Mohon tunggu...
Fajar Laksana
Fajar Laksana Mohon Tunggu... Freelancer - Founder Jawasastra Culture Movement

Wingi aku weruh, mula aku aweh wewarah. Saiki aku winarah, wayahe nitipriksa pribadhi wantah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akses VIP Pawang Udan terhadap Tuhan 1-2

3 Desember 2019   21:16 Diperbarui: 3 Desember 2019   21:47 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena acara yang digelar butuh banyak konsentrasi, kami (panitia) sampai lupa melibatkan pawang hujan. Padahal di tiga agenda acara sebelumnya, hujan berulang kali turun. Seandainya tidak diingatkan seorang warga sekitar SD, mungkin kami tidak akan mengontak pawang hujan.

Kami pun berdiskusi, apakah memang perlu menggunakan jasa pawang hujan. Saya pribadi merasa bahwa saat itu memang perlu melibatkan pawang hujan. Sebab teringat bahwa setahun yang lalu, saya pernah membuat  acara kethoprak massal di Serangan Umum Satu Maret Yogyakarta, saat acara dimulai hujan turun dengan deras sampai pukul sebelas malam. Mau tidak mau, acara kethoprak baru dimulai setelah hujan. Tentu saja saya emoh mengalami hal seperti itu lagi.

Setelah berdiskusi, diputuskan bahwa kami harus pakai jasa pawang hujan. Seorang kawan menyodorkan nama pawang yang tak jauh dari rumahnya. Maka kawan tersebut saya minta menghubungi pawang yang dimaksud. Soal biaya, diurus belakangan, begitu kata saya.

Besoknya, di H-1 acara, kawan tersebut mengajak saya mengunjungi rumah pawang sekali lagi. Katanya, dari yang ia dapat dari pawang, yang minta tolong harus yang punya acara atau dalam hal ini sama dengan pimpinan acara.

Rumah pawang hujan yang saya dan Silo (kawan saya) kunjungi ternyata seperti rumah orang kebanyakan. Kata Silo, pawang tersebut aktif ikut pengajian dan menjadi salah satu anggota klub hadrah desa. Sang pawang menyambut kami, lalu saya menyampaikan maksud kedatangan. Sang pawang malah memberi respon berupa tarikan nafas panjang sembari bilang, "Wah, kok ndadak mas. Gak ket wingi-wingi. Ya tak jajal ae ya, tak ewangi sakisokku, kasil ta gak e kersane Sing Nggawe Urip." Beliu mengundurkan diri, masuk ke dalam rumah.

Kami yang menunggu di ruang tamu mendengar suara pukulan berkali-kali. Saya sempat menanyakan kejadian itu kepada Silo, tapi dia sendiri tidak tahu persis apa yang terjadi. Suara pukulan semakin keras, membuat kami mematung clingak-clinguk, karena merasa bersalah dengan ke-ndadak-an kami.

Selang beberapa menit, sang pawang keluar dari dalam rumah, kemudian menyerahkan beras kuning dengan bubuk kuning yang beraroma kunir. "Iki sampeyan gawa, sampeyan sebarno nang pojok-pojok panggon acara, pas nyebarno maca al fatehah lan kulhu telu ping pitu, karo donga supaya udane ora tiba nang lokasi."

Keesokan harinya, saya melakukan persis seperti yang dikatakan sang pawang. Di setiap sudut venue deplokan kunir dan beras kuning pemberian sang pawang saya sebarkan. Gelagat saya seperti orang klenikus, supaya tidak terkesan klenik, saya selalu pura-pura duduk sambil rokokan. Setelah menyebarkan deplokan kunir dan beras kuning, hal yang tak lazim mulai terjadi. Dari keempat penjuru mendung berdatangan, tapi langit di atas venue acara kami tetap berwarna biru. Sementara itu, saya mendapat kabar kalau di daerah dusun sebelah hujan sudah turun dengan derasnya.

Para warga desa yang menyadari peristiwa itu hanya geleng-geleng kepala sambil berujar, "Sakti temen pawange, rek. Nganggo pawang ndi?" Pertanyaan tersebut saya tafsirkan sebagai upaya warga mencari referensi pawang hujan bagi acaranya di kemudian hari.

Kira-kira tujuh bulan setelah Mojosari Art Week, kami dipasrahi menggarap event Puisi Menolak Korupsi besutan Sosiawan Leak. Karena teringat bahwa saya tidak boleh dadakan meminta bantuan jasa pawang hujan, maka H-7 acara saya menghubungi pawang hujan. Kali ini pawangnya berbeda. Kami memakai pawang yang lain.

Saat berkunjung, seperti biasa, kami menyampaikan maksud kedatangan kami. Sang pawang masuk ke dalam rumah, hanya sebentar dan tidak ada suara pukulan. Setelah itu dia keluar sembari menyerahkan satu plastik kecil yang berisi garam. "Iki gawanen, sampeyan sembahyango terus pepak, sakmarine sembahyang wacanen al fatehah ping telu karo donga iki." Saya diberi rapalan doa, sayangnya saya sudah lupa bagaimana doanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun