Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Money

Demi Bisnis, Asbestos "Dipaksa" Aman

11 Juli 2019   14:14 Diperbarui: 11 Juli 2019   14:28 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mekanisme konsensus ini pada satu sisi memang dibutuhkan agar sidang berjalan tanpa dominasi mayoritas-minoritas dan mengupayakan argumentasi yang dapat diterima semua pihak. Namun pada sisi sebaliknya mekanisme yang demikian membuat sulitnya suatu material yang diketahui berbahaya bagi manusia mendapat perhatian pengendalian oleh negara anggota. Bahkan lebih dari itu mekanisme yang demikian memungkinkan satu negara dengan arogannya berkeras untuk menolak usulan baru barang berbahaya untuk dimasukkan kedalam daftar pengendalian bersama negara-negara di dunia.

Hal ini yang tampak terjadi dalam pengusulan krisotil sebagai material yang membutuhkan PIC. Hanya karena ada tiga negara (Venezuela, Iran, dan Kuba) yang beralasan masih belum menemukan argumentasi logis maka krisotil pun tidak bisa langsung masuk dalam list konvensi Rotterdam. Demikian juga jika ada negara seperti Rusia dan Khazakhstan yang mengatakan bahwa demi material bahan bangunan murah dan tahan lama serta serapan tenaga kerja, menolak memasukan krisotil dalam daftar tambahan konvensi Rotterdam maka krisotil pun tidak bisa masuk.

Bisa juga jika ada negara seperti Rusia dan India yang mengatakan bahwa yang selama ini dilaporkan memiliki dampak terhadap kesehatan manusia adalah amphibole/amosit (asbes coklat) dan karenanya krisotil tidak ada laporan dampaknya, maka krisotil pun tidak bisa diputuskan masuk dalam daftar material yang ada di konvensi Rotterdam.

Cukup mengejutkan memang alasan yang dikemukakan India dan Rusia bahwa selama ini yang terlihat dampaknya hanyalah amphibole/amosite. Pertama, karena memang amphibole/amosite telah lama (sebelum tahun 1990) masuk dalam daftar konvensi Rotterdam dan dilarang di banyak negara. Kedua, karena secara jelas International Agency For Research on Cancer (IARC) dan banyak riset lainnya secara jelas menyebutkan dampak karsinogenik dari krisotil bukan lagi amphibole/amosite. Ketiga, pembiasan antara amphibole dengan krisotile sebangun dengan kampanye pembiasan "safely use asbestos" yang disebarkan Chrysotile Institute/International Chrysotile Association tahun 1980-an.

Kelompok intervensi yang berasal dari sejumlah organisasi non pemerintahan tingkat internasional menyadari mekanisme konsensus ini sangat memudahkan suatu negara menghambat masuknya suatu material kedalam daftar konvensi Rotterdam. Kelompok ini pun berupaya untuk meyakinkan perlunya perubahan mekanisme pengambilan keputusan di dalam sidang COP. Namun suara kelompok yang demikian ini tidak dapat secara langsung mempengaruhi perubahan mekanisme pengambilan keputusan. Hanya suara pengusul dari perwakilan negara anggota konvensi yang dapat dipertimbangkan.

Indonesia di Triple Cop

"Selamat, terima kasih sudah menyuarakan kekhawatiran kami yah,"

Kalimat tersebut keluar dari Awidya Santikajaya, diplomat penasihat misi permanen Republik Indonesia untuk PBB, WTO dan Organisasi Internasional lainnya, saat menghampiri Subono setelah menyampaikan testimoninya di Triple Cop, Jenewa 29 Mei -- 10 Juni 2019. Di wajahnya masih terlihat keheranan karena ada orang Indonesia yang bukan delegasi resmi kenegaraan menyampaikan pidato berbahasa Indonesia di sidang COP.

Sidang COP 9 Konvensi Rotterdam yang berakhir dengan blokade 10 negara penolak krisotil masuk dalam daftar PIC, menandakan bahwa krisotil akan dibawa kembali dalam sidang COP berikutnya. Delegasi Indonesia yang begitu aktif menyatakan sikap menolak paraquat di COP 9 masuk dalam PIC, tidak menyatakan sikapnya untuk material krisotil. Sikap yang sangat mengecewakan bagi para korban krisotil.

Diluar sidang, salah satu anggota delegasi resmi Indonesia yang berasal dari Kementerian Luar Negeri sedikit memberi gambaran mengapa Indonesia bersikap menolak paraquat dan tidak menyatakan sikapnya terhadap krisotil. Dalam tutur yang sangat teratur dan diplomatis dia menjelaskan bahwa "kepentingan Indonesia" menjadi perhatian utama delegasi dalam setiap perundingan-perundingan Internasional seperti juga di Triple COP. Dengan demikian membaca kepentingan negara peserta lainnya juga menjadi pertimbangan perimbangan dalam perundingan.

"Indonesia punya iklim yang berbeda dengan negara yang melaporkan paraquat, krisotil berdampak serius terhadap penggunanya. Kita di Indonesia punya musim yang berbeda dan memungkinkan dampak yang sama tidak terjadi di Indonesia," jelasnya. Dia menambahkan bahwa masih dibutuhkan informasi dan hasil riset yang lebih meyakinkan agar sikap resmi negara mau memasukkan material tertentu kedalam daftar PIC konvensi Rotterdam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun