Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mencatat Pilkada DKI: Adu Strategi Citra Diri

4 Februari 2017   00:58 Diperbarui: 4 Februari 2017   01:08 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Proses Pilkada DKI Jakarta sebentar lagi akan memasuki masa akhir kampanye. Stategi demi strategi dijalankan masing-masing kandidat pasangan. Serang sana, tahan sini, pukul sana, balas sini, keriuhan disaksikan masyarakat bahkan bukan hanya Jakarta melainkan juga  Indonesia.

Sejak awal bergulir dari penjaringan bakal calon, partai-partai sudah memasang strategi terbaik masing-masing. Ini bukan soal menang di DKI Jakarta semata. Ini soal Pilkada serentak dan persiapan menuju Pemilu tahun 2019. Partai sangat serius membangun strategi bukan hanya untuk menang di satu wilayah, melainkan upaya terobosan menuju kekuasaan yang lebih besar. Wajar saja jika masyarakat melihat begitu kerasnya persaingan dalam Pilkada serentak khususnya di DKI sebagai barometer nasional.

Masyarakat Jakarta khususnya, menyaksikan bagaimana kerasnya tokoh-tokoh nasional dan lokal berlomba mendekati kendaraan politik untuk dapat tiket maju di Pilkada DKI. Segala upaya dilakukan untuk memperoleh dukungan masyarakat. Mulai dari ikut pengajian, mendatangi lokasi warga miskin, mengunjungi lokasi penggusuran dan berkeliling di pasar dan lainnya semua dilakukan untuk menokohkan diri “dekat dengan masyarakat” untuk memperoleh dukungan.

Dalam proses penjaringan bakal calon ini ada dua hal yang menarik perhatian. Pertama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang “menantang” dukungan partai lewat dukungan independen 1juta KTP. Kedua, diangkatnya kembali politik identitas, “Umat Islam harus memilih pemimpin se-Iman.”

Peta politik berubah jelang penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPUD) DKI Jakarta. Ahok yang awalnya digadang-gadang maju lewat jalur independen, berubah karena PDI Perjuangan menetapkannya maju bersama Djarot Saiful Hidayat. Tidak hanya PDI Perjuangan, Partai NasDem, Hanura, bahkan Golkar berdiri bersama sebagai partai pendukung. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai yang baru saja lolos verifikasi KPU pun turut mendukung pasangan ini.  PPP yang masih dalam tahap rekonsiliasi pun memecah dukungannya pada dua pasangan termasuk pasangan Ahok-Djarot.

Pada sisi yang lain, Partai Gerindra dibawah komando Prabowo Subianto akhirnya menetapkan Anies Baswedan yang merupakan salah satu pendukung lawannya dalam Pemilihan Presiden 2014 sebagai calon gubernur bersama Sandiaga Uno sebagai wakilnya. Padahal sebelumnya partai ini menjagokan Sandiaga Uno sebagai calon gubernurnya. Beberapa tokoh yang sebelumnya dipasangkan dengan Sandiaga Uno pun harus rela gigit jari karena tidak diberi tiket. Bersama Partai Keadilan Sosial (PKS), Gerinda menjadi partai pendukung pasangan Anies-Sandi.

Secara mengejutkan, di hari-hari terakhir menujut penetapan, Partai Demokrat akhirnya menetapkan Putra Mahkota Ketua Umum, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon gubernur berpasangan dengan Sylviana Murni yang merupakan mantan birokrat Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), seorang mantan perwira menengah TNI AD yang diprediksi banyak kalangan akan memiliki karir gemilang di TNI akhirnya keluar dari dinas ketentaraan demi menjadi calon gubernur DKI Jakarta. PKB, PAN, dan PPP kubu Romi, menjadi partai penyokong pasangan ini.

Dilihat dari komposisi, pasangan Ahok-Djarot memang memiliki dukungan partai yang terbanyak dan secara perhitungan matematis besar kemungkinannya untuk memenangkan kontestasi. Disusul oleh pasangan Agus-Sylvi, dan Anies-Sandi. Namun politik bukan hanya perhitungan matematis. Banyak faktor yang bisa menentukan kemenangan atau kekalahan seorang calon kepala daerah.

Strategi dilancarkan oleh masing-masing kontestan untuk memenangkan kandidatnya. Disinilah pengalaman, kelihaian membaca situasi, dan strategi dipertarungkan untuk memenangi pasangan calon yang diusung. Dalam urusan ini, harus diakui kelihaian dan kemampuan strategi yang berada dibelakang pasangan calon Agus-Sylvi. Pepo, panggilan kesayangan Agus kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan tim pemenangannya di pemilihan presiden 2 periode 2004-2014 cukup jauh diatas pasangan Ahok-Djarot walaupun PDI Perjuangan dan Golkar adalah partai lama yang sudah malang-melintang didalam politik Indonesia.

Membuat kejutan dihari terakhir jelang penetapan pasangan calon, baru lah strategi awal yang dilancarkan tim Agus-Sylvi. Kecuali mereka yang berada dalam lingkaran politik elit, penetapan Agus merupakan strategi untuk memperoleh wow effect.Semua orang kemudian membangun hipotesa-hipotesa dan asumsi-asumsi mengapa Partai Demokrat memajukan Agus. Dari sini, Agus sudah memenangkan 1 tahapan untuk memperoleh awarenessdari masyarakat Jakarta. Orang-orang kemudian mencari latar belakang, dan kiprah Agus atau setidaknya membincangkan pencalonannya. Popularitas Agus pun langsung melesat.

Masyarakat sudah tahu Ahok-Djarot, warga Jakarta sudah kenal Anies Baswedan, namun Agus untuk dunia politik memang baru. Kebaruan inilah yang memicu pertanyaan masyarakat dan akhirnya menjadikannya populer. Sedangkan Cagub yang lain cenderung sudah dikenal dan hanya berharap tetap memiliki popularitas di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun