Mohon tunggu...
SANGALIKUR RISKIROMEO
SANGALIKUR RISKIROMEO Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hobi kuliner dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konflik Antargenerasi pada Suku Sasak Pulau Lombok

23 April 2019   12:58 Diperbarui: 23 April 2019   13:16 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adat nyongkolan, Gendang Beleq (alat musik di depan) dan Kecimol (alat musik di belakang) | lombokleisuretour.com

Manusia adalah mahluk sosial, artinya manusia bergantung atau tidak akan lepas dengan manusia lainnya. Sekumpulan manusia yang berinteraksi dan bersosialisasi untuk memenuhi kebutuhannya disebut masyarakat. Kehidupan bermasyarakat akan selalu memiliki tingkatan (stratifikasi) minimal pada stratifikasi yang diperoleh oleh sendirinya. Ralph Linton (1967) dalam Sunarto (2004) menyatakan bahwa sejak lahir orang memperoleh status tanpa memandang perbedaan antarindividu atau kemampuan. Berdasar status yang diperoleh dengan sendirinya ini, anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kelas dan kasta.

Suku Sasak adalah suku yang berada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara barat. Menurut data BPS tahun 2010, penduduk Pulau Lombok adalah 3,17 juta jiwa dan 80% dari penduduk tersebut adalah suku Sasak. Suku Sasak memiliki adat yang khas yang berbeda dengan suku lain, yaitu culik penganten. Adat ini dimana seorang pria yang hendak menikah harus menculik wanita yang ingin dinikahi. 

Akan tetapi wanita tersebut tidak boleh diperlakukan buruk dan juga tidak boleh diperlakukan seperti hubungan nikah yang sah. Lalu keluarga mempelai bermusyawarah hingga mencapai kata sepakat. Dalam adat tersebut, ada ritual lainnya seperti sorong serah dan nyongkolan. Suku Sasak juga mengatur tentang tata karma dan norma-norma dalam bermasyarakat. Contoh tata karma dalam suku Sasak adalah memanggil orang yang lebih tua dengan kata "side" atau "pelungguh" dan yang lebih muda dengan kata "ariq". 

Suku Sasak selalu menghormati orang yang lebih tua seperti menggunakan kata "tabek" atau "sampun" ketika izin melewati orang yang lebih tua. Suku Sasak juga memisahkan atau membuat batas antara laki-laki dan perempuan. Pergaulan antara laki-laki dan wanita dibatasi dan akan dianggap tabu lelaki dan wanita tidak sah bermain bersama. Walau demikian, bukan berarti para Bujang tidak boleh bertemu sang pujaan hati. 

Para Bujang boleh bertemu sang pujaan hati dengan cara berkunjung ke rumah wanita tersebut dan diawasi orangtua atau keluarga. Biasanya para Bujang membawa buah tangan ketika bertamu dan keluarga wanita membatasi waktu kunjungan hingga jam 10 malam. Adat seperti itu selalu diturunkan dari generasi ke generasi di suku Sasak.

Pada masyarakat Sasak, terdapat stratifikasi oleh sendirinya yakni bangsawan, tuan tanah (Bapak), dan rakyat biasa. Akan tetapi seiring dengan zaman, stratifikasi seperti ini sudah tidak jelas terlihat dan masyarakat Sasak saat ini setara dalam kehidupannya. Namun, ada stratifikasi lain yang mengancam suku Sasak itu sendiri. 

Stratifikasi ini adalah stratifikasi perolehan dari sendirinya yakni stratifikasi usia. Semula stratifikasi ini berfungsi sebagai wadah menurunkan budaya Sasak ke generasi selanjutnya namun sekarang menjadi wadah konflik antara generasi lama dan generasi baru. Mengapa hal demikian bisa terjadi?.

Peristiwa tersebut terjadi karena adanya perubahan zaman yang semakin modern membuat para generasi baru lebih mengikuti perkembangan zaman tanpa memikirkan siapa sebenarnya mereka. Sedangkan generasi lama menginginkan tersalurnya adat istiadat Sasak yang mereka dapat dari generasi sebelumnya ke generasi muda tersebut. 

Generasi baru bukannya tidak menginginkan melanjutkan adat istiadat Sasak tersebut, akan tetapi mereka ingin adanya penyusuaian atau pembaruan adat Sasak agar sesuai dengan zaman. Hal tersebut mendapat reaksi yang tidak bagus dari kalangan generasi lama. Generasi lama menginginkan adat Sasak itu harus murni seperti nenek moyang suku Sasak turunkan kepada mereka. Mereka menganggap jika melakukan pembaharuan atau penyusuaian terhadap adat Sasak akan membuat nilai-nilai luhur yang terkandung akan berubah bahkan hilang. Jika hal tersebut terus terjadi, maka tidak akan lama lagi suku Sasak tulen akan punah.

Hampir semua adat Sasak ingin generasi baru perbarui. Jika pembaruan mereka rasa sulit, mereka tidak akan melakukan adat tersebut. Contoh pertama adalah adat nyongkolan, nyongkolan adalah proses mengunjungi keluarga mempelai wanita setelah proses panjang culik penganten hingga akad nikah terjadi. Nyongkolan biasa diiringi alunan musik Gendang Beleq dan mempelai pria maupun wanita diiringi juga oleh kerabat atau orang-orang dari desa mereka. Nyongkolan pada bentuk aslinya dilakukan secara khusyuk dan menunduk malu.

 Hal tersebut dilakukan karena keluarga mempelai pria merasa malu telah menculik anak dari keluarga mempelai wanita. Namun kenyataannya sekarang adat nyongkolan sudah berubah signifikan. Semula menggunakan Gendang Beleq sekarang berubah menjadi Kecimol yang notabene suara yang dihasilkan besar dan desain lebih modern. Musik yang diperdengarkan pun musik dangdut, koplo, ataupun musik pop bukan lagi lagu Sasak asli. Dan yang dulunya menunduk malu di depan keluarga mempelai wanita, sekarang bergoyang ria dan mabuk seperti dalam suasana klub malam. Peristiwa ini membuat terjadinya benturan atau konflik antara generasi baru dengan generasi lama. Generasi baru menginginkan perubahan tersebut atas dasar kesenangan masa-masa muda mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun