Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Festival Braga 2012

4 Oktober 2012   05:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:17 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua abad lebih dua tahun, konon katanya kota Bandung telah lahir, terhitung sejak 25 September 1810. Kota sejuk yang terletak di atas cekungan danau Bandung purba ini, berdiri beriringan dengan dibukanya jalur Jalan Pos antara Anyer – Panarukan oleh Gubernur Jenderal William Herman Daendels pada 1808 – 1811. Kota ini kemudian memiliki julukan sebagai Kota Kembang. Konon katanya julukan ini muncul, ketika pada 1896 para ndoro pengusaha gula di Hindia Belanda menggelar pertemuan dengan mendatangkan para noni Indo yang cantik-cantik bagaikan bunga mekar di tengah taman. Memang Bandung dalam perjalanan sejarahnya tidak pernah memiliki taman-taman bunga yang mengesankannya sebagai kota kembang.

Di samping Gedung Sate yang megah, semenjak awal pembentukan kota, kawasan Braga sudah menjadi ikon keberadaan kaum the have. Di sepanjang jalan Braga yang sangat melegenda ini, dulunya banyak berkantor kongsi-kongsi atau perusahaan-perusahaan raksasa kala itu, seperti perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertanian yang banyak berkembang setelah dilaksanakannya kebijakan tanam paksa oleh Gubernur Jenderal Van den Bosh pada tahun 1830. Di jalan ini pulalah kantor pusat organisasi pergerakan Syarikat Dagang Islamiyah dengan koran Medan Prijaji digerakkan oleh Minke dalam Tetralogi Pulau Burunya Pramudya Ananta Toer.

Braga memang situs warisan sejarah kolonial yang sangat fenomenal. Seiring dengan dinamika perkembangan modernitas kota Bandung, kawasan Braga seolah tertinggal menjadi kawasan tua yang seolah terlupakan oleh sentuhan pembangunan. Bangunan dan gedung tua yang berderet dari gedung Merdeka di sisi selatan hingga kawasan Landmark di sisi utara ini seolah membisu ditelan perjalanan jaman. Braga hanya menjadi kenangan bagi anak bangsa yang masih berkenan mengenangkan sejarah perjalanan kota Kembang Bandung.

Braga dengan beragam toko tua, galeri dan butik unik, serta sedikit kedai-kedai yang lebih modern sebenarnya menampakkan sisi kecantikan dan keunikan khas jaman kolonial pasca revolusi industri. Namun pemeliharaan dan pelestarian kawasan yang masih belum optimal, bahkan terkesan ala kadarnya, menjadikan kawasan ini sunyi sepi sebagai kawasan kota mati suri. Trotoar yang lengang diterpa terik sinar mentari di siang hari, toko-toko yang hanya satu dua dibuka, melengkapi sisi kurang tersentuhnya kawasan tua ini. Braga sekedar kenangan masa silam yang seolah tidak lagi menjadi bagian jaman kini.

Akan tetapi semenjak beberapa tahun terakhir, terkhusus dalam rangka dua ratus tahun kota Bandung, kawasan Braga ditata ulang dan direvitalisasi. Braga sengaja dikembangkan sebagai kawasan cagar budaya dengan bangunan-bangunan tuanya yang sengaja dilestarikan. Kawasan Braga dengan sejuta kenangan kisah antara jaman beserta bangunan tuanya, dikembangkan sebagai aset pariwisata sejarah yang sangat menarik. Di hari biasa, lalu lintas kendaraan bermotor memang diizinkan melewati jalan Braga satu arah dari selatan ke utara. Akan tetapi di akhir pekan, jalan ini sengaja diperuntukkan secara khsusus untuk para pejalan kaki.

Kemudian untuk lebih memperkenalkan kawasan Braga sebagai destinasi wisata para pelancong dari luar kota, semenjak beberapa tahun yang lalu secara rutin digelar Festival Braga. Festival ini diadakan bersamaan waktu dengan HUT Kota Bandung yang diperingati setiap 25 September.

Di akhir pekan lalu, sekedar angon Ponang di kota Kembang, kami berkesempatan menikmati akhir pekan dengan baranjangsana ke Festival Braga 2012. Sepajang ruas jalan Braga beberapa hari itu sengaja ditutup dari berbagai ragam kendaraan, dan hanya dikhususkan untuk memanjakan para pejalan kaki. Menapaki sisi selatan di samping Gedung Merdeka, pengunjung akan disambut dengan gapura nyentrik bin nyeni yang terbuat dari siratan anyaman “ancak” bambu yang sangat unik dan artistik. Dengan tebaran warna-warni kembang-kembang cantik yang berjajar rapi dalam pot di kanan-kiri akses masuk, pengunjung disuguhi kekembangan yang mengukuhkan Bandung sebagai kota Kembang.

Memasuki area festival, berderet stan yang memamerkan berbagai macam hasil kerajinan tangan khas bumi Parahyangan. Ada aneka rupa alat permainan tradisional, seperti gangsing, kluthokan, othok-othok, hingga seruling dan angklung. Ada juga kerajinan batik, mulai kain batik, batik kayu, hingga aneka gantungan kunci bermotif batik cantik. Ada pula replika kapal pinisi, hingga kapal terbang modern, bahkan aneka kaos gaul khas Bandung dan lesung kayu warisan masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun