Fenomena "in this economy" menjadi cermin kegelisahan generasi masa kini dalam mengambil keputusan besar, termasuk pernikahan. Narasi ini memperlihatkan dominasi pertimbangan ekonomi dalam menentukan kesiapan menikah, bahkan menjadi alasan utama menunda pernikahan. Sementara itu, ajaran Islam justru menghadirkan perspektif berbeda, bahwa pernikahan bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga sarana ibadah dan pembuka pintu rezeki. Artikel ini membahas fenomena tersebut melalui kajian sosial dan telaah mendalam terhadap Al-Qur’an dan hadits shahih. Hasil kajian menunjukkan bahwa Islam memandang pernikahan sebagai bentuk keberkahan yang dijanjikan membawa kelapangan rezeki, meskipun dilakukan dalam keterbatasan ekonomi.
Fenomena "Menikah in this economy" menjadi perbincangan populer di media sosial sebagai bentuk ekspresi keresahan terhadap realitas ekonomi yang tak menentu. Harga kebutuhan pokok yang melambung, biaya hunian yang tinggi, serta beban hidup sehari-hari menjadi pertimbangan serius bagi generasi muda untuk menunda keputusan penting seperti menikah. Banyak orang merasa bahwa menikah saat kondisi ekonomi belum stabil adalah sebuah risiko besar yang bisa berujung pada kegagalan rumah tangga. Akibatnya, angka pernikahan menurun, sementara usia menikah terus mengalami kenaikan.
Namun, dalam perspektif Islam, keputusan menikah tidak sepenuhnya harus didasari oleh kesiapan finansial. Ajaran Islam tidak menafikan pentingnya kemampuan ekonomi, tetapi lebih menekankan kepada ketakwaan, niat yang tulus, dan keyakinan bahwa Allah adalah pemberi rezeki. Bahkan dalam beberapa ayat dan hadits, Allah menjanjikan akan melapangkan rezeki bagi mereka yang menikah dengan niat yang benar. Konsep ini membuka diskusi menarik tentang bagaimana umat Muslim seharusnya menyikapi tekanan ekonomi modern dengan pandangan keimanan yang lebih mendalam.
Perspektif Islam tentang Rezeki dan Pernikahan
Menikah dalam Islam adalah ibadah dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalam banyak riwayat, Rasulullah justru menganjurkan pernikahan bagi mereka yang sudah memiliki kemampuan, bukan semata dari aspek materi, tetapi juga dari sisi tanggung jawab dan keimanan. Pernikahan bukanlah transaksi ekonomi, melainkan sebuah bentuk penyempurnaan agama. Oleh karena itu, kesiapan mental, spiritual, dan tanggung jawab menjadi fokus utama. Dalam konteks ini, narasi “menikah harus mapan” menjadi bias jika tidak diimbangi dengan pemahaman spiritual yang utuh.
Salah satu ayat yang sering dikutip dalam konteks ini adalah firman Allah dalam Surah An-Nur ayat 32: "Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." Ayat ini secara eksplisit menjanjikan bahwa kemiskinan bukanlah penghalang menikah, karena Allah sendiri akan mencukupi kebutuhan mereka yang menikah dengan niat baik.
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Ada tiga golongan yang menjadi hak atas Allah untuk menolong mereka: (1) orang yang berjihad di jalan Allah, (2) budak yang menebus dirinya untuk merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dirinya." (HR. Tirmidzi dan An-Nasa’i). Hadits ini menegaskan bahwa menikah bukan hanya perkara individu, tetapi juga bagian dari tanggung jawab sosial dan spiritual, yang dijamin keberkahan dan pertolongan langsung dari Allah SWT.
Meski realitas ekonomi sulit dipungkiri, semangat menikah dalam keterbatasan justru menjadi ujian keimanan. Banyak pasangan yang memulai kehidupan rumah tangga dalam keadaan pas-pasan, namun dengan keyakinan dan usaha, rezeki justru datang seiring waktu. Keberanian untuk menikah di tengah kondisi ekonomi yang tidak ideal dapat dilihat sebagai bentuk tawakal yang aktif, yaitu berserah diri sambil tetap berikhtiar. Dalam sejarah Islam, banyak sahabat Nabi yang menikah dalam keadaan miskin namun akhirnya hidup berkecukupan berkat keberkahan.
Mengkritisi Narasi Menikah In This Economy dengan Kacamata Tauhid
Narasi “in this economy” yang belakangan ramai di media sosial mencerminkan keresahan kolektif terhadap kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Ungkapan ini sering dijadikan alasan untuk menunda keputusan-keputusan besar dalam hidup, termasuk menikah. Dalam perspektif Islam, ketakutan semacam ini perlu dikritisi melalui kacamata tauhid, khususnya tauhid rububiyah—keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb yang mengatur segala sesuatu, termasuk rezeki setiap makhluk. Islam memandang bahwa manusia tidak menggantungkan nasibnya kepada pasar atau sistem ekonomi, melainkan kepada ketetapan Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Pemberi Rezeki.