Mohon tunggu...
Sani fitriyani
Sani fitriyani Mohon Tunggu... Penulis - Peselancar dunia maya

Aku ingin begitu, aku ingin begini

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Era Medsos Babak Baru Demokrasi, Adikuasa di Tangan Rakyat

21 November 2018   07:38 Diperbarui: 21 November 2018   07:41 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika zaman reformasi, kekuatan Pers menjadi lambang demokrasi. Tidak ada yang bisa menghalangi mereka dengan tugasnya. Namun seiring berjalannya waktu fungsi Pers yang dulu dibanggakan mulai luntur ketika para penguasa membombarter tugas pers dengan teori pencitraan politik. Tak ayal saling serang kubupun dengan kekuatan pers masing2 kubu.

Fungsi kontrol sosial menjadi bias di tengah kekuatan pers yang sudah dibeli oleh penguasa yang mempunyai kepentingan politik. Alhasil tayangan mediapun tak lepas dari pencitraan dan saling menjatuhkan lawan politiknya.

Masyarakat mulai jenuh dan faham akan maksud kubu pers yang tidak sehat ini. Mereka menginginkan informasi yang sehat dan berimbang namun tidak di dapat di era ini. Ia memang tidak semua lembaga Pers seperti itu namun sebagian besar Media besar sudah terjamah kenetralannya oleh penguasa. Ya preambule undang- undang 1945 yang ikut serta mencerdaskan keidupan bangsa seakan dilabrak oleh penguasa yang memiliki kepentingan tertentu.

Di era pasca reformasi, media sosial menjadi trendsenter keterbukaan demokrasi. Setiap rakyat bisa dan bebas menyuarakan pendapatnya sesuai yang dia lihat dan dia rasakan. Kebersatuan rakyat di era keterbukaan ini menjadi bombardir pencitraan prnguasa. Ya sifat krisis menjadi senjata nuklir masyarakat milenial. 

Kekuasaan negara menjadi lebih menyusut, dan ada kesan, berkurang  daya kontrolnya. Pesan teks di Facebook, Twitter, YouTube dan Internet telah memunculkan reservoir energi politik yang mengemukakan relasi baru antara teknologi media baru, politik, dan kehidupan publik. Teknologi digital ini ternyata cukup "powerful" untuk dimanfaatkan dalam proses pembentukan opini dan berlangsungnya kegiatan di tengah kelompok-kelompok masyarakat.

Sosial media menjadi babak baru, kekuasaan yang paling tinggi memang milik rakyat. Pemerintah tak perlu marah karena memang tugas rakyatlah yang menilai kinerja kalian.  Ketika sebuah sistem dirasa jenuh dan bertentangan rakyat kini tak hanya bisa diam dan menerima keadaan. Masyarakat bisa bergerak dan menyalurkan pendapatnya di media sosial berseru dan bersatu. 

Hal ini juga sudah tertulis dalam UUD 19945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".

Namun perlu digaris bawahi kebebasan berpendapat disini juga harus sesuai noma dan obrolan yang bisa dipertanggungjawaka . Jangan sampai di era keterbukaan ini menyampaikan isu hoak yang tidak dipertanggung jawabkan. Ini tentu melanggar, jadi jadilah rakyat yang kritis, cerdas dan mempertanggungjawabkan setiap argumen tekstualnya. 

Sebilah pedang di tangan yang baik akan bermanfaat membela kebenaran, menumpas kejahatan dan menegakkan hukum. Sementara di tangan yang tidak tepat cenderung disalahgunakan untuk tujuan yang bisa membahayakan orang lain. Perilaku bermedia sosial sangat ditentukan oleh penggunanya. Di tahun politik 2018-2019 media sosial mempunyai peran yang amat strategis. 

Jadi cerdaslah menggunakan media sosial, karena di era ini siapa yang paling berpengaruh di media sosial ialah pemenangnya. Kontraduktif memang dunia nyata adalah dunia khayal dan dunia maya kini menjelma menjadi nyata. Pandangan media mayalah yang kini dianggap nyata oleh masyarakat.

Pola pikir masyarakatlah yang dapat menentukan sistem demokratis ini.  The power of media social benar- benar ganas. Masyarakat indonesia tumbuh menjadi masyarakat digital dan apapun bisa di poting di dunia digital.  Termasuk pemerintah dan kekuasaan. Jadi tak heran para politisi sekarang sudah memainkan media sosial sebagai media pencitraanya. Dunia dan kerja nyata tak lagi penting di era peradaban digital ini melainkan pencitraan publik di media sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun