Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kertaji

30 Mei 2020   16:56 Diperbarui: 30 Mei 2020   17:09 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak disangka, sekian tahun tak bisa lagi jatuh cinta. Kini, keras hatinya luruh. Luluh tak berdaya, terpanggang api asmara yang telah lama padam. Sebagai seniman sekaligus aktivis sosial yang terkenal tegas dan berani. Kini dia telah termakan kisah yang sedari awal dibungkam dari kehidupannya. Si Bintik Hitam, dialah pemantik api yang telah lama padam.

Paham kesucian cinta yang membuatnya sangat berhati-hati mengarungi samudra cinta. Hingga, dia mengidam pandangan yang tak masuk akal. Dia menginginkan cinta yang tak terendus manusia. Baginya, cinta adalah semurni-murninya mata air gunung. Sangat jernih dan menyegarkan. Dia tak ingin energi cinta itu tercampuri tangan manusia yang terkadang jahil.

Memang dia sudah terlalu canggung dengan idiom kata yang banyak membius manusia. Kata cinta yang banyak membutakan jejiwa manusia. Membunuh kodrat insan yang tercipta di berbagai pendulum masa. Dia hanya berharap dan percaya pada sebuah keyakinan “Berpeganglah pada batin yang menggerakkan”.

Baginya, Cahaya itu pasti menolongnya. Menjadi suluh penggerak kehidupan. Penunjuk kehadiran cinta yang suci.

            “Bual! Cinta itu gombal, cinta itu gumpalan tisu bekas pakai! Itulah cinta” Begitulah Kata Lenceng ketika ada orang yang mendiskusikan kekagumannya akan cinta.

Dulu, logika menjadi sosok yang dia puja dan mempesona. Segalanya wajib terpikir dan terencana dengan matang dan penuh perhitungan. Urusan rasa, itu nomor sekian. Nyatanya, prinsip ini pula yang menjadikannya putus asa dan terluka. Dia lupa, semesta punya hak untuk berbicara. Yang tak mungkin bisa di logika.

Karaktek wajah yang begitu tegas. Tulang rahang yang begitu kentara. Kantung mata yang nampak samar menghitam. Rambut gondrong kucir kuda yang halus. Ditambah, nada-nada tegas saat dia berorasi. Penuh ketegasan dan keberanian. Sebab itu pula dia benar-benar enggan mengaku sebagai pesakitan cinta.

**

Sore di awal bulan April, dia bertandang sebagai pendatang di sebuah desa kecil yang jarang di kenal orang. Kertajinama desa yang mungkin sangat asing didengar telinga dan dilihat mata. Begitu pula pandangan pertama itu. Membangkitkan gelora yang lama terkekang sejak 15 tahun yang lalu. Getaran yang tak pernah dia rasakan. Pandangan yang menggetarkan jiwa. Memaksa hatinya berbicara perihal kata yang sangat dihindarinya: cinta.

Tak ayu, tapi mampu meneduhkan kalbu. Anggun namun hatinya seperti batu. Tak satu pun referensi dalam otaknya membenarkan gadis itulah idamannya. Begitulah anggapan Lenceng, yang telah menguntit gerak-gerik gadis asli desa itu.

Prilakunya, gaya busananya, bahkan setiap kata demi kata yang keluar dari mulutnya dianggap kiasan cahaya. Lenceng hanya bisa memandang dari kejauhan. Berusaha menyentuh tanpa meraba. Berdialog tanpa berbicara. Lenceng hanya takut kembali terbalut luka yang sedari awal dipendamnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun