Meningkatnya bidang IPTEKs secara menyeluruh di Indonesia, Asia, dan dunia berbanding lurus dengan kebutuhan terhadap keberadaan tenaga terampil, yang sudah menjadi harga mati. Termasuk pesaing yang datang dari luar, khususnya dari ASEAN melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)nya. Namun kualitas lulusan tenaga terampil khususnya SMK Â belum sepenuhnya selaras dengan tuntutan industri. Hal ini berdampak pada tingkat penggangguran lulusan SMK mendominasi bursa kerja. Melalui konsolidasi aktif dengan Kementerian/lembaga dan Dunia Kerja Dunia Industri (DUDI), kami merekomendasikan penguatan lingkar kebijakan publik yang mengikat dan legal formal terkait: pemurnian semangat/kinerja Pendidik, standarisasi sarana dan prasarana, uji kelayakan SMK, dan SMK binaan.
Pendahuluan
Ki Hadjar Dewantara menggarisbawahi Pendidikan sebagai seluruh tahapan pengembangan kemampuan dan perilaku manusia, juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan dalam proses memerdekakan sekaligus pendewasaan susila. Pendidikan diharapkan memerdekakan diri mengarah pada proses pendewasaan susila yang bermuara pada inovasi diri mengatasi permasalahan hidupnya. Namun, idealisme Proses Pendewasaan dalam Pendidikan tidak (selalu) berjalan sesuai harapan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pengangguran Indonesia periode Agustus 2017 dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,50 persen. Â Berdasarkan Berita Resmi Statistik No.103/11/Th.XX, 06 November 2017 -BPS, tercatat sebanyak 128,06 juta penduduk Indonesia adalah angkatan kerja.Â
Jumlah pengangguran bertambah 10 ribu orang, daerah perkotaan sebagai daerah perputaran roda perekonomian menjadi ranking pertama (6,79%) disusul desa dengan (4,0%). Walaupun dari segi persentase TPT turun sebesar 0,11 poin, fakta lain yang menyeruak  di lapangan akhir Agustus 2017, dominasi TPT lulusan SMK menduduki persentase tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya. Dengan capaian 11,41 persen, jumlah pengangguran dari lulusan pendidikan vokasi, baik sekolah menengah kejuruan maupun diploma I-III, membengkak setahun terakhir.Â
Sekitar11,41% Pengangguran terbuka ditempati oleh sekolah menengah kejuruan. Bulan ketujuh 2017, jumlah pengangguran mencapai 7,04 juta jiwa, dengan rasio perbandingan SD sebanyak 2,62%, SMP 5,54%, SMA 8,29%, Diploma 6,68%, dan Universitas 5,18%. Berbasis pada jenjang pendidikan, SMK mendominasi TPT Â rentang waktu 2016-2017.
Pun, lulusan SMK seyogyanya merupakan garda lapangan yang dicari bukan justru mencari pekerjaan. Lulusan SMK belum sepenuhnya terserap sebagai pekerja di dunia di Industri. Stigma "setengah matang" menjadi tanggungan dunia industri dalam menerima tenaga terampil SMK. Hubungan harmonis antara SMK dan Industri mempengaruhi bagaimana karakter dan skill (hard dan soft) siswa dapat terbentuk untuk menghadapi dunia kerja yang penuh tantangan dan persaingan. Pertanyaan menggelitik muncul, Apa lulusan SMK ini sudah benar-benar merdeka dan dewasa susila secara keilmuan? Atau tergolong lulusan normatif yang berpatokan pada Standar Kompetensi (SK) dan kompetensi Dasar (KD) semata tanpa adanya semangat magis?
Terhitung genap tahun 2017, Â data publikasi kemendikbud menyatakan ada sekitar 13.236 SMK dengan jumlah siswa diatas empat juta. Dengan berlebihnya suplai lulusan SMK, selaras dengan Rencana strategis jangka panjang tahun 2025 tentang pendidikan nasional, visi Indonesia diproyeksikan menjadi salah satu negara kejuruan (vokasi), tingkat besaran perbandingan atau rasio jumlah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berkisar 30-70 persen.
Deskripsi Permasalahan
Optimalisasi Kemesraan hubungan yang terjalin antara SMK dan Industri
Secara harfiah, SMK merupakan sekolah kejuruan yang memberikan spesialisasi sesuai tuntutan pasar yang mendominasi dan berkelanjutan terutama kebutuhan dari DUDI (Dunia Kerja Dunia Industri). Jika dirasa renggang, proses PDKT sebaiknya dilakukan secara intens sehingga dalam proses penyusunan kurikulum, proses pembelajaran, prasarana-sarana, dan evaluasi kegiatan pembelajaran dapat efektif dan efisien. Ketidakefektifan ini berdampak, secara holistik, terhadap program Link and Match, yang notabene merupakan kunci keberhasilan pendidikan dan dunia kerja. Memang tidak mudah mencari pasangan, tapi memasangkan dengan kriteria yang mendekati sempurna (relevan dan representatif) dapat menjadi patokan dalam pemilihan pasangan. Hal ini yang mengakibatkan standarisasi pendidikan kejuruan masih belum bisa seragam (sama-sama masak tempe tapi ada yang rasanya enak tapi ada juga yang rasanya hambar).
Sebagai Pihak ketiga, Apa upaya pemerintah dalam menguatkan Kemesraan SMK-Industri?