Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Setiap Tertangkap, Kok Sabu Terus yang Dikonsumsi?

4 Maret 2018   13:16 Diperbarui: 6 September 2020   07:58 2736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan pengujian barang bukti sabu-sabu sebelum dimusnahkan di lapangan Kantor BNN Jakarta, Selasa (4/3/2014). BNN melakukan pemusnahan sabu seberat 5.610,3 gram dari tujuh tarsangka yang ditangkap di tiga lokasi berbeda diantaranya merupakan jaringan internasional Malaysia-Aceh. TRIBUNNEWS/HERUDIN(HERUDIN)

Konsumen membutuhkan narkotika yang efek kerjanya cepat didapat tetapi bisa bertahan lama, sifat barangnya tidak mudah menarik perhatian, pemakaiannya praktis, saat high tetap bisa beraktivitas senormal mungkin tanpa kelihatan teler atau loncat ke alam lain, dan tentu saja yang harganya murah.

Ganja memiliki bau khas yang mudah dikenali orang. Heroin cara penggunaannya yang paling maksimal adalah dengan disuntik sementara banyak orang tidak suka disuntik, lagipula sakaunya terlalu menyakitkan.

Kokain dan ekstasi kerjanya memang cepat tetapi hilangnya efek obat juga terlalu cepat (kokain hanya bertahan 1-2 jam, ekstasi 4-5 jam) dan saat high-nya terlalu kelihatan tripping. Mushroom dan LSD membuat pengguna kesulitan membedakan mana yang nyata mana yang halusinasi.

Dari segi harga, ambil contoh sesama narkotika stimulan: 1 gram kokain di Indonesia harganya Rp 2.500.000 padahal efeknya sebentar saja. Lalu 1 butir ekstasi kira-kira Rp 300.000. Kokain bahkan dianggap sebagai narkotika kelas atas karena harganya yang istimewa ini. Harga ini bisa jadi terlalu mahal untuk warga Indonesia.

Gayung bersambut. Produsen narkotika sangat memperhatikan pola konsumen di Indonesia karena Indonesia merupakan salah satu pasar narkotika terbesar di dunia. Dan kebutuhan konsumen tadi mudah dijawab oleh produsen.

Produsen juga lebih suka memproduksi narkotika sintetis ketimbang organik atau semisintetis karena tentunya lebih mudah untuk menyembunyikan laboratorium ketimbang perkebunan ganja atau opium. Biaya produksi narkotika sintetis juga jauh lebih rendah dan kualitas serta kuantitas produknya lebih stabil ketimbang yang organik.

Narkotika organik membutuhkan lebih banyak pegawai untuk merawat setiap hari dan memanen, prosesnya juga lebih lama dan produksinya dipengaruhi oleh cuaca, hama, dll.

Dengan biaya produksi yang rendah, harga jualnya juga bisa diturunkan sehingga akan lebih banyak konsumen yang bisa membeli.

Satu pertimbangan lagi di sisi produsen adalah produk harus highly addictive, satu kali pakai langsung bikin kecanduan untuk menjamin demand yang sustainable.

Produk andalan yang bisa menjawab demand pasar sekaligus menguntungkan bagi produsen adalah sabu atau disebut juga methamphetamine.

Jumlah 1 gram sabu harga jualnya hanya Rp 1.500.000 dan bisa untuk penggunaan berkali-kali. Bahkan konsumen bisa juga membeli paketan kecil seharga 200 ribuan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun