editing pribadi
Setelah langit Arafah menjadi saksi jutaan doa yang mengalir dalam sunyi wukuf, perjalanan belum usai. Dalam gelapnya malam, kami menapaki jalan sejauh lebih dari 14 kilometer menuju Mina, bukan dengan kendaraan, tapi dengan kaki, sebagaimana Nabi pernah menapakinya. Di antara kami, ada seorang kakek tua yang berjalan seorang diri, tanpa kerabat, tanpa keluhan. Sosok renta itu justru menjadi cahaya di tengah lelah kami, menjadi teladan tentang arti keteguhan dan cinta kepada Allah. Perjalanan ini bukan sekadar pemindahan tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Ini adalah hijrah jiwa. Ini adalah bentuk cinta yang diam, namun dalam. Sebab kadang, cinta tidak terucap dalam doa, tapi tampak dalam langkah kaki yang tak berhenti menuju keridaan-Nya.
Perjalanan malam dari Arafah ke Mina sejauh 14,5 kilometer bukanlah perjalanan biasa. Di bawah langit malam yang gelap, kami melangkah bersama jutaan jiwa yang satu tujuan: menuju Mina, menuju ketaatan, menuju Allah. Langkah demi langkah terasa berat, tapi hati ini ringan karena dipenuhi semangat meneladani Rasulullah yang juga berjalan kaki dalam haji wada'-nya. Setiap batu yang kami injak menjadi saksi niat kami untuk mencintai Nabi dengan amal, bukan sekadar kata.
Rasulullah bersabda: "Ambillah dariku manasik (tatacara) haji kalian." (HR. Muslim). Hadits ini menjadi obor bagi kami untuk mengikuti jejak beliau. Dalam riwayat sahih disebutkan, Nabi berjalan kaki dari Arafah ke Muzdalifah, dan dari Muzdalifah ke Mina. Beliau tidak memilih kendaraan mewah, padahal bisa. Beliau memilih kerendahan hati, kesederhanaan, dan keberanian untuk menjadi teladan. Maka kami pun ingin mengikuti sunnah itu, walau hanya sebagian kecil.
Berjalan bersama jutaan manusia di malam yang gelap mengajarkan kami makna kebersamaan dalam ibadah. Tak ada yang saling meninggikan diri, semua merendah di hadapan Allah. Kami berjalan dalam diam, dalam dzikir, dalam harap agar setiap langkah menjadi bagian dari ampunan. Seperti Nabi yang memuliakan umatnya dengan sabar dan kasih, kami ingin sedikit saja merasakan cinta itu lewat langkah kami.
Jalan Kaki Arafah ke Mina, Bersama Kakek Tua
Dari rombongan haji kami yang berjumlah 120 orang, hanya sekitar 25 orang yang memilih untuk berjalan kaki dari Arafah menuju Mina. Di tengah jutaan jemaah yang bergerak dalam gelombang besar, sebagian besar memilih naik bus. Namun, ada satu sosok yang sangat menggetarkan hati:, seorang kakek kurus, berusia lebih dari 70 tahun, berjalan seorang diri tanpa sanak saudara, tanpa rombongan khusus. Ia berjalan di tengah lautan manusia, dengan hanya sebuah ransel kecil di punggung dan tongkat kayu di tangan.
Beliau bukan siapa-siapa di mata dunia, namun begitu mulia di mata kami. Ia tidak membawa bekal mewah atau alat bantu canggih. Hanya tongkat sederhana sebagai penyangga dan doa dalam dada. Wajahnya sayu, kulitnya menghitam terbakar matahari, namun dari sorot matanya tampak cahaya ketenangan yang sulit dijelaskan. Langkahnya pelan tapi pasti, seolah setiap tapaknya sedang berdialog langsung dengan Allah, penuh harap, penuh tawakkal, menyusuri jalan yang pernah dilalui Rasulullah dalam haji wada'.
Saya pun merasa terdorong untuk berjalan di belakang beliau. Bukan karena kasihan, tapi karena hati saya tertawan oleh keteguhan imannya. Dalam sunyi dan terik, saya berusaha menjaga dari kejauhan, siap membantu jika tiba-tiba beliau terjatuh atau kelelahan. Sesekali saya menawarkan bantuan, sekadar meringankan beban ransel yang tetap setia menempel di punggung ringkih itu. Tapi dengan senyum tenang dan anggukan perlahan, beliau selalu berkata, "Insya Allah kuat, Nak."
Kalimat itu menancap dalam. "Insya Allah kuat." Sebuah jawaban yang sangat sederhana, namun mengandung keteguhan luar biasa. Saya tertegun: dari mana datangnya kekuatan seperti itu pada usia senja? Tidak ada keluhan dari lisannya. Tidak ada kelambanan dalam semangatnya. Langkahnya mungkin lambat, tapi azamnya jauh melebihi orang muda. Di tengah hiruk-pikuk para jemaah yang terburu-buru mencari kendaraan, beliau memilih jalur sunyi para pecinta Allah.
Setiap butir keringatnya adalah zikir. Setiap derap langkahnya adalah doa yang tulus. Saya belajar diam-diam darinya: bahwa kekuatan sejati bukan berasal dari otot, melainkan dari hati yang bertumpu penuh kepada Allah. Bahwa haji bukan hanya tentang rukun dan manasik, tapi juga tentang meneladani perjalanan spiritual Rasulullah dalam kesabaran dan kesungguhan.