Setelah menulis artikel "Potret Klasik Perjuangan Moral Dalam Film Silenced", saya termenung memikirkan bagaimana kehidupan penyandang disabilitas di Indonesia. Apakah mereka dapat hidup layak, apakah mereka cukup diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat, bagaimana akses mereka pada pendidikan, pekerjaan dan fasilitas kesehatan?
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, sebanyak 12% dari total penduduk Indonesia menyandang disabilitas atau kurang lebih 25 juta jiwa. Dari angka tersebut, hampir 50% menyandang disabilitas multipel, di peringkat kedua yaitu sebanyak 28% menderita gangguan penglihatan dan peringkat ketiga 11% mengalami gangguan mobilitas atau tidak bisa berjalan.
Padahal kira-kira 11 juta dari berada dalam rentang usia produktif. Menurut Menteri Ketenagakerjaan, Bapak Hanif Dakhiri, dari total 11 juta tersebut lebih dari 96% sudah bekerja. Sektor pekerjaan yang paling diminati adalah sektor informal.Â
Berdasarkan UU no.8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, perusahaan swasta wajib mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 1% dari total pegawai sementara perusahaan pemerintah atau BUMN minimal 2%.
Apakah angka ini cukup untuk memberikan kesempatan kerja sebesar-besarnya bagi penyandang disabilitas? Tentu saja jawabannya tidak, bila sudah cukup maka seharusnya bukan sektor informal yang mendominasi.Â
"Cukup" yang saya maksudkan disini bukan hanya soal jumlah atau kapasitas tetapi juga soal kemudahan akses, kesetaraan perlakuan dan suasana kerja yang kondusif bagi warga difabel.Â
Apakah gedung sudah dibuat disabled friendly? Apakah pimpinan memperlakukan pegawai difabel sama dengan pegawai normal? Apakah rekan-rekan kerja memperlakukan pegawai difabel dengan baik tanpa melecehkan atau merendahkan?
Tentu saja, bukan hanya Kementerian Ketenagakerjaan saja yang harus bekerja keras untuk lebih memperhatikan kesejahteraan warga difabel. Kementerian lain pun harus juga diajak kolaborasi.
Pemerintah harus lebih memperhatikan keselamatan pekerja. Contoh nyata yang sedang heboh akhir-akhir ini, banyaknya kecelakaan kerja dalam proyek pembangunan infrastruktur. Ngebut membangun jangan jadi alasan mengabaikan keamanan kerja.Â
Berdasarkan Survey on the Need for Social Asistance Programmes for People with Disabilities (SNSAPPWD), kecelakaan merupakan faktor utama penyebab kecacatan pada seseorang, termasuk kecelakaan kerja. Belum lagi soal berapa banyak pegawai yang akhirnya justru malah dipecat setelah menjadi cacat tanpa tunjangan apapun, tidak adanya asuransi bagi pegawai khususnya yang outsourcing, dll.
Selanjutnya, aman bagi yang membangun, nyaman bagi yang menikmati hasil pembangunan. Pembangunan jalan, trotoar, bandara, terminal, pelabuhan harus lebih mempertimbangkan kepentingan warga difabel.Â