Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudahi Penodaan Agama

3 Februari 2019   14:59 Diperbarui: 3 Februari 2019   15:12 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Proses paling ngehek dari Pemilu baik lokal maupun nasional adalah meningkatnya pelaporan tuduhan-dugaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama. Tiga aturan mulai dari 156a KUHP, UU No 1/PNPS/1965 maupun UU No 11 tahun 2008 tentang UU ITE menjadi begitu menggoda digunakan secara serampangan. Setara Institute dan SAFEnet mengatakan ada pola yang serupa dalam meningkatnya kasus-kasus dengan 3 tuduhan tersebut yaitu latar situasi politik. Lihat saja daftar laporan kasus berkenaan dengan tiga aturan tersebut sejak 2016-2018.

Juni 2017, Aking Saputra dilaporkan Forum Masyarakat Karawang karena pernyataan yang bersangkutan: "Apakah anak zaman sekarang tahu, bahwa banyak tokoh PKI adalah pemuka agama (tentunya mayoritas dari Islam)." Untuk pernyataan demikian dia divonis 1,6 tahun penjara dengan pasal 156a oleh hakim Pengadilan Negeri Karawang, Desember 2017.

Di Kalimantan Timur, Otto Rajasa divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Balikpapan. Majelis hakim menghukum Otto dengan pasal 28 ayat 2 Jo pasal 45 ayat 2 UU ITE nomor 11 tahun 2008, Juli 2017. Otto yang berprofesi sebagai dokter dilaporkan MUI Balikpapan karena unggahan statusnya di Facebook yang menyindir aksi 212. Vonis yang hampir sama juga dikenakan kepada Basuki Tjahaja Purnama.

Meliana, seorang ibu di Tanjung Balai, Medan divonis 1,6 Tahun oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan, Agustus 2018. Dia dijerat pasal 156a KUHP lantaran dianggap menodai agama. Meliana sebelumnya memprotes volume suara Azan dari masjid dilingkungan tinggalnya.

Donald Ignatius Soeyanto Baria (DISB), divonis 2 tahun 10 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bali karena dianggap melanggar pasal 28 ayat 2 Jo pasal 45 ayat 2 UU ITE nomor 11 tahun 2008. Dia didakwa karena unggahan video di akun youtube-nya yang dinilai berisi pernyataan permusuhan dan penodaan terhadap Islam pada Bulan Desember 2017. Dari unggahannya, dia dianggap meresahkan dan dapat mengakibatkan kegaduhan.

Setara Institute menyatakan, sepanjang 1965 hingga 2017 terdapat 97 kasus penistaan agama. Kasus yang terjadi sebelum reformasi hanya sembilan perkara, namun setelah reformasi jumlahnya membengkak hingga 88 perkara. Dari jumlah kasus tersebut 76 masuk ke persidangan, 21 lainnya tidak sampai ke persidangan.

Dari 97 Kasus, 63 penoda beragama Islam, 25 beragama Kristen, Katolik dan kelompok afiliasi PKI masing-masing 2, selebihnya aliran agama lain. Sementara itu, kelompok agama yang paling banyak dinodai adalah Islam yakni 88 kasus, Kristen 4 kasus, Katolik 3 kasus, dan Hindu 2 kasus. Cukup menarik bahwa Islam adalah agama yang paling banyak dinodai namun juga paling banyak melakukan penodaan. Islam mayoritas paling banyak menjadi pelaku sementara Islam minoritas yang menjadi korbannya.

Dalam kasus Aking, Otto, Ahok, Meliana, misalnya, tekanan massa dan persekusi turut mewarnai proses hukum yang sedang berlangsung. Dengan dalih ketertiban dan keamanan bahkan seringkali aparat dipaksa untuk turut dalam tuntutan massa. Dalam catatan Setara Institut, ada 14 kasus yang seharusnya tidak masuk persidangan jika tanpa tekanan massa. 

Jika diperhatikan polanya, ada dua pola besar pemidanaan terkait penodaan agama atau pernyataan permusuhan terhadap agama. Pertama yang menggunakan ketentuan di KUHP Pasal 156(a), yang bersifat pada permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama. Selanjutnya Pasal 28 ayat 2 Jo pasal 45 ayat 2 UU ITE nomor 11 tahun 2008, yang mengatur penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). SAFEnet mencatat 60 pelaporan kasus pasal 28 (2) UU ITE ini sejak kelahirannya hingga tahun 2018. 

Dalam banyak kasus, kritik, perbedaan pemahaman, perbedaan tafsir akhirnya bukan menjadi upaya untuk lebih memperbaiki praktik-praktik religiusitas malah menjadi cara untuk membungkam bahkan mengkriminalkan pikiran.

Benarkah suatu agama dapat ternoda hanya karena ada manusia yang mengatakan bahwa konsep-konsep agama yang termaktub dalam kitab suci mengaktifkan imajinasi? Atau bisakah agama begitu mudah rusak hanya karena manusia yang menafsirkan dengan cara berbeda tentang satu ayat dalam kitab suci? Ternistakah agama karena ada cara peribadatan yang berbeda? Apakah agama tidak ternoda dengan penganutnya yang berbuat jahat kepada sesama manusia? Jika agama berasal dari tuhan, apakah kita begitu kuasa membela tuhan? Inilah sebenarnya tantangan akal dalam beragama seperti dulu dikampung-kampung banyak guru mengaji mengatakan beragama itu harus pakai akal. Karena jika tidak, manusia akan seperti nelayan yang berlayar tanpa arah.

Tak perlu berpikir panjang bahwa pernyataan permusuhan, kebencian dan penyerangan terhadap perbedaan termasuk perbedaan keyakinan harus dihindari dan kalau perlu di lawan. Dalam hidup bermasyarakat, negara perlu mengatur hal ini. Namun dalam hal perbedaan tafsir, pemahaman, tata cara peribadatan, negara harus mundur sejenak. Kebebasan individu untuk menganut dan beribadat menurut suatu keyakinan religius tertentu harus dijamin. Praktek sosial dari religiusitas lah yang menuntut negara mempunyai aturan yang tegas. Tidak boleh negara membiarkan ada satu kelompok penganut keyakinan tertentu mengemukakan rasa permusuhan, kebencian apalagi serangan terhadap penganut keyakinan yang berlainan.

Perlu kiranya negara saat ini untuk berpikir ulang memberlakukan pasal-pasal yang memidanakan penodaan terhadap agama karena hal tersebut menuntut tafsir tunggal terhadap kesucian/kebenaran agama. Padahal sangat sulit Indonesia menerapkan tafsir tunggal agama karena Indonesia bukan negara agama. Namun di pihak lain, negara juga harus tegas terhadap upaya-upaya penyebaran rasa permusuhan dari para penganut agama.

Hukum positif memang sudah ada dan harus menjadi pedoman bernegara. Bukan perkara mudah mengubah pasal dalam hukum positif yang ada. Namun pemerintah dalam hal ini aparat hukum bisa dan berwenang untuk menunda atau tidak menjadikannya rujukan utama. Apalagi dalam situasi sosial yang terus berkembang.  

Saya teringat pelajaran dari guru mengaji dahulu, "Kesucian agama itu terletak pada prilaku manusia yang mengimaninya." Sesederhana itu, namun sangat mendalam. Kitab suci mengajarkan banyak hal perilaku kesucian yang harus dijalankan pengimannya. "Kalau kamu bohong, padahal bohong itu perilaku tidak suci, maka kamu yang merusak kesucian agamamu," begitu kata guruku. Kalau membenci itu tidak suci di dalam ajaran agama, lantas mengapa ada manusia beragama yang menyatakan dan menyebar kebencian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun