Setiap menjelang Lebaran, fenomena premanisme yang meminta "jatah" Tunjangan Hari Raya (THR) kepada berbagai perusahaan kembali menjadi sorotan. Jagat maya dipenuhi keluhan dari para pelaku usaha yang merasa terbebani oleh praktik ini, yang sering kali dilakukan dengan cara intimidatif. Tak hanya pengusaha besar, usaha kecil dan menengah (UKM) pun tak luput dari sasaran kelompok-kelompok tertentu yang mengatasnamakan keamanan wilayah atau organisasi masyarakat (ormas).
Fenomena ini sejatinya bukan hal baru. Dari tahun ke tahun, praktik serupa terus berulang tanpa adanya solusi konkret yang benar-benar efektif. Masyarakat pun mulai bertanya-tanya: mengapa aksi premanisme ini tetap subur? Apakah karena lemahnya penegakan hukum, kurangnya keberanian dari pihak korban, atau justru adanya kompromi sosial yang sudah mengakar dalam budaya kita?
Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa premanisme adalah dampak dari kondisi sosial-ekonomi yang belum sepenuhnya merata. Minimnya lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi sering kali mendorong sebagian orang untuk mencari cara instan dalam mendapatkan uang, termasuk dengan memanfaatkan momentum Lebaran untuk meminta "THR" secara paksa. Namun, di sisi lain, ada juga yang melihat premanisme sebagai praktik ilegal yang harus diberantas tanpa toleransi, karena hanya akan merugikan masyarakat dan dunia usaha.
Lantas, bisakah premanisme benar-benar diberantas? Atau, apakah praktik ini telah menjadi bagian dari sistem sosial yang sulit dihilangkan? Lebih penting lagi, adakah solusi konkret yang bisa diterapkan agar fenomena ini tidak terus berulang setiap tahun? Mari kita bahas lebih dalam dan berbagi pandangan mengenai masalah ini!
Premanisme dan THR
Antara Tradisi dan PemerasanDi berbagai daerah, premanisme sering kali muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang mengatasnamakan organisasi masyarakat (ormas), kelompok tertentu, hingga individu yang mengaku sebagai bagian dari ‘keamanan lingkungan’. Permintaan THR ini terkadang dianggap sebagai ‘tradisi’, padahal lebih sering berujung pada pemerasan yang merugikan dunia usaha.
Banyak perusahaan merasa terpaksa memberikan ‘jatah’ untuk menghindari konflik yang lebih besar, sementara yang lain berusaha mencari solusi lain, seperti melibatkan aparat kepolisian atau melakukan pendekatan persuasif. Ada pula yang mencoba menegosiasikan bantuan dalam bentuk lain, seperti pemberian sembako atau program CSR yang lebih terarah. Namun, apakah ini benar-benar solusi atau hanya sekadar kompromi yang memperpanjang siklus premanisme? Pertanyaannya, apakah ini cara yang benar untuk menyelesaikan masalah atau justru memperkuat mentalitas premanisme?
Serta pernahkah Anda Mengalaminya?Banyak masyarakat dan pemilik usaha yang pernah mengalami tekanan dari kelompok tertentu. Misalnya:
Seorang pengusaha restoran yang ‘dimintai’ sejumlah uang agar usahanya tetap berjalan lancar.
Pemilik toko yang dipaksa memberikan THR agar tidak mendapat gangguan selama momen lebaran.
Sopir angkutan yang dikenakan ‘tarif tambahan’ sebagai bentuk ‘uang keamanan’.