Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saya Buta dan Tuli, bukan Berarti Bodoh dan Miskin

16 Maret 2018   11:50 Diperbarui: 16 Maret 2018   19:54 1933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: IDN Times

Coba angkat tangan, berapa banyak Kompasianer yang sering merasa kasihan bila melihat saudara-saudara kita yang difabel? Berapa banyak Kompasianer yang sering menyumbang bahkan menjadi donatur tetap di yayasan yang membantu anak-anak difabel? Apakah dengan begitu kita sudah merasa berbuat baik?

Mari kita telaah bersama.

Saya ingin menceritakan curhat salah seorang teman saya yang tuna rungu. Teman saya ini baru saja pulang dari acara bersama keluarga besarnya dan ternyata dia merasa tidak nyaman bahkan jengkel setelah pulang dari acara tersebut. 

Teman saya ini memang jarang berkumpul dengan keluarga besar karena selama ini dia bersekolah di sekolah asrama. Dia bercerita bahwa dia sering merasa terisolasi dan tidak diikutsertakan dalam pembicaraan. Beberapa orang di keluarganya suka tiba-tiba menghentikan pembicaraan kemudian mengganti dengan topik basa-basi yang tidak berbobot sama sekali ketika berbicara dengannya. Mereka bahkan memperlambat kecepatan bicara mereka. "Padahal gue tau San, apa yang mereka omongin dari tadi, gue bisa baca gerakan bibir mereka semua. Gue budeg, bukan bego."

Saat itu saya tidak bisa memberi respons apa-apa karena saya merasa seperti baru saja ditampar. Saya juga sering berbuat seperti keluarga besarnya itu. Ketika bertemu orang tuna rungu atau tuna netra tiba-tiba saya blank, tidak tahu mau bicara apa, tidak bisa bersikap biasa saja, kemudian malah terjadi awkward moment. Teman saya itu saat ini sudah berangkat ke Amerika karena mendapat beasiswa.

Saya tidak banyak punya pengalaman berinteraksi dengan teman-teman yang difabel sehingga saya tidak banyak tahu bagaimana perasaan mereka. Tetapi saya tahu bagaimana rasanya bila dianggap bodoh dan tidak kompeten.

Saya rasa mindset dan cara kita berinteraksi dengan warga difabel selama ini sangat salah. Kita mengira semua orang difabel butuh bantuan kita, lebih salah lagi karena kita mengira mereka membutuhkan rasa kasihan kita dan sumbangan materi dari kita. Kita mengira uang adalah yang mereka butuhkan. Kita lupa bahwa ada sekian banyak jenis dan tingkat disabilitas, kita lupa bahwa banyak sekali warga difabel yang masih bisa bekerja dan berkegiatan normal.

Mindset ini kemudian memunculkan stereotip dan struktur pikiran masyarakat yang salah. Saya sedih sekali bila melihat lakon tunanetra di televisi masih selalu digambarkan sebagai tukang pijit. Bahkan sutradara sekelas Joko Anwar pun masih melakukan hal ini dalam film Pengabdi Setan yang dipuja-puja orang Indonesia sebagai horor terbaik Indonesia masa kini. Dan penggambaran itu dipakai Joko Anwar hanya untuk selingan humor dalam film tersebut. Shame on you, Joko Anwar!

Padahal sudah sering dimunculkan cerita warga difabel yang bisa berprestasi, contohnya: Sikdam Hasim, Surya Sahetapy, Angkie Yudistia, Stephanie Handoyo, Ade Irawan, dan ribuan lainnya yang daftarnya silakan Kompasianer cari sendiri. Itu hanya yang masuk berita, sementara yang tidak masuk berita tetapi bisa hidup mandiri tentu jauh lebih banyak lagi. Ini menunjukkan bahwa yang dibutuhkan oleh warga difabel sebenarnya bukan rasa kasihan apalagi uang, tetapi kesempatan yang sama dan pemberdayaan.

Banyak sekali saya lihat di video-video singkat di media sosial saat ini yang menunjukkan restoran, hotel dan perusahaan yang mempekerjakan warga difabel secara mayoritas dan mereka mengatakan bahwa hal tersebut tidak menurunkan penghasilan mereka, semua karyawan difabel mereka bisa bekerja sebaik pegawai tanpa disabilitas, bahkan lebih baik, mereka lebih ramah terhadap customer, lebih disiplin, lebih teliti dan lebih bersih.

Lalu mengapa di Indonesia warga difabel banyak berkumpul di panti dan yayasan? Yang pertama karena kemiskinan. Banyak sekali anak-anak terlahir dengan disabilitas karena kemiskinan orang tuanya, tidak adanya perawatan dan nutrisi yang cukup selama masa kehamilan dan penanganan yang salah saat melahirkan memungkinkan seorang anak lahir dengan disabilitas. Dan setelah melihat anak lahir dengan disabilitas, orang tua mengira akan membutuhkan biaya yang besar untuk merawat anak ini, maka mereka lebih memilih untuk "membuang" anak mereka ke panti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun