Kepada Yth.
Bapak Presiden Republik Indonesia
di Tempat
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bapak Presiden yang kami cintai,
Kami menulis surat ini tidak dengan marah,
tapi dengan hati yang rindu akan keberpihakan sejati.
Masih terngiang di telinga kami,
saat Bapak berdiri gagah---
lantang dan tegas menyatakan:
"Stop impor beras, jagung, daging sapi, dan semua komoditas pangan!"
Saat itu dada kami membuncah bangga.
Petani bersorak, nelayan bersujud syukur,
dan rakyat kecil menaruh harap di ujung doa mereka.
Kami kira, hari itu, Indonesia kembali kepada akarnya,
kepada tanahnya, kepada peluh anak bangsanya.
Kami kira, itu adalah azan kebangkitan kedaulatan pangan,
bukan sekadar retorika pemanis layar kaca.
Namun belum juga semusim berlalu,
angin kebijakan berubah arah.
Suara yang dulu lantang itu kini melemah,
diganti teriakan baru:
"Hapus semua kuota impor,
bebaskan semua impor tanpa batas!"
Ah, betapa cepat janji berubah jadi bayang.
Betapa miris melihat arah yang dahulu lurus,
kini belok ke jalan yang sama
dengan presiden-presiden sebelum Bapak:
Sen kiri, belok kanan.
Bergerak, tapi kehilangan arah.
Bapak Presiden,
Ini bukan sekadar soal ekonomi,
ini soal harga diri.
Apa guna merdeka tujuh puluh delapan tahun,
jika petani masih kalah bersaing di tanahnya sendiri?
Apa arti berdikari,
jika nasi di piring anak kita datang dari pelabuhan luar negeri?
Kami takut, Pak.
Kami takut negeri ini jadi pasar tanpa pagar.
Kami takut anak-anak kami tumbuh tanpa sawah,
tanpa ladang,
tanpa harapan.