Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiada Maaf bagi Ahok?

20 Januari 2020   08:38 Diperbarui: 20 Januari 2020   08:47 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Basuki Tjahaja Purnama (cnbcindonesia)

Siapa yang tidak mengenal Basuki Tjahaja Purnama atau akrab dikenal Ahok. Politisi yang kini duduk sebagai Komisaris Utama PT. Pertamina yang sebelumnya pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta di periode tahun 2014 s.d 2017 meneruskan tongkat estapet Jokowi yang terpilih menjadi Presiden RI, sosoknya masih menarik perhatian publik.

Salah satunya prihal bagaimana Ahok melihat problematika Jakarta soal penanganan antisipasi musibah banjir dimana ia memiliki penilaian sendiri terhadap sisi "manusiawi".

Dikutip melalui laman Kompas.com dalam buku "Kebijakan Ahok" oleh Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Ahok, untuk mengatasi permasalahan banjir, normalisasi sungai dan waduk merupakan hal yang wajib dilakukan. Dimana nantinya terdapat wadah yang lebih besar untuk menampung air, termasuk sungai dan waduk dibuat lebih dalam dan lebar.

Adapun normalisasi sungai dan waduk tersebut tentunya tidak terlepas dari penertiban bangunan liar di sekitar waduk dan sungai. 

"Kebijakan penertiban inilah yang selalu dikaitkan dengan cara kepemimpinan saya yang disebut tidak manusiawi. Justru kalau saya membiarkan warga terendam banjir di setiap musim hujan lah yang tidak manusiawi," ujar Ahok.

Ahok menegaskan, saat normalisasi sungai, dirinya pun tidak asal menggusur warga di pinggir kali. Warga di bantaran kali direlokasi ke sejumlah Rumah Susun (Rusun) yang ada.

Menanggapi apa yang Ahok utarakan dalam bukunya mungkin tidak seratus persen warga Jakarta setuju dengan apa yang ia telah lakukan bagi Jakarta. Lepas dari kasus penistaan agama yang pernah menjeratnya, Ahok kerap kali mendapatkan sentimen negatif terhadap setiap tindak tanduknya disebabkan oleh karakteristiknya kala itu. Bahkan lini masa informasi prihal isi dari bukunya ini pun mendapatkan respon antipati dan mengundang perdebatan pro kotra antar netizen +62. Ckckck.

Jujur saja bahwa memang konotasi "penggusuran" tidak akan pernah sedap didengar di telinga. Sekalipun Ahok bersikukuh ia turut menyediakan relokasi tempat tinggal berupa Rusun bagi warga yang digusur guna mengantisipasi musibah banjir Jakarta, tidak dipungkiri alangkah berat kiranya untuk warga menggantikan tempat tinggal yang telah mereka huni bertahun-tahun lamanya.

Poin sisi "manusiawi" yang telah Ahok upayakan tentu bagi pihak yang tidak mengidolakannya dianalogikan sebagai tindakan sewenang-wenang dikarenakan mungkin saja ada warga yang tidak setuju direlokasi dan merasa diusir dari tempat tinggalnya.

Bagi Penulis hal di atas menjadi sebuah kekonyolan. Jika langkah Ahok kala itu menyediakan relokasi tempat tinggal bagi warga yang kerap ditimpa musibah banjir dinilai tidak manusiawi. Lantas bagaimana jika warga dibiarkan terendam banjir, hilang harta benda, bahkan nyawa maka bukankah itu menjadi petanda bahwa ada kelalaian atau tidak bertanggungjawabnya Pemprov DKI Jakarta kepada warganya. Apakah itu dapat disebut sebagai tindakan "manusiawi"? 

Atau apa memang ada persepsi lain prihal "manusiawi" dimana tidak menjadi masalah dengan kerugian yang warga terima akibat banjir? Toh dari tempo dulu Jakarta langganan banjir.

Apakah keengganan warga yang biasa terendam banjir untuk direkolasi bisa dijadikan suatu pembenaran agar Pemprov DKI Jakarta acuh kepada mereka? Biarlah mereka tenggelam, toh diminta baik-baik pindah pun susah. 

Apakah warga yang terendam mengharapkan ada solusi lain mengatasi banjir sehingga mereka tidak direlokasi tempat tinggalnya? Semisalkan menggeser, memasukkan air ke dalam tanah, dan lain sebagainya.

Merujuk dari apa yang Penulis bahas diatas maka pertanyaannya apakah hingga detik ini ada warga DKI Jakarta yang belum bisa move on untuk memaafkan Ahok? Apakah begitu salahnya Ahok hingga ia layak dibenci? Apakah memang sudah tertutup jalan untuk Ahok mengubah karakter dirinya agar menjadi lebih baik?

Penulis pernah mengatakan bahwa "manusia pembeci maka kebenciannya itu akan dibawa mati". Ya sekalipun Ahok tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, telah menjalankan masa hukumannya, dan terucap lewat sebuah buku, nampaknya masih sulit bagi sebagian pihak untuk memaafkannya. 

Belajar dari musibah banjir yang menimpa Jakarta dan wilayah sekitarnya, mungkin bisa dijadikan momentum baik untuk kita semua agar belajar untuk dapat saling memaafkan dan menyadari bahwa sehebat apapun manusia tetap memiliki kekurangan. Tak hanya Ahok, tak hanya Anies, tak hanya Jokowi, tak terkecuali diri Anda. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun