Gerakan boikot terhadap merek-merek yang dianggap mendukung entitas pro-Israel kini tidak lagi sebatas simbolik. Dari media sosial hingga meja makan, konsumen Muslim dan pro-Palestina mulai menggunakan dompet mereka sebagai senjata. Kesadaran konsumen bertransformasi menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang memaksa perusahaan besar seperti KFC untuk menutup ratusan gerai di Turki dan memangkas ribuan pekerja di Indonesia. Dengan menelusuri dinamika sosial dan ekonomi di balik fenomena ini, artikel ini menegaskan bahwa keputusan konsumtif dapat menjadi bentuk nyata dari solidaritas dan perjuangan kemanusiaan.
Di tengah gegap gempita dunia yang diliputi konflik, kesadaran konsumen menjelma menjadi kekuatan baru yang sulit diabaikan. Mereka bukan lagi sekadar penerima iklan atau pembeli pasif, tetapi agen perubahan yang dapat menentukan nasib bisnis berskala global. Salah satu contohnya adalah gelombang boikot terhadap produk-produk yang dikaitkan dengan dukungan terhadap Israel, yang muncul sebagai reaksi atas agresi berkepanjangan terhadap rakyat Palestina.
Gerakan ini tak hanya berkembang di dunia maya. Dampaknya kini nyata. Di Turki, 537 gerai KFC dan Pizza Hut gulung tikar. Di Indonesia, KFC mencatat kerugian ratusan miliar rupiah dan harus menutup 57 gerai serta memberhentikan ribuan karyawan. Semua ini adalah bukti bahwa konsumen kini sadar bahwa pilihan mereka bisa menjadi sikap politik. Di tengah kompleksitas geopolitik, mereka memilih berdiri di sisi yang mereka anggap benar---meski hanya lewat sepotong ayam goreng yang tidak lagi mereka beli.
Dari Loyalitas Konsumen Menuju Runtuhnya Waralaba
Di Turki, boikot bukan sekadar tren, tetapi gerakan akar rumput yang berkelanjutan. Perusahaan Gda, pemegang lisensi waralaba Pizza Hut dan KFC di negara itu, harus menghadapi kenyataan pahit. Dengan utang lebih dari 7,7 miliar lira Turki dan tekanan penjualan yang turun hingga 40%, mereka terpaksa menutup total 537 gerai. Ironisnya, keputusan pemutusan hubungan dengan Yum! Brands diumumkan hanya beberapa bulan setelah Gda menerima penghargaan sebagai "Mitra Waralaba Terbaik 2023."
Hal ini menunjukkan bahwa bahkan strategi bisnis paling cemerlang pun tak akan mampu melawan arus kesadaran konsumen yang kuat. Konsumen di Turki menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai tolok ukur dalam memilih produk. Gerai-gerai cepat saji yang pernah menjamur kini ditinggalkan, bukan karena kualitas makanan, melainkan karena sikap politik dan afiliasi merek.
Sementara di Indonesia, gelombang boikot masih berlangsung secara bertahap namun signifikan. PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), pemegang lisensi KFC di tanah air, mencatat kerugian sebesar Rp 557,08 miliar hingga kuartal III tahun 2024---naik drastis 266% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebanyak 47 gerai ditutup dan 2.274 karyawan terkena PHK.
Meski manajemen mengaitkan penurunan ini dengan dampak lanjutan pandemi COVID-19, publik melihat jelas bahwa boikot sebagai respon terhadap konflik Timur Tengah juga memainkan peran besar. Pasar Indonesia, yang mayoritas Muslim dan semakin teredukasi melalui media sosial, mulai menunjukkan sensitivitas terhadap isu global. Konsumsi bukan lagi sekadar soal selera, tapi soal nilai.
Kekuatan Nyata Konsumen
Perubahan lanskap ini membawa satu pesan besar: konsumen kini menjadi kekuatan politik. Mereka menggunakan kuasa konsumsi untuk menyampaikan pesan bahwa dukungan terhadap penjajahan dan pelanggaran HAM tidak akan dibiarkan begitu saja. Tidak perlu turun ke jalan, cukup tidak membeli---dan itu cukup mengguncang neraca keuangan korporasi.