Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Indonesia Darurat Bullying (3): Sejarah Pelaku Bullying

10 Desember 2017   13:09 Diperbarui: 10 Desember 2017   13:22 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ini adalah artikel ketiga saya dalam seri Indonesia Darurat Bullying. Dalam artikel sebelumnya saya menjelaskan tentang mengapa beberapa anak rentan menjadi korban bullying sementara anak yang lain tidak. Di artikel ini saya akan menjelaskan bagaimana seorang anak yang terlahir polos murni tanpa dosa bisa tumbuh menjadi anak yang kejam, yang tidak segan berlaku kasar kepada sesame temannya.

Kita semua sudah tahu bahwa setiap perilaku manusia berkaitan dengan pengalaman yang dia alami sebelumnya. Sebelum melanjutkan, saya harus menjelaskan beberapa hal terlebih dahulu terkait dengan respon manusia seputar pengalaman masa lalu ini.

Professor Gordon Neufeld dari Neufeld Institute di Kanada menjelaskan bahwa manusia memiliki dua insting yang berhubungan dengan kehidupan sosial yaitu: pertama adalah insting alfa yang merupakan insting untuk memimpin, mengayomi, memberi arahan dan kedua adalah insting kebergantungan, yang merupakan insting untuk mengikuti, meneladani, meminta bantuan. Kedua insting berkembang selama masa pertumbuhan seorang anak dan harus dilatih secara seimbang. Seorang anak yang terus-menerus hanya dilatih insting alfanya akan tumbuh menjadi anak yang bossy, ia tidak mampu berempati dengan teman-temannya karena insting alfanya jadi terlalu dominan, tidak diimbangi oleh insting kebergantungan sehingga ia merasa tidak membutuhkan orang lain. Sebaliknya anak yang tidak pernah dilatih insting alfanya akan tumbuh menjadi anak yang needy, tidak mandiri, tidak punya inisiatif dan kurang percaya diri karena insting kebergantungannya lebih dominan.

Selain insting ini, ada juga beberapa area otak yang terlibat dalam pembentukan seseorang menjadi pelaku bullying:

  • Amygdala dan hippocampus

Amygdala dan hippocampus adalah area otak yang bertanggung jawab mengatur emosi dalam diri seseorang, baik emosi positif maupun negatif termasuk rasa takut. Mereka mempunyai kemampuan untuk menyimpan memori terkait emosi-emosi tersebut, baik jangka pendek maupun jangka pendek. Amygdala juga bertanggung jawab terhadap survival instinct seseorang.

  • Prefrontal cortex

Ini adalah bagian otak yang mengatur karakter seseorang terutama berhubungan dengan pertimbangan moral, pengambilan keputusan, pembuatan rencana dan perilaku sosial. Ini adalah bagian otak yang ada di depan, di balik tulang dahi. Prefrontal cortex sangat berkaitan dengan amygdala dan hippocampus karena dalam fungsi-fungsi tersebut memori yang disimpan oleh amygdala dan hippocampus menjadi dasar pertimbangan.

  • Hipotalamus-Pituitary-Kelenjar Adrenal (Aksis HPA)

Seringkali disebut sebagai sistem stres tubuh manusia. Ketiga organ ini berkolaborasi untuk meregulasi keseimbangan hormon yang beredar dalam tubuh dan hormon-hormon apa yang harus dikeluarkan ketika menghadapi suatu stimulus dari luar, salah satunya adalah kortisol. Kortisol adalah salah satu  hormon stress dalam diri manusia, merupakan hormon kunci ketika kita membicarakan mengenai bullying. Hormon kortisol mendorong respon fight atau flight ketika menghadapi permasalahan, alias respon lawan atau lari.

Setelah memahami beberapa hal di atas, kita kembali pada premis saya sebelumnya. Perilaku manusia berkaitan dengan pengalaman yang dia alami sebelumnya. Pengalaman masa lalu yang paling banyak dikaitkan dengan pelaku bullying adalah kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan rumah penuh dengan kekerasan dan kekurangan kasih sayang serta penerimaan dari keluarga membuat anak berada dalam kondisi stress terus-menerus. Kondisi stress ini memicu peningkatan kortisol dalam tubuh mereka sebagai respon terhadap stress tersebut. Peningkatan kortisol memaksa mereka memilih respon fight atau flight. 

Pilihan respon ini adalah pilihan yang almost instinctive, perlu diambil dalam waktu singkat seringkali tanpa pertimbangan panjang, mengandalkan memori-memori bawah sadar tentang pilihan mana yang paling tinggi tingkat survivalnya. Respon yang biasanya dipilih oleh anak dalam situasi KDRT tersebut adalah flight atau lari dari orang tua karena mereka tidak bisa melawan orang tua mereka, kemudian fight atau melawan pihak lain yang dilihat lebih lemah. 

Hormon kortisol juga membuat anak kehilangan kemampuan untuk mengontrol emosinya, mereka jadi cepat marah, mudah terprovokasi. Seperti yang biasa kita alami, orang stress biasanya sumbunya pendek, kortisollah penyebabnya.

Selain itu, ketiadaan kasih sayang orang tua membuat anak tumbuh dalam perasaan tidak aman dan tidak tenang sehingga memicu ketidakseimbangan insting si anak,beberapa anak beradaptasi dengan insting kebergantungan yang dominan: ia menjadi tidak percaya diri, lemah, mudah takut, tetapi beberapa anak lain beradaptasi dengan dominasi insting alfa, yang tidak diimbangi dengan pemupukan rasa tanggung jawab dan pemahaman tentang kasih sayang, sehingga insting alfa tersebut dengan cepat berkembang menjadi habituasi perilaku agresif dan kejam. Tanpa intervensi, habituasi ini sangat mudah menjadi karakter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun