Mohon tunggu...
Fajar Laksana
Fajar Laksana Mohon Tunggu... Freelancer - Founder Jawasastra Culture Movement

Wingi aku weruh, mula aku aweh wewarah. Saiki aku winarah, wayahe nitipriksa pribadhi wantah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Malu Bertanya Sesat di Jalan, Banyak Bertanya Memalukan

20 September 2015   19:59 Diperbarui: 20 September 2015   20:15 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Fajar L

Para pengajar di lingkungan SMA/kuliah, senantiasa menanamkan sikap kritis kepada para siswa maupun mahasiswa. Penanaman sikap kritis tersebut tidak lain agar suasana kelas bisa menjadi sarana diskusi, dengan mengusung spirit demokrasi dan tentu saja sebagai wujud implementasi dari perkataan Soe Hok Gie bahwa guru tidak selamanya benar. Niatan dari para pengajar saat ini patut diapresiasi, hanya saja makin kesini, para guru semakin tidak membatasi sejauh mana siswa/mahasiswanya boleh kritis dan semakin kesini pula, banyak siswa/mahasiswa yang makin tidak tahu diri.

Memang sistem pengajaran di sekolah maupun perkuliahan saat ini adalah sistem yang diadopsi dari barat, dengan peraturan-peraturan yang disesuaikan dengan dunia timur, mengenakan seragam, misalnya. Sebagai simbol semangat persatuan dan sistem barat ‘dipercaya’ mampu meningkatkan daya saing antar siswa/mahasiswa dikancah internasional semacam olimpiade akademik tertentu.

Pendidikan Indonesia saat ini bisa dibilang terlalu. Terlalu ‘membarat’ dan terlalu ‘menimur’, sebagai akibatnya, sikap kritis yang selama ini detekankan menjadi kebablasan. Bagimana tidak, lha wong setahu saya, dalam sistem pengajaran yang benar berdasarkan konteks yang diajar, siswa/mahasiswa akan bertanya perihal sesuatu yang memang benar-benar perlu ditanyakan pada guru/dosen.

Lain lagi dengan siswa SMA/mahasiswa di Indonesia saat ini. Semisal sang guru sedang menerangkan pelajaran biografi (sederhana)

“Jadi anak-anak, contoh rantai makanan ialah padi dimakan tikus, tikus dimakan ular dan ular dimakan elang, elang saat tua maka akan mati, ketika mati ia teronggok ditanah saat teronggok ditanah itulah maka ia akan diurai oleh zat-zat pengurai dalam tanah, yang pada akhirnya uraian zat dari daging elang itu dimanfaatkan oleh bibit padi suatu saat nanti.”

“Berarti padi itu makanan tikus ya bu, bukan makanan manusia?”

“Maksud saya...”

“Lha kata ibu padi dimakan tikus, dan tikus dimakan ular. Kalau sampai padi dimakan manusia berarti manusia itu makanan ular kan bu...?”

Lhaa, kalau kasus seperti diatas tadi terjadi di lingkungan TK atau SD bukan masalah yang serius, tapi cuplikan dialog imajiner diatas semisal terjadi di lingkungan SMA atau perkuliahan, bagaimana jadinya negara nanti. Sedangkan sikap kritis yang semacam itu secara tidak sadar telah menggusur tindakan yang bersifat inisiatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun