Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.www.klinikdrwidodo.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ketika Guruku Orangtuaku, Tak Peduli Hari Pendidikan

2 Mei 2025   15:53 Diperbarui: 3 Mei 2025   04:23 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DOKUMENTASI EDITING PRIBASI

Guruku, orangtuaku. Bahkan kau tak peduli pada hingar-bingar Hari Pendidikan yang katanya akan memberi apresiasi dan penghargaan padamu, karena bagimu, bukan piagam atau panggung yang kau kejar, melainkan tumbuhnya jiwa-jiwa luhur di dalam dada anak-anakmu; kau tetap hadir tiap pagi meski tak disebut dalam pidato, tetap mengajar meski namamu tak tercetak dalam spanduk, sebab bagimu, kemuliaan seorang guru bukan terletak pada sanjungan dunia, tapi pada doa-doa diam dari murid yang mengingatmu di setiap keberhasilannya.

Guruku, orangtuaku, bahkan kau tak peduli pada datangnya Hari Pendidikan yang katanya dikhususkan untuk memuliakanmu. Tak kau hitung berapa kali namamu tak disebut, atau berapa banyak penghargaan yang tak singgah padamu. Sementara orang berlomba mencetak nama di papan-papan kehormatan, kau justru sibuk mencetak adab dalam jiwa kami. Di saat para pejabat bersuara di podium, kau hanya duduk di pojok kelas yang sunyi, menggenggam kapur yang tak pernah berhenti menari di papan, menggores ilmu yang akan abadi dalam hidup kami.

Guruku, orangtuaku, bahkan kau tak peduli meski pak Menteri memujimu setinggi tinginya di Hari Pendidikan ini, karena bagimu setiap hari adalah hari untuk mendidik dengan sepenuh hati. Engkau hadir dalam hidup kami tanpa syarat, tanpa pamrih, hanya dengan cahaya cinta dan kesabaran yang tak pernah padam. Saat hujan deras mengguyur pagi dan kabut menyelimuti jalan, kau tetap melangkah bukan karena kewajiban, tapi karena cinta. Di balik senyummu yang lelah, ada ribuan impian murid yang kau tuntun agar tak tersesat di dunia yang keras. Tak pernah kau menuntut nama diabadikan, tapi setiap huruf yang kau ajarkan telah mengabadikanmu dalam hati kami. Kaulah pelita di gelapnya ketidaktahuan, penghapus luka dari kegagalan, dan penjaga nyala semangat kami saat dunia enggan memberi peluang. Guruku, bahkan ketika dunia lupa menoleh padamu, kami akan selalu menunduk khidmat, mengenangmu dalam setiap langkah menuju cahaya.

Guru Orangtuaku. Engkau adalah cahaya yang tak pernah padam dalam kegelapan hidupku. Di dunia yang semakin modern, di mana setiap detik berlalu begitu cepat, engkau tetap tegar sebagai penjaga api yang menerangi jalan menuju pengetahuan. Seperti halnya Ki Hajar Dewantara, yang menjadikan pendidikan sebagai perjuangan sepanjang hidupnya, engkau juga tak kenal lelah meski dunia kadang tak memberi pengakuan atas pengorbananmu. Di tanganmu, ilmu bukan hanya sekadar pengetahuan, tetapi juga dasar moral, adab, dan etika yang membentuk jiwaku. Ketika aku mengenangmu, aku ingat bukan hanya pelajaran yang engkau berikan, tetapi bagaimana engkau mengajarkanku tentang hidup, tentang keberanian untuk bermimpi, dan tentang kejujuran dalam setiap langkah.

Guru Orangtuaku. Saat reuni nanti, di antara tawa dan air mata, aku pasti akan mengenangmu. Tak peduli seberapa jauh aku melangkah, seberapa tinggi aku mendaki dunia ini, akan selalu ada bayanganmu yang mengingatkanku pada dasar yang telah engkau tanamkan. Ketika aku sukses, saat aku meraih mimpi-mimpiku, akankah aku masih ingat siapa yang pertama kali memberi pengetahuan tentang dunia ini? Tidak, aku tidak akan melupakanmu, karena engkaulah yang membuka mataku, yang memberi bekal ilmu dalam otak mudaku. Engkaulah yang menanamkan semangat, yang mengajarkan nilai-nilai hidup yang tak ternilai. Ketika aku menapaki dunia ini, aku tahu bahwa setiap langkah yang aku ambil adalah buah dari ajaranmu.

Guru orangtuaku. Engkau adalah petugas keluarga di sekolah, bahkan di luar itu. Tugasmu tak hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pendamping dalam setiap proses tumbuh kembang kami. Engkau bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menyusupkan moral dan etika dalam setiap kata-kata yang kau ucapkan. Di balik tumpukan administrasi yang tak pernah selesai, di balik tugas-tugas yang sering kali terlupakan oleh orang lain, engkau tetap menjalankan tugasmu dengan penuh cinta. Engkau adalah pahlawan yang tak terlihat, yang berjuang tanpa pamrih untuk membentuk generasi yang lebih baik. Tak peduli berapa banyak penghargaan yang engkau terima, tak peduli betapa lelahnya hatimu, engkau tetap memberikan yang terbaik. Engkau adalah guruku, orangtuaku, pahlawanku. Dan selama hidupku, aku akan selalu mengenangmu, tidak hanya karena ilmu yang kau berikan, tetapi karena cinta yang kau curahkan.

Guruku, orang tuaku. Engkau bukan sekadar pengajar, tetapi penjaga nilai, penanam adab, penuntun jalan yang terang dalam gelapnya kebodohan. Di tengah derasnya zaman yang menggoda untuk mencari jalan pintas, engkau tetap menuntun kami agar tetap lurus di jalan ilmu yang jujur dan suci. Engkau selalu berpesan bahwa ijazah asli bukan hanya secarik kertas, tapi saksi bisu dari perjuangan, air mata, dan malam-malam panjang yang dipersembahkan demi sebuah cita. Karena itu, keaslian ijazah bukan sekadar formalitas administratif, melainkan simbol kemuliaan proses menuntut ilmu yang bersih dan penuh integritas.

Guruku orangtuaku. Dalam dekapan hangat bimbinganmu, kami belajar bahwa kejujuran adalah dasar dari segala keberkahan ilmu. Engkau menanamkan bahwa sebuah ijazah yang diperoleh tanpa kejujuran akan kehilangan ruhnya tak memberi keberkahan, bahkan menjadi beban. Keaslian ijazah adalah bukti bahwa kami pernah menapaki tangga demi tangga dengan usaha dan doa. Bahwa setiap tanda tangan, setiap nilai, dan setiap lembar adalah hasil dari keringat halal dan dedikasi tulus. Engkau adalah penjaga martabat ilmu, penegak etika akademik yang tak tergantikan oleh zaman atau teknologi.

Guruku Orangtuaku. Engkau pilar moral dan adab kami. Di era ketika moral dan etika mulai tergerus oleh ambisi kosong, engkau tetap kokoh mengajarkan bahwa ijazah asli adalah yang lahir dari hati yang tulus, bukan rekayasa palsu. Engkau mengingatkan bahwa setiap langkah curang dalam pendidikan adalah pengkhianatan terhadap ilmu, terhadap orang tua, terhadap bangsa. Maka kami mengerti, menjaga keaslian ijazah bukan hanya menjaga nama baik diri, tapi menjaga kehormatanmu, wahai guruku yang telah memberikan kami cahaya nilai, bukan hanya isi kepala. Ijazah asli itu adalah warisan moral dari tanganmu yang telah membentuk jiwa kami.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun