Fajar L
Para pengajar di lingkungan SMA/kuliah, senantiasa menanamkan sikap kritis kepada para siswa maupun mahasiswa. Penanaman sikap kritis tersebut tidak lain agar suasana kelas bisa menjadi sarana diskusi, dengan mengusung spirit demokrasi dan tentu saja sebagai wujud implementasi dari perkataan Soe Hok Gie bahwa guru tidak selamanya benar. Niatan dari para pengajar saat ini patut diapresiasi, hanya saja makin kesini, para guru semakin tidak membatasi sejauh mana siswa/mahasiswanya boleh kritis dan semakin kesini pula, banyak siswa/mahasiswa yang makin tidak tahu diri.
Memang sistem pengajaran di sekolah maupun perkuliahan saat ini adalah sistem yang diadopsi dari barat, dengan peraturan-peraturan yang disesuaikan dengan dunia timur, mengenakan seragam, misalnya. Sebagai simbol semangat persatuan dan sistem barat ‘dipercaya’ mampu meningkatkan daya saing antar siswa/mahasiswa dikancah internasional semacam olimpiade akademik tertentu.
Pendidikan Indonesia saat ini bisa dibilang terlalu. Terlalu ‘membarat’ dan terlalu ‘menimur’, sebagai akibatnya, sikap kritis yang selama ini detekankan menjadi kebablasan. Bagimana tidak, lha wong setahu saya, dalam sistem pengajaran yang benar berdasarkan konteks yang diajar, siswa/mahasiswa akan bertanya perihal sesuatu yang memang benar-benar perlu ditanyakan pada guru/dosen.
Lain lagi dengan siswa SMA/mahasiswa di Indonesia saat ini. Semisal sang guru sedang menerangkan pelajaran biografi (sederhana)
“Jadi anak-anak, contoh rantai makanan ialah padi dimakan tikus, tikus dimakan ular dan ular dimakan elang, elang saat tua maka akan mati, ketika mati ia teronggok ditanah saat teronggok ditanah itulah maka ia akan diurai oleh zat-zat pengurai dalam tanah, yang pada akhirnya uraian zat dari daging elang itu dimanfaatkan oleh bibit padi suatu saat nanti.”
“Berarti padi itu makanan tikus ya bu, bukan makanan manusia?”
“Maksud saya...”
“Lha kata ibu padi dimakan tikus, dan tikus dimakan ular. Kalau sampai padi dimakan manusia berarti manusia itu makanan ular kan bu...?”
Lhaa, kalau kasus seperti diatas tadi terjadi di lingkungan TK atau SD bukan masalah yang serius, tapi cuplikan dialog imajiner diatas semisal terjadi di lingkungan SMA atau perkuliahan, bagaimana jadinya negara nanti. Sedangkan sikap kritis yang semacam itu secara tidak sadar telah menggusur tindakan yang bersifat inisiatif.