Selama bertahun-tahun, masyarakat umum percaya bahwa konsumsi gula menyebabkan hiperaktivitas pada anak-anak. Namun, berbagai penelitian ilmiah menunjukkan bahwa tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim tersebut. Sebaliknya, semakin banyak data yang menunjukkan bahwa hiperaktivitas, terutama pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), memiliki kaitan lebih erat dengan reaksi alergi terhadap makanan tertentu dibandingkan konsumsi gula. Artikel ini merangkum temuan dari sejumlah studi ilmiah yang menunjukkan bahwa mitos gula sebagai penyebab hiperaktif telah terpatahkan, sementara alergi makanan muncul sebagai faktor potensial yang lebih relevan secara ilmiah dalam memicu perilaku hiperaktif pada sebagian anak.
Keyakinan bahwa gula menyebabkan hiperaktivitas pada anak telah lama berakar dalam masyarakat, didorong oleh observasi subjektif orang tua dan pengasuh. Anak yang tampak "liar" setelah mengonsumsi makanan manis seperti permen atau minuman bersoda sering dikaitkan langsung dengan efek gula, tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan atau psikologis lainnya. Namun, penelitian dengan desain tersamar ganda dan kontrol ketat telah berulang kali gagal menemukan hubungan kausal antara konsumsi gula dan perilaku hiperaktif.
Sebaliknya, penelitian terbaru mulai mengarahkan perhatian pada peran alergi makanan sebagai pemicu hiperaktivitas, terutama pada anak-anak dengan kondisi neurologis seperti ADHD. Studi berbasis populasi besar dan uji klinis telah menemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara alergi makanan dan gejala hiperaktif, bahkan setelah dikontrol terhadap variabel lain. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan ilmiah dalam memahami perilaku anak perlu mempertimbangkan faktor imunologis seperti respons alergi, bukan hanya mitos yang tidak terbukti secara empiris.
Hiperaktifitas
Hiperaktivitas atau hiperkinetik pada anak dapat ditandai dengan perilaku yang sangat aktif, sulit duduk diam, dan sering kali tidak dapat fokus pada satu kegiatan dalam waktu lama. Anak yang mengalami hiperaktivitas cenderung memiliki tingkat energi yang sangat tinggi, sering melompat, berlarian, atau terlibat dalam aktivitas fisik yang berlebihan. Mereka juga dapat menunjukkan kesulitan dalam mengikuti instruksi atau tugas yang memerlukan perhatian yang terfokus, dan sering kali mengganggu orang lain dengan berbicara terlalu banyak atau tidak sabar.
Selain itu, gejala hiperaktivitas juga melibatkan kesulitan dalam mengontrol impuls, seperti berbicara atau bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu,agresif, emosi tingi, Â serta kesulitan dalam menunggu giliran saat bermain atau berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak ini sering kali menunjukkan kecenderungan untuk bertindak terburu-buru tanpa mempertimbangkan konsekuensinya, dan dapat mengalami masalah dalam mengelola emosi mereka, seperti kecemasan atau frustrasi yang berlebihan. Gejala ini sering terlihat dalam konteks pendidikan atau sosial, dan dapat mengganggu interaksi mereka dengan teman sebaya atau pengasuh. Biasanya penderita juga mengalami gangguan konsentrasi, gangguan mood, depresi, gangguan tidur dan gangguan periliku lainnya
Penelitian Ilmiah: Gula dan Hiperaktivitas
Selama beberapa dekade, banyak orang tua meyakini bahwa konsumsi gula menyebabkan anak menjadi hiperaktif. Namun, berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa hubungan ini lebih bersifat mitos daripada fakta. Salah satu penelitian paling berpengaruh dilakukan oleh Mark L. Wolraich et al., yang diterbitkan di New England Journal of Medicine (1994). Dalam studi tersamar ganda ini, anak-anak diberi gula atau pemanis buatan secara acak, dan hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan perilaku, konsentrasi, atau tingkat energi. Hiperaktivitas yang dirasakan orang tua ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh persepsi dan ekspektasi mereka sendiri.
Ulasan kritis dari David Benton dalam Critical Reviews in Food Science and Nutrition (2008) juga menguatkan temuan tersebut. Ia menyimpulkan bahwa tidak terdapat bukti kausalitas antara konsumsi gula dan hiperaktivitas, setelah meninjau puluhan studi eksperimental. Dalam praktiknya, persepsi orang tua bahwa anak menjadi "liar" setelah makan manis sering kali merupakan bias konfirmasi, bukan akibat biologis dari gula itu sendiri. Gula tampaknya telah dijadikan kambing hitam yang mudah untuk dijadikan alasan atas perilaku aktif anak yang sejatinya normal.
Penelitian lain oleh David Schardt dan tim dalam Journal of Abnormal Child Psychology (1986) secara spesifik mengamati anak-anak dengan ADHD. Hasilnya menunjukkan bahwa gula tidak memperburuk gejala hiperaktif atau masalah perhatian pada kelompok ini. Ini memperkuat pemahaman bahwa hiperaktivitas memiliki basis neurobiologis yang kompleks, dan tidak dapat disederhanakan hanya dari aspek diet seperti konsumsi gula. Sebaliknya, pendekatan terapi yang menyeluruh tetap lebih efektif.