(Puisi untuk Anak-anak Gaza, Ramadhan, dan Idul Fitri yang Berdarah)
Dibawah Langit Penuh Mesiu
Di tanah yang pecah oleh duka,
di bawah langit yang berkabut asap rudal,
seorang anak kecil memeluk Al-Qur'an lusuh,
berbisik lirih:
"Ya Allah... aku masih ingin sujud,
walau lantai musala tak lagi utuh."
Tangisnya mengalun di antara dentuman,
bukan karena lapar yang tak tertahankan,
bukan karena mainan yang tak bisa dibeli,
tapi karena ia rindu ayah,
yang syahid dalam sujud terakhir,
saat takbir Id menggema tanpa pengeras suara---
hanya suara bom yang lebih lantang.
Ia bertanya,
"Ramadhan ini... apakah masih diberkahi,
jika sahurnya kami hanya dengan air mata,
dan buka puasanya dengan debu reruntuhan?"
Ia menangis dalam sujudnya,
namun tak pernah menyalahkan Allah.
Karena ia tahu,
ini perintah-Nya.
Jihad, sabar, dan bertahan---
bukan karena benci,
tapi karena cinta kepada surga.
Di setiap malam ganjil,
langit Gaza bukan bercahaya Lailatul Qadr,
tapi terbakar rudal-rudal zionis laknatullah.
Namun di hati anak-anak itu,
terbit cahaya yang tak pernah padam---
iman yang menyala, seperti pelita
yang dijaga oleh ayat demi ayat.
Di bawah langit penuh mesiu,
Wahai dunia,
kau rayakan Idul Fitri dengan kembang api,
mereka rayakan dengan peti mati.
Kau hiasi rumahmu dengan lampu warna-warni,
mereka tak punya atap lagi,
hanya langit,
tempat mengadu pada Rabbul 'Izzati.
Namun lihatlah...
mereka tetap shalat Id,
di atas puing-puing yang pernah jadi rumah,
dengan pakaian robek dan darah yang masih hangat.
Takbir mereka bukan protes,
tapi dzikir,
"Allah... Allahu Akbar... Allahu Akbar..."