Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di sudut pulau Sulawesi, suka mengisi kekosongan dengan membaca dan mengamati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Shio

7 Desember 2018   18:20 Diperbarui: 7 Desember 2018   18:33 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: i.pinimg.com

/I/ 

Aku selalu lebih suka memperhatikan sosok yang melintas lewat punggungnya ketimbang memandang langsung wajahnya terlalu lama. Itu mengingatkanku akan seseorang yang berada sangat jauh. Seseorang yang dengan entengnya menampar dan melempar kata-kata kasar --yang ku harap tidak pernah terjadi- di acara makan malam keluargaku. Aku tidak ingin menikah dengan seorang 'Playboy'. Ia mengatakan itu persis setelah menampar pipi kananku. Dan, panasnya, pedisnya --pun masih terasa sampai sekarang.

"Kamu mau makan apa?"

"Apa saja." Asalkan sosok yang memunggungiku itu masih berada disana, ditempatnya duduk dengan seorang anak perempuan kecil yang lucu. Entah kenapa, wajah anak itu sangat familiar.

"Pak, daging babi tiga lapisnya satu. Dan, ini, kamu mau makan apa? Sambal terong, mau? Sambal terongnya satu ya, pak! "

Seorang pramusaji menghampiri kursi makan, di aturnya senyum dan buku tamu yang hanya selayang pandang melewati pelipis mataku, sebelum ku alihkan lagi menerawang sosok dari balik punggung yang ada di meja lain.

"Babinya di panggang matang ya, pak!"

Aku menoleh lagi kearah pramusaji. Di pikiranku, terjadi macam-macam. Kenapa dia terlalu lama memesan. Maksudku Shindi. Bukankah babi panggang tiga lapis itu menu yang selalu dipesannya setiap berada direstoran ini? Atau, dia mau melihat-lihat, dan mencoba menu lain? Ah, tidak mungkin.

"Kita makan babi lagi, ya!"      

Kemana perginya pemilik punggung dan anak perempuan itu tadi ya?

/II/

Sejak kapan aku menyukai babi panggang? Aku lupa. Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Awalnya, aku merasa jijik. Daging merah itu membuat kerongkonganku seperti di sesaki oleh segumpal rasa mual. Tapi Jay. Ya, semua karena Jay.

Jay adalah orang yang percaya, bahwa segala keteraturan di dunia ini diatur oleh satu keseimbangan. Yin dan Yang, genap dan ganjil, siang dan malam, terang dan gelap, perempuan dan laki-laki, matahari dan bulan, dan seterusnya, dan seterusnya, seperti yang selalu ia katakan ketika kami sedang kencan atau sekedar makan malam biasa. Ia memang tidak menolak pandangan-pandangan yang lebih modern dari dunia barat, semisal teori tentang konflik, anarkis, revolusi, atau butterfly effect. Tapi ia cenderung selalu menghindari sesuatu yang baru, membawa lari dirinya dari dunia yang serba tidak aman ke dalam isi kepalanya yang rentan, dan emosinya yang --kadang- labil. Termasuk perihal makanan yang aku pesan malam ini. Babi panggang tiga lapis.

Awalnya ia menolak, sebagaimana biasa saat aku mengajaknya untuk pergi ke restoran 'Babi Guling' yang paling aku sukai di kota ini. Seperti yang ku katakan tadi, awalnya aku bukan tipe orang yang menyukai babi panggang, atau segala jenis bahan olahan yang berbahan baku babi. Tapi, semua ini karena Jay. Dan, akhirnya aku mulai terbiasa, dan semakin merasa biasa karena sudah memiliki restoran favorit penyedia babi panggang terenak se kota ini.

Berbeda denganku, Jay tidak menyukai segala jenis olahan berbahan dasar daging. Ia jadi vegetarian sejak berpisah dengan kekasih lamanya, dan bertahan hingga hari ini. Sedang aku, disaat yang hamper bersamaan, menjadi doyan dengan babi panggang juga gulai kambing, atau segala olahan dari daging babi dan kambing.

Sayur dan segala jenis olahan nabati lebih baik buat umur dan jiwa seseorang, katanya setiap kali aku merayunya untuk mengunjungi restoran babi guling atau gulai kambing.

"Jay?"

Ia diam saja. Tidak menoleh, bahkan sama sekali tidak merasa terganggu saat aku menarik-narik lengan bajunya.

"Kamu liatin apa sih?"      

Ia masih tidak memperdulikanku.

"Itu pesanannya sudah datang" Aku menarik-narik lengan baju dan menggoncang-goncangkan tubuhnya.

"Ayo makan!"

/III/

Aduh, mbaknya ini kenapa sampai ngeliatin saya sebegitunya ya? Kan jadi salah tingkah. Tapi dia cantik juga. Apa itu pacarnya ya? Atau suaminya? Dia vegan ya? Pasangan ini nampak tidak serasi sekali.

Pacarnya itu dingin sekali, tidak mau menoleh, atau barang senyum sedikit saja. Padahal kepuasan pelanggan adalah yang nomor satu disini. Kalau bos tau, bisa kena semprot malam ini. Tapi bodo amatlah, kan saya sudah melaksanakan tugas. Mudah-mudahan bisa pulang cepat, kasian istri dirumah nunggu sendirian.

Itu kenapa tangannya sampai nyentuh tangan saya sih? Apa dia sengaja? Senyumnya itu. Bibir merahnya itu.

"Makasih ya, pak!"

Matanya itu. Ya ampun, apa yang harus saya lakukan? Dadanya besar, ya Tuhan.

Jadi kikuk deh. Keringatan lagi.

/IV/

Dasar ular.

Ia bahkan memakan shio milik Lana. Lihat betapa ia menikmati setiap irisan demi irisan berminyak itu dengan penuh nafsu.

"Shindi, tolong!"

Dia tidak menggubris. Ah, sial macam apa aku ini. Bertemu dengan perempuan ular sepertinya. Kenapa pula aku bisa menjalin hubungan dengannya. Seandainya waktu itu aku tidak mabuk. Seandainya tidak ada pesta kenaikan pangkat. Seandainya, ah, sial.

Baiklah, aku khilaf, itu salahku. Tapi aku tidak merencakanan apapun setelahpesat minum itu berakhir, termasuk untuk tidur dengan siapapun. Ini pengecualian jika perempuan mabuk yang kuhadapi saat itu adalah Lana. Sayang itu tidak pernah terjadi, kecuali kecelakaan yang membuat Lana memergokiku sedang tanpa busana dengan perempuan yang sedang melahap daging shio milik Lana ini sementara berada diatas perutku.

Dan, Lana. Padahal aku sudah mencoba untuk menjelaskan semuanya. Mencoba untuk menjadikannya prioritas dengan mengajaknya makan malam bersama keluargaku. Ku kira ia bakal tersentuh, ku kira, seharusnya sebuah kecupan manis dikeningnya dan keningku adalah penutup yang paling pas setelah makan malam itu usai. Dan bukannya sebuah tamparan, bahkan ditengah berlangsungnya prosesi sakral memperkenalkannya didepan kedua orang tuaku. Yang membuat ibuku tersedak dan harus dilarikan ke rumah sakit.

Padahal sudah kukatakan pada Lana, bahwa aku bukan 'Playboy', aku hanya ber-shio Kelinci. Dan itu tidak ada hubungannya dengan perempuan mabuk yang entah kebetulan atau tidak ditemukannya sedang tidur denganku malam itu.

"Shindi, tolong jangan buat aku tidak tahan."

Ia masih tidak peduli.

"Shindi!" aku memukul meja, sepasang sendok dan garpu terangkat sedikit dan sebentar ke udara, dan seketika semua mata yang ada diruangan itu tertuju pada kami.

Aku memutuskan untuk keluar dari restoran. Tidak menengok atau menjelaskan sedikit saja kejengkelanku pada orang yang dengan teganya memakan daging shio milik Lana.

Seandainya Shindi tidak hamil. Sudah kutampar dia.

/V/

Aku selalu menyukai bagian-bagian ini. Terus terang saja. Aku ingin membuat gambaran bahwa Lana telah berakhir menjadi hidangan lezat disetiap santap makan malam kami, dihadapan Jay. Aku ingin dia sadar, hidup adalah soal realitas, dan bukan kecocok-cocokan yang ada dikalender cina, seperti yang selalu ia gumamkan setiap waktunya. 

Aku tidak percaya pada shio, dan tidak peduli kalau yang aku makan ternyata adalah peruntungan hidup bagi seseorang. Selama seseorang itu mengganggu pikiran dan hati calon ayah dari anak yang ada dalam perutku ini, maka aku tidak akan segan-segan untuk memakannya. Memanggangnya, dan menambahkan sedikit kecap dan sambal cukup untuk membuatnya semakin menggugah selera.

"Jay!"

Aku berdiri, dan sedikit merapikan busanaku yang agak melorot, memperlihatkan paha dan pinggulku yang sebentar lagi akan membengkak. Juga sedikit sisa kecap di pipi kiriku.

"Tunggu!"

/VI/

Saya berjalan mendekati meja sisa tempat makan dua pasangan aneh tadi. Ini jam-shif terakhir saya. Saya harus cepat membereskan meja, merapikan piring, mengambil tip yang diselip dibalik nampan berisi sisa babi panggang tiga lapis, dan segera pulang, istri saya sedang menunggu dirumah.

Tunggu!

Apa ini?

"Nomor telepon! Cap bibir! Pesan pendek?" Saya membatin.

[2018]

2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun