Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saya Miskin tetapi Tidak Radikal, Pak Menteri

3 Desember 2019   09:47 Diperbarui: 3 Desember 2019   14:32 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Radikalisme (suaradewata.com)

Setiap negara apakah itu Indonesia ataukah negara di seluruh muka bumi ini memiliki wewenang untuk mengantisipasi segala unsur baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dimana dapat mengancam warga maupun keamanan negara. 

Mengapa demikian? Ya karena setiap negara punya kewajiban "melindungi" rakyatnya sebagai bagian dari tugas pokoknya sebagaimana hal tersebut tercantum dalam UUD 1945 yang berbunyi "membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia".

Dalam cakupan ancaman, tentu kita semua ketahui melalui pemerintah bahwa ancaman terbesar bagi bangsa ini yaitu "Radikalisme dan Ekstrimisme".

Apa itu yang dimaksud Radikalisme dan Ekstrimisme? Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Sedangkan Ekstrimisme merujuk kepada individu yang melampaui batas, semisal melawan hukum, melanggar peraturan, melanggar norma dan adat istiadat, atau lain sebagainya.

Pada inti poin hubungan antara Radikalisme dan Ekstrimisme adalah individu maupun sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara melawan hukum. Dalam kaitannya kondisi apa yang Indonesia hadapi saat ini ialah mereka yang ingin menggantikan ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila dengan ideologi lain yang mereka yakini.

Tentu pertanyaannya sekarang adalah "bagaimana mengidentifikasi individu-individu yang terpapar Radikalisme dan Ekstrimisme"?

Apakah benar, orang-orang yang dilanda kemiskinan mudah terpapar Radikalisme dan menuntun mereka kepada tindakan terorisme?

Waduh, jujur Penulis hanya bisa geleng-geleng kepala dengan cara pemikiran demikian. Logikanya bagaimana suatu paham yang jelas-jelas bertentangan hanya berpengaruh kepada suatu golongan saja? Dan lebih tidak masuk akal lagi ditujukan kepada mereka yang secara finansial tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pak Menteri, tolong catat bahwa hidup dengan sedikit harta maupun berlebih tidak serta merta menjadikan seseorang Radikal. Saya (Penulis) orang yang tidak punya dan belum mampu mencukupi kebutuhan hidup Saya pribadi, tetapi Saya tidak berkeinginan tuh mengganti ideologi negara. 

Mungkin dalam segelintir kasus, faktor ekonomi dapat memungkinkan individu untuk melakukan tindakan melawan hukum. Akan tetapi mengganti ideologi negaranya maka menurut Penulis hanya orang-orang yang sakit batinnya saja yang mau melakukan hal tersebut.

Kalau Pak Menteri tetap kekeuh mengatakan kemiskinan merupakan akar dari Radikalisme maka pernyataan tersebut hanya akan menyiram muka pemerintah dimana memiliki tugas pokok yaitu mensejahterakan rakyatnya. Dengan kata lain, selama ini pemerintah secara tidak langsung menciptakan dan memupuk Radikalisme di Indonesia.

Kemudian Pak Menteri tahu berapa jumlah penduduk miskin di Indonesia? Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2019 sebesar 25,14 juta penduduk. Lantas coba bandingkan berapa jumlah teroris yang ditangkap oleh aparat berwajib hingga saat ini?

Jadi secara kesimpulan "kemiskinan" bukanlah akar dari Radikalisme dan jangan alasan "kemiskinan" malah jadi di kambing hitamkan. Logikanya, sudah hidup susah untuk apa lagi cari masalah?

Lalu bagaimana cara efektif mengantisipasi maupun menangkal Radikalisme ini? Karena ini merupakan suatu paham maka jelas bahwa penggiringnya adalah doktrin-doktrin dari sumber yang tidak bertanggungjawab. Artinya mereka berupaya mempengaruhi pola pikir orang lain dengan ideologi yang mereka yakini.

Tentu melawannya bukan layaknya murid dijemur di tengah lapangan dan diperintahkan untuk menghormat ke Bendera Merah Putih, diminta menghafalkan Pancasila dan butir-butirnya, ataupun menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia.

Begitupun juga bukan dengan sertifikasi Majelis Taklim maupun sertifikasi Ulama. Sedangkan keduanya berfungsi untuk menyehatkan batin para Umat.

Mengantisipasi dan menangkal Radikalisme ya tentu saja yaitu dengan cara perkuat ideologi bangsa. Apa yang mereka sanksikan terhadap ideologi Pancasila maka tangkal dan hadapi langsung. Sekat ruang-ruang dimana benih-benih kebencian terhadap pemerintah dengan cara memupuk bagaimana mereka agar percaya kembali kepada pemerintah dan ideologi Pancasila.

Maksimalkan fungsi para Alim Ulama agar mereka yang terpapar Radikalisme untuk kembali ke jalan yang benar. Dan yang terakhir tentu saja pemerintah jangan lupa akan tugas pokoknya. Logikanya bagaimana rakyat akan mencintai negaranya bilamana negaranya sendiri tidak memperhatikan nasib rakyatnya. Jika semua ini terpenuhi, Radikalisme hanya angin lalu karena rakyat Indonesia hidup sejahtera, damai, aman, dan tentram. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun