluhur akan datang dan berada di tengah keluarga, hadir ke dunia, maka mereka menghaturkan banten, sesaji, suguhan yang terbuat dari buah-buahan, nasi, lengkap dengan lauk pauk, wedang kopi, lekesan (daun sirih dan buah pinang) juga rokok, sebagai simbol sambutan terhadap leluhur.
Pada hari Umanis Galungan, anak-anak dan remaja mengadakan tradisi Ngelawang, menarikan barong yang disertai dengan gamelan, berkeliling kampung, mengunjungi rumah demi rumah, (lawang ke lawang). Pemilik rumah kemudian keluar dengan membawakan canang yang berisi dupa dan sesari untuk dihaturkan. Tradisi Ngelawang diyakini mampu membersihkan aura negatif yang terdapat di dalam maupun di sekeliling rumah.
Ini semua merupakan simbol Genius Local Wisdom yang sudah berlangsung secara turun temurun, berlaku semenjak lama. Mengapa? Karena kearifan lokal ini mengajarkan kita berada pada satu ruang dan waktu kebersamaan, kemampuan pengendalian ego jika berkumpul dengan sanak keluarga dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda.
Ada yang tua dan muda, ada yang sering ditemui, ada yang bahkan ini merupakan pertemuan pertama, ada yang tanpa pengalaman dalam ritual keagamaan seperti ini. Dengan duduk bersama, tinggal bersama, melakukan aktivitas bersama, saling bertutur sapa, bertukar ceritera, akan mengenalkan kita pada karakter masing-masing, akan menjalin kerjasama dan kebersamaan yang sudah pasti terjalin dengan baik di kemudian hari.
Pulang kampung, mudik, tidak hanya ada bagi umat Hindu, namun juga umat lainnya. Bagaimana dengan umat yang tinggal di suatu daerah, tidak memiliki kampung halaman? Mereka tetap dapat saling berkunjung, mengucapkan salam, saling menyapa dan bersyukur atas segala kemudahan dan kelancaran yang telah diperoleh selama ini, merangkai kebersamaan hingga selanjutnya di masa depan.
Galungan tidak hanya mengajarkan kita akan makna bersyukur, namun juga makna kebersamaan, kerja keras, doa, cinta dan cita-cita di masa depan, dengan cara pengendalian ego, dengan cara menjalin diskusi dan kerja sama, dengan cara bersahaja, sederhana.