Siang ini, tak seperti hari-hari kemarin. Cuaca mendung telah menggantung di langit. Panas luruh telah menyelinap di balik awan-awan hitam yang menggerombol berdesak-desakan. Jalanan pun tampak sepi. Orang-orang lebih memilih berteduh daripada menantang gerimis yang sebentar lagi mengguyur tanpa ampun.
Di sudut jalan perkampungan itu, tampak sebuah rumah kecil berdinding tembok yang catnya telah mengelupas. Di depannya, terdapat sebuah emper kecil dengan kursi rotan berwarna cokelat usang dan berdebu. Rumah itu kelihatan tua dan diteduhi oleh pohon kelapa tua yang telah cokelat blaraknya. Di samping kiri dan kanannya, rumah-rumah tetangga tertata tak beraturan. Ada yang terlalu menjorok ke depan hingga menyentuh tepi jalan. Ada yang terlalu ke dalam hingga tanah lapang di depannya jadi halaman.
Sudah hampir setengah jam Wuri duduk di emper rumah dengan gelisah. Kursi rotan berdenyit-denyit mengikuti gerak kakinya yang mengayun pelan. Tidak biasanya, Laras, adiknya, pulang terlambat sesore ini. Wuri beranjak dari duduknya dan menatap jauh ke jalan kalau-kalau adiknya sudah tampak. Air hujan itu menghalangi pandangannya, samar-samar, dan tak seorang pun berjalan di sepanjang jalan itu.
"Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada laras," katanya pelan. Hujan tak kunjung reda, suara petir masih tersedak-sedak mengagetkan jantungnya. Hati Wuri semakin gelisah, ia berjalan mondar-mandir dan sebentar-sebentar ia kembali duduk di kursi rotan berdenyit itu. Lima belas menit pun berlalu, Wuri bertekad menyusuri jalan yang biasa Laras lewati setiap hari. Di ujung jalan, tepatnya di depan pasar Turi, Wuri melihat Laras ikut segerombolan pengamen kecil yang sedang bernyanyi di depan salah satu toko kelontong di pasar itu.
"Dik Laras, sedang apa di sini? Ayo pulang!" Wuri menarik lengan Laras secara paksa. Laras berusaha untuk melepaskan, tapi sia-sia.
"Mbak Wuri, Laras hanya ikut nyanyi."
"Ayo pulang!" kata Wuri tegas, dan Laras menunduk sedih. Sepanjang perjalanan Wuri hanya diam sambil terus memegang lengan Laras kuat-kuat. Bocah kecil itu menangis tanpa berani berkata apa-apa.
----
"Aku hanya ikut nyanyi, mbak Wuri" suara Laras terdengar serak dan terisak-isak. Kedua tangannya disembunyikan di sela-sela pahanya. Wajahnya tertunduk, ketakutan, dan badannya tampak kedinginan.
"Kalau hanya nyanyi kenapa mesti ikut mereka dan sampai sesore ini? Nyanyi dengan mbak Wuri 'kan bisa?" Laras masih menunduk dengan memainkan jari-jemarinya yang ia sembunyikan di bawah pahanya.
"Dik Laras tidak boleh seperti itu lagi!"