Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jiwa Lokal Rasa Global "Prinsip Pancadharma Ki Hadjar Dewantara"

5 Januari 2018   02:12 Diperbarui: 5 Januari 2018   03:34 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Pada tanggal 7 Januari 1905 Dr. G. A. J Hazeu seorang petinggi Belanda yang berada di Batavia mengirimkan surat kepada Ki Wirapustaka yang saat itu menjabat sebagai MantriPamijen di Kapatihan, Surakarta. Dalam suratnya Hazeu menanyakan prihal penggunaan kata Jawa ndhasdan matadalam unggah-ungguh/speak levelBahasa Jawa. Ki Wirapustaka pun membalas surat Hezeu dengan menjabarkan jawaban yang diminta secara detail. Peristiwa ini menunjukkan antusianme dan ketertarikan orang Belanda terhadap Bahasa Jawa. Selain Bahasa, Hezeu pun banyak menanyakan berbagai macam budaya Jawa yang selalu ditanyakan kepada Ki Wirapustaka [1]. Namun, bagaimana minat anak muda untuk mempelajari Bahasa dan budaya jawa sekarang ? menurun atau meningkat ?  

Era modern ini menjadi tantangan bagi eksistensi lokalitas di Indonesia terutama bahasa dan budaya. Sudah tak terhitung jumlahnya Bahasa dan budaya daerah di Indonesia mengalami kepunahan. Menurut Tirto Suwondo ada sekitar 400 bahasa daerah yang berhasil dipetakan. Namun, hanya ada 13 bahasa yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta orang. 

Hal ini menunjukkan ancaman yang serius bagi warisan budaya dan bahasa Indonesia. Dilihat dari jumlah bahasa daerah yang telah berkurang drastis penuturnya memungkin budaya-budaya yang melingkupinya setiap bahasa daerah pun ikut punah karena tidak memiliki pewaris.  Mungkin, hal ini disebabkan hilangnya daya cinta dan kepedulian yang tertanam pada diri bangsa Indonesia terhadap kearifan lokal bangsa.

Para intelektual Indonesia pun cendurung berkiblat dengan bangsa asing dan menganggap remeh bila ada suatu ilmu yang diilhami dari budaya lokal. Menurut saya, anggapan itu merupakan anggapan yang sangat salah. Jika kita telusuri Bahasa Indonesia yang telah disepakati sebagai Bahasa persatuan merupakan hasil penggalian dari bahasa-bahasa daerah yang tersebar di Indonesia. Banyak sekali contohnya kata pancadan silayang berasal dari kata bahasa Jawa, langka dari bahasa Jawa, acuh dari Minangkabau, nyeri dari bahasa Sunda dan lain-lain. 

Kata-kata serapa ini perlu dipahami kembali oleh masyarakat luas agar tidak ada anggapan yang terlalu deskriminatif terhadap bahasa terlebih budaya daerah. Bahkan posisi bahasa daerah pun kalah dengan bahasa asing. Memang benar di era modern ini kita diwajibkan untuk memahami segala perkembangan global dan mengerti berbagai bahasa komunikasi internasional. Namun, untuk menjaga kelestarian bahasa dan budaya lokal masyarakat tetap harus mendudukkan sejajar antara bahasa dan budaya lokal dengan budaya yang popular di era modern ini. 

Menurut Rene Wellek dalam Nyoma Kutha Ratna bahasa merupakan media transfer budaya yang dihasilkan oleh masyarakat. Jika bahasa punah maka yan terjadi budaya yang berada di masyarakat pun akan ikut punah. Satu hal yang harus diingat bahwa banyak dari budaya daerah asli Indonesia yang telah dipelajari bangsa lain. Ketika bangsa kita melupakan suatu budaya yang telah dihasilkan, maka budaya yang telah dipelajari bangsa lain ini lambat laun akan diakui sebagai budaya asli bangsanya.

Bahkan dengan tumbuh pesatnya Kapitalisme di Indonesia, budaya-budaya lokal ikut terbengkalai oleh hiruk pikuk kesibukan masyarakat pelestari budaya untuk mencari penghidupan. Kesejahteraan yang terbilang kurang merata di Indonesia menyebabkan masyarakat disibukkan untuk mengejar kesejahteraan materi. Ajaran Sostrokartono "sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, trimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, menang tanpa ngasorake, langgeng tan ana susah tan ana seneng, antheng mantheng sugeng jeneng"[2]  sebagai suatu ajaran kesederhanaan manusia Jawa mulai ditinggalkan dan berfikir ketika banyak harta kesejahteraan akan didapatkan. 

Hal ini menyebabkan tata budi lokal semakin ditinggalkan dan kepekaan sosial masyarakat menjadi semakin meleleh karena setiap orang dianggapnya rival mencari materi. Lalu, munculah sifat individualitas yang semakin kuat di hati masyarakat Jawa. Tidak dipungkiri gesekan-gesekan sosial "intoleran" semakin marak terjadi di Indonesia. Bahkan prinsip Pancasila sebagai prinsip final bangsa Indonesia pun  kembali dipertanyakan kedudukannya hanya demi kepentingan-kepentingan suatu golongan yang ingin berkuasa di kursi pemerintahan. 

Maka dari itu, untuk menanggulangi segala permasalahan kecenderungan menduakan budaya lokal perlu adanya transfomasi budaya supaya dapat berterima di kalangan muda dan kembali menerapkan prinsip-prinsip ketimuran dalam hati mereka. Dengan mentranformasikan bentuk-bentuk budaya diharapkan dapat menanggulangi kemandegan transfer nilai-nilai ajaran budaya lokal sebagai prinsip bangsa Indonesia agar berkombinasi dengan paradigma global yang kekinian.

Hambatan dalam Lingkaran Bahasa dan Budaya Lokal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun