Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Sampai Indonesia Tinggal Nama Gara-gara AFTA

4 April 2014   06:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:06 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apabila segala-galanya berjalan sebagaimana mestinya, berlakunya ASEAN Free Trade Area (AFTA) –pasar bebas ASEAN– tahun 2015 mendatang adalah sesuatu yang menggairahkan. Kemungkinan-kemungkinan baru untuk dieksplorasi menjadi banyak sekali bermunculan. Bagaikan beraneka-ragam permainan baru dalam jumlah melimpah di mata anak-anak. Akan tetapi, jikalau suatu bangsa penandatangan kesepakatan AFTA selama ini ibarat mengendarai sepeda melawan arus, bukan di jalan raya melainkan di sungai berarus deras dan berjeram, datangnya pemberlakuan pasar bebas ini justru terasa seakan hari-H pelaksanaan eksekusi mati di depan para algojo.

Di mana posisi Indonesia? Di posisi si kanak-kanakkah, yang memandang AFTA seolah trampolin yang dapat melambungkan tinggi sekali kesejahteraannya? Ataukah di posisi si terdakwa, melihat AFTA sebagai algojo yang akhirnya mewujudkan dan menghadirkan sepenuhnya secara nyata apa yang selama ini saja sudah terasa siksaannya dan menggerogoti dari dalam, yaitu maut?

Ketika bumi Nusantara kita masih dijajah bangsa asing, begitu sulitnya kita melepaskan diri dari penjajahan mereka. Yang lebih mengherankan lagi, faktanya, semua yang pernah menjajah kita adalah bangsa-bangsa yang secara kuantitas kalah daripada seluruh penduduk Nusantara. Bahkan, yang paling lama berkoloni di tanah air kita ini justru adalah yang paling sedikit warganya.

Kuatirnya, kita selama ini dicekoki sejarah yang kurang akurat dan kurang substansif. Banyak realitas sejarah yang tidak diberitahukan pada anak-anak bangsa. Entah sengaja disembunyikan, dianggap kurang penting, atau karena alasan lain. Kenyataan sejarah yang benar pun tidak secara mendalam dipaparkan. Pula tidak mendalam ditanamkan pada kognisi, rasa, dan karsa generasi penerus. Kita diajarkan dalam pelajaran-pelajaran Sejarah semenjak SD hingga SLTA bahwa penjajahan selama itu bisa terjadi pada kita akibat 2 (dua) penyebab. Pertama, tertinggalnya kita dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), utamanya yang terkait persenjataan dan kemiliteran. Kedua, tidak atau belum adanya persatuan dan kesatuan di antara suku-suku bangsa di seluruh Nusantara. Tidak terlalu salah, memang. Kedua faktor itulah yang memang terlihat mata orang awam. Padahal, jikalau digali sampai ke dasarnya, kedua penyebab itupun terbentuk dari faktor sebelumnya. Satu faktor saja.

Nenek moyang kita sudah membangun candi-candi besar di berbagai pulau. Borobudur, Prambanan, Muara Takus, dan masih banyak lagi. Jauh sebelum Tarikh Masehi mencapai milenium yang pertama. Melihat kekokohan, detil arsitektur, dan kerumitan ornamennya, bangunan-bangunan tersebut tidak mungkin dibangun oleh orang-orang primitif yang masih hidup di pohon dan belum mengenal cara berbusana yang layak. Singkirkan saja mitos sia-sia yang mengatakan kalau semua candi itu dibangun oleh bangsa jin. Bagaimana mungkin makhluk yang rupa fisik saja tidak punya bisa membangun bangunan fisik? Jadi, manusia-manusia Nusantara yang sanggup membangun candi-candi sedemikian itu pastilah kaum yang sudah menguasai iptek yang sangat maju. Penguasaan matematika, geometri, fisika, teknik konstruksi, geologi, geodesi, hingga ilmu tata-ruang benar-benar mutlak diperlukan untuk bisa membentuk bangunan-bangunan semonumental itu.

Dalam kurun yang sama, mereka pun telah mampu menguasai bahari. Penjelajahan mereka mencapai tanah di selatan yang kini dikenal sebagai Australia, jauh ke barat sampai Pulau Madagaskar dan pantai timur Afrika, ke Pulau Formosa (Taiwan) dan wilayah Campa (Vietnam, Kamboja, Laos) di utara, serta ke timur hingga pulau-pulau di Samudera Pasifik yang kini dikenal sebagai Mikronesia. Sebuah kehebatan yang di sepanjang sejarah peradaban manusia sampai pada zaman itu hanya bisa ditandingi orang Tiongkok dan suku Viking. Dan kita tahu, tidak mungkin kemaritiman dapat begitu hebat apabila tidak didukung penguasaan teknologi yang luar biasa mumpuni di banyak bidang. Fisika, hidrologi, teknik konstruksi, astronomi, oseanologi, topologi, sampai biologi mesti dikuasai agar mampu membangun dan menjalankan dengan selamat kapal-kapal yang sanggup mengarungi perjalanan yang sangat jauh dan lama.

Mengerjakan konstruksi-konstruksi sedahsyat itu sudah tentu membutuhkan tenaga kerja yang bukan main banyak, yang harus diawasi sangat ketat dan masif. Mungkinkah itu dilakukan tanpa penjagaan aparat bhayangkara dan militer yang kuat? Menjelajahi begitu banyak belahan bumi pasti membuat nenek moyang kita bertemu dan berinteraksi dengan banyak bangsa, termasuk bangsa-bangsa besar. Mungkinkah pertemuan dan interaksi itu tidak menghasilkan hubungan diplomasi yang hangat dan erat, serta perdagangan yang ekstensif dan intensif, termasuk dalam rangka pemasokan senjata? Dan, perlu diingat, semakin jauh penjelajahan laut, makin besar pula resikonya. Apakah masuk akal dan sudah sebegitu nekadnya nenek moyang kita mengarungi samudera luas berbulan-bulan tanpa mempersenjatai diri dengan senjata-senjata canggih dalam jumlah banyak untuk menghadapi ancaman keganasan para bajak laut dan perompak?

Jadi, kita lihat, suku-suku bangsa di Nusantara dahulu itu maju, menguasai teknologi termutakhir, dan kuat secara militer. Mereka sama sekali tidak bodoh. Juga sama sekali tidak kekurangan persenjataan. Kapanpun, Kesultanan Khalifah di Timur Tengah, Kekaisaran Persia, atau Kekaisaran Tiongkok siap menyuplai senjata kepada raja-raja di Nusantara. Pertanyaannya, apakah itu tidak dilakukan? Mengapa justru penguasaan iptek rakyat Nusantara malah terus mundur secara progresif hingga mengakibatkan juga lemahnya pertahanan dan keamanan ketika bangsa-bangsa Eropa mulai berdatangan?

Sebelum menjawab, ada pertanyaan berikutnya. Pertanyaan yang berhubungan dengan faktor kedua penyebab Nusantara yang besar ini jatuh dan dikuasai lama sekali oleh bangsa-bangsa kecil dari Eropa dan kemudian Jepang juga. Mengapa suku-suku dan kerajaan-kerajaan besar Nusantara tidak bersatu? Kenapa mereka gampang sekali dihasut dan diadu-domba satu sama lain?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sama. Sebab, sebagaimana ditulis di atas, hanya satu penyebab yang sama yang menjadi biang keladi kemunduran dan pecah-belahnya nenek moyang kita. Yaitu, tidak adanya nasionalisme di antara suku-suku bangsa Nusantara. Dalam bahasa lain, tidak ada kesatuan identitas kebangsaan yang kuat mengakar. Karena, bilamana dulu nenek moyang kita punya satu jatidiri kebangsaan yang sama, dan jatidiri itu berfondasi kokoh dalam jiwa, niscaya jalannya sejarah bangsa kita sama sekali akan berbeda total. Dijamin, takkan ada cerita di mana kita pernah dijajah bangsa asing. Apalagi sampai bisa terjadi aib memalukan, sebagaimana yang memang sudah telanjur kita alami, yakni bisa-bisanya satu bangsa mini hingga tiga setengah abad bercokol di sini, lalu menggerogoti tanah air dan bangsa raksasa ini hingga habis.

Syukurlah, raksasa itu tersadar juga, akhirnya! Apa yang secara roh dan implisit diperjuangkan dan dirintis Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo dengan Boedi Oetomo mereka, Tiga Serangkai Indische Partij (Suwardi Suryaningrat “Ki Hajar Dewantara”, Douwes Dekker “Danudirja Setiabudi”, dan Dr. Cipto Mangunkusumo), H. Samanhudi dan H. Umar Said Cokroaminoto dengan Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam-nya, Ir. Soekarno dengan Partai Nasional Indonesia-nya, Drs. Mohammad Hatta dengan Perhimpunan Indonesia-nya, K.H. Hasyim Ashari dengan Nahdlatul Ulama-nya, serta juga Tan Malaka, Muhammad Yamin, dan lain-lainnya, akhirnya secara vokal, tekstual, dan eksplisit dimaklumatkan pada 28 Oktober 1928. Yaitu identitas Indonesia, diikrarkan dan ditekadkan dalam Sumpah Pemuda.

Identitas nasional yang jelas. Itu sudah otomatis pasti membangkitkan persatuan dan kesatuan. Mustahil kita membenci apalagi sampai mau bermusuhan, lebih-lebih lagi bila sampai ingin bercerai-berai dan berperang, dengan orang yang satu jatidiri dengan kita. Sebab, orang yang jatidirinya sama dengan kita adalah bagian dari diri kita sendiri juga. Tidak ada orang yang membenci, memusuhi, memerangi, ingin membinasakan, dan mau berpisah dari dirinya sendiri. Kecuali kalau jiwanya sakit, karena orang sakit jiwa tidak mengenali identitasnya sendiri (paling tidak, identitas dirinya yang asli).

Tepatnya, apa itu identitas/jatidiri nasional atau nasionalisme?

Identitas adalah pendefinisian diri. Jatidiri itu batasan yang jelas antara diri dengan apapun yang berada di luar diri. Ia membuat pembedaan yang riil dan tegas antara diri yang satu dengan diri yang lain. Sebagaimana pada diri individu manusia, pengertian ini juga berlaku penuh untuk identitas nasional. Dengan identitas kebangsaan, kita dapat merincikan 5W1H (what, who, why, where, when, how) dari bangsa Indonesia. Apa itu bangsa Indonesia. Siapa bangsa Indonesia sebenarnya. Mengapa bangsa Indonesia dapat dan layak menjadi sebuah bangsa. Secara fisik, di mana letak geografis tempat tinggal bangsa Indonesia. Secara spirit dan paradigma, di mana posisi bangsa Indonesia dalam kancah kehidupan makrokosmos dan ke mana bangsa ini menuju. Kapan bangsa Indonesia mulai eksis dan kapan pula momentum-momentum berharga bangsa ini di masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Bagaimana bangsa Indonesia terlahir dan bagaimana bangsa ini menjalani proses perjalanan dan kehidupannya. Artinya, keunikan bangsa Indonesia menjadi sangat gamblang. Substansi eksistensi kita, bangsa Indonesia, jadi dapat dijelaskan.

Berbagai pembatasan yang membentuk identitas itu terdiri dari 2 (dua) aspek. Pertama, batas-batas yang berupa kondisi natural, intrinsik, yang sebagian didapat secara herediter (diwariskan secara turun-temurun oleh orangtua dan leluhur) dan sebagian lagi secara kongenital (bawaan dari lahir, dari sononya), sehingga bersifat melekat permanen selamanya, tidak dapat berubah ataupun direkayasa, dan kita hanya bisa menerima saja. Kedua, batas-batas berupa kondisi yang berada dalam kekuasaan kita sehingga bisa berubah dan kita pun bisa mengubah atau merekayasanya. Pada diri pribadi kita sebagai individu, contoh aspek pertama itu seperti tempat dan tanggal lahir, gender/jenis kelamin, ayah dan ibu biologis, umur, serta golongan darah kita. Biarpun seksualitas organ anatomi bisa diubah, seperti yang dilakukan sebagian kaum transgender, namun kromosom genitalia pada gen DNA kita takkan pernah bisa diutak-atik, tetap XX (perempuan) atau XY (laki-laki). Sedangkan aspek kedua itu misalnya alamat tempat tinggal, status perkawinan, agama, nomor telepon/ponsel, pekerjaan, dan kewarganegaraan, serta bahkan juga nama kita.

Sementara itu, jika kita tempatkan pada konteks identitas kebangsaan, aspek pertama dari batasan itu umpamanya bahasa nasional, riwayat dan sejarah di masa lalu, warisan budaya dan kearifan dari nenek moyang berupa adat-istiadat dan tradisi, serta tanah air alias letak geografis daerah yang dihuni bangsa tersebut. Mencoba merekayasa semua itu berarti meniadakan kebangsaan dari kelompok masyarakat tersebut. Artinya, meniadakan bangsa itu sendiri. Dengan kata lain, usaha rekayasa itu adalah sebuah etnosida. Sedangkan contoh aspek keduanya adalah bendera nasional, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Separah apapun konsekuensinya dan semahal apapun harga yang harus dibayar, semua itu bisa-bisa saja diubah tanpa meniadakan keberadaan bangsa yang bersangkutan.

Karena menyangkut apa, siapa, mengapa, di mana, kapan, dan bagaimananya suatu diri atau bangsa, juga mengingat aspek pertama batasan sebagaimana dibahas barusan, maka identitas itu, baik bagi individu personal maupun bagi bangsa, pertama-tama bersifat jiwani, rohaniah, spiritual. Baru kemudian bermanifestasi dalam dimensi fisik, jasmani, materi.

Esensi yang bersifat mental-spiritual dari jatidiri itu disebut ideologi. Ideologi terbentuk dari visi, misi, dan nilai-nilai yang dianut. Khusus untuk nasionalisme atau jatidiri kebangsaan, visi, misi, dan nilai anutan ini tergolong aspek pertama, yakni batasan-batasan identitas yang tidak dapat diubah.

Ideologi sebuah bangsa harus dirumuskan. Formulasi visi, misi, dan nilai-nilai anutan bangsa Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ‘45). Di dalam Pembukaan UUD ’45, visi yang kita klaim adalah terhapusnya segala bentuk penjajahan di muka bumi karena kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, dijunjung tingginya perikemanusiaan dan perikeadilan di seluruh dunia, terwujudnya perikehidupan kebangsaan Indonesia yang bebas, serta terselenggaranya negara Indonesia yang rakyatnya merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Misi bangsa kita ialah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah (tanah air) Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta dalam usaha memelihara perdamaian dunia; dan semua itu dilaksanakan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Khusus nilai-nilai yang menjadi pedoman kehidupan kebangsaan, rumusan untuk itu bagi bangsa Indonesia ada 2 (dua), yaitu Pancasila, yang seluruhnya juga termaktub dalam Pembukaan UUD ’45, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ketuhanan Yang Mahaesa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta keanekaragaman yang tetap menyatu-padu, semua itu bersenyawa menjadi kegotong-royongan, ciri khas bangsa Indonesia yang begitu fenomenal.

Dan semua perumusan itu bersifat hakiki secara paten. Dari seluruh bagian UUD ’45, hanya Pembukaan inilah yang tidak boleh diamandemen. Begitu juga Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak boleh diubah, apalagi sampai diganti atau dihapuskan. Mengamandemen atau mengubah –apalagi sampai mengganti– Pembukaan UUD ’45, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika bukan cuma berarti mengubah/mengganti negara tapi juga berarti mengubah/mengganti bangsa secara keseluruhan. Dan itu artinya, tidak ada lagi yang namanya bangsa dan negara Indonesia. Karena, ideologi sama dengan DNA. Sebuah cetak biru. Maka, mengubah atau meniadakan ideologi dari sesuatu berarti sama saja melenyapkan sesuatu itu sendiri.

Setelah dimensi spiritual identitas nasional mantap tertanam dalam jiwa dan membentuk pola pikir dan pola hidup masyarakat, barulah akan keluar dengan sendirinya manifestasi nasionalisme itu secara fisik dan material. Busana daerah seperti batik, lurik. Resep kuliner khas daerah semacam rendang, soto makassar. Kesenian, properti kesenian, dan produk seni seperti gamelan, wayang golek, tari piring, lagu O Ina Ni Keke. Rumah adat seperti rumah gadang, rumah panggung. Benda pusaka khas dan senjata seperti keris, mandau. Upacara religi, pernikahan adat, dan olahraga tradisional seperti ngaben, lompat batu Nias. Semuanya merupakan produk budaya yang secara otomatis akan muncul dari penghayatan akan identitas kebangsaan yang dimiliki.

Karena itu, jatidiri nasional tidak bisa dilepaskan dari realita. Batas yang ditetapkan identitas bukanlah untuk memisahkan diri dengan segala sesuatu di luar diri, tidaklah bermaksud sebagai pemutus hubungan apapun yang hidup dan berada di dalam wilayah kebangsaan kita dengan semua yang ada di luar batas wilayah nasional kita, baik secara riil fisik maupun secara konsep pemikiran. Malah, tak jarang ditemui ekses dalam bentuk lain: batas yang ditetapkan jatidiri bukan cuma menyebabkan ketegangan hubungan antara diri dengan lingkungan dan antara semua yang berada di dalam wilayah kebangsaan dengan segala sesuatu di luar itu, tapi justru juga merenggangkan dan menjadikan tidak harmonisnya relasi semua hal yang ada di dalam diri dan wilayah kebangsaan itu sendiri. Nasionalisme yang benar dan sehat tidak akan jatuh menjadi ultra-nasionalisme atau chauvinism. Identitas yang ideal justru membuat sang pemilik identitas menyadari persamaan derajat dan hak eksistensi serta merasakan adanya ketertarikan dan keterikatan dengan sesama manusia, sesama makhluk, maupun dengan alam semesta. Baik yang berada di dalam wilayah kebangsaan yang sama maupun yang berada di luar. Dengan saudara sebangsa dan bumi negeri sendiri maupun dengan bangsa-bangsa dan belahan bumi lain.

Identitas nasional sangat tidak mungkin dipisahkan dari kecintaan nasional. Keduanya berbanding lurus. Kian kuat dan dalam jatidiri kebangsaan tertanam dalam hati kita, makin besar dan peka cinta kita pada tanah air dan bangsa sendiri. Patriotisme adalah anak kandung dari nasionalisme yang sehat, ideal, dan sejati.

Karena merupakan batas yang tegas antara diri dengan lingkungan, nasionalisme atau jatidiri kebangsaan erat kaitannya dengan persepsi kepemilikian. Nasionalisme yang ideal membuat sebuah bangsa dapat melihat dengan jelas mana yang menjadi milik dan teritori sendiri, mana yang merupakan hak dan properti pihak lain. Juga, terkait dengan hal itu, bangsa bersangkutan juga mampu berespon sepantasnya terhadap harta miliknya. Baik dalam hal pemanfaatan maupun dalam mempertahankan dari ancaman perebutan atau pencurian oleh bangsa lain. Sebaliknya, identitas kebangsaan yang rusak mengakibatkan suatu bangsa berpersepsi secara ngawur terhadap kepemilikan. Harta milik bangsa lain diingini, bahkan dibajak. Namun, aset negeri sendiri, bahkan aset yang sangat dan paling berharga, malah dijual murah-murah, diobral, bahkan diumbar cuma-cuma ke negara lain.

Jatidiri juga ibarat akar pada pohon dan fondasi pada bangunan. Bukan saja kokoh-tidaknya rumah kebangsaan kita berdiri amat bergantung padanya, namun dari identitas pula pohon nasional kita menyerap segala nutrisi yang dibutuhkan oleh kelestarian hidup berbangsa kita.

Dengan jatidiri yang rapuh, bisa saja sebuah bangunan kebangsaan berdiri tegak untuk sementara. Terlihat indah dan terkesan kuat-kuat saja. Sampai kemudian ujian datang. Angin mulai kencang. Burung-burung tiba-tiba datang berbondong-bondong dan hinggap. Hujan dan bahkan badai turun dengan segera. Banjir melanda, malah diiringi gempa bumi pula. Maka, dalam sekejap, gedung megah nan agung, yang dari luar tampak perkasa, sekonyong-konyong kontan ambruk dan jadi berkeping-keping, puing-puingnya pun lenyap karena hanyut terbawa banjir.

Atau, mungkin identitas itu kuat. Namun, kondisinya tidak sehat. Dari kulit luar sampai ke inti terdalam, akar itu mengidap penyakit ganas. Kekuatannya tidak berkurang, jadi tetap dapat menopang pohon kebangsaannya. Tapi, segala yang diserapnya langsung berubah menjadi racun, sehingga penyakit itu dengan cepat menyebar ke seluruh bagian pohon. Asimilasi dan akulturasi budaya semestinya menjadi proses penyerapan hal-hal positif dan konstruktif yang dimiliki bangsa-bangsa lain. Akan tetapi, jatidiri nasional yang sakit menyebabkan kita justru menyerap unsur negatif dan destruktif yang terdapat pada budaya asing.

Jadi, selain moral dan karakter, nasionalisme atau identitas kebangsaan merupakan penentu maju-mundurnya perjalanan, naik-turunnya derajat, bangun-jatuhnya eksistensi, dan hidup-matinya suatu bangsa. Mengapa? Karena, memang ketiganya, moral, karakter, dan jatidiri, adalah penentu nasib, harkat, martabat, aktualisasi, dan arah hidup manusia. Baik individu maupun kelompok. Bedanya, kerusakan moral dan karakter itu bagaikan penyakit hipertensi kronis, sementara kerusakan jatidiri ibarat AIDS. Sewaktu seseorang atau sebuah bangsa menjadi rusak moral dan/atau karakternya, keluhan-keluhan mulai timbul, ada saja ketidaknyamanan yang terasa. Kehidupan menjadi kurang optimal lagi. Masalah satu mulai datang, diselesaikan, langsung muncul masalah berikutnya. Malahan, sebelum masalah pertama beres, masalah berikutnya sudah mendera. Tidak jarang, yang menyerang adalah multi-masalah, berbarengan sekaligus. Menariknya, semua masalah itu jauh lebih banyak datangnya dari diri pribadi orang itu atau dari dalam negeri bangsa itu sendiri. Akan tetapi, bagaimanapun sakitnya kehidupan orang atau bangsa tersebut, tetap dia masih hidup, bisa berdiri, berjalan, dan beraktivitas rutin dalam waktu cukup lama, bahkan sangat lama. Kolaps, kelumpuhan, dan kematian sering lambat sekali terjadinya. Namun, tidak demikian halnya bilamana orang atau bangsa tersebut rusak jatidirinya. Semuanya serba normal. Bahkan, kian lama kian hebat dan maju saja. Hingga kemudian datang serangan. Bisa dari dalam diri orang atau dari dalam negeri bangsa itu sendiri, bisa pula dari luar. Tapi, tidak peduli dari manapun itu asalnya, tidak perlu banyak dan bertubi-tubi, bahkan tidak perlu berat-berat: satu serangan ringan saja sudah mendampakkan kerusakan yang luar biasa besar. Orang atau bangsa itu spontan tergeletak kolaps, atau malah langsung lumpuh, bahkan sangat mungkin tak lama kemudian innalilahi wa inna ilahi rojiun. Ironisnya, seperti pada kasus AIDS, yang meng-K.O.-kan, melumpuhkan, sampai membunuh orang atau bangsa yang bersangkutan bukanlah kerusakan identitas itu sendiri, melainkan serangan yang datang menerpa itu.

Satu-satunya jalan menanamkan bibit nasionalisme adalah lewat pendidikan. Pendidikan inilah yang memiliki multi-matra. Tepatnya, ada 3 (tiga) matra atau bidang besar pendidikan. Pertama, pendidikan kognitif dan bersifat mengasah keterampilan/kompetensi, baik melalui jalur pendidikan formal atau akademik, pendidikan non-formal, maupun pendidikan informal. Kedua, pendidikan motivatif, yang dikerjakan melalui pencontohan (atau dengan kata lain, peneladanan dan keteladanan). Dan ketiga, pendidikan eksperiensif dan kontemplatif, yang didapatkan dari pengalaman, jam terbang, perenungan yang mendalam dan intensif, interaksi dengan orang-orang dan bacaan-bacaan serta sumber-sumber informasi lainnya yang berasal dari bermacam-macam warna dan latar belakang, serta juga tidak sedikit melalui pencerahan secara supranatural.

Melalui semua jalur inilah benih identitas nasional harus ditanamkan. Sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi perlu terus memasukkan kurikulum pengenalan, pendalaman, pengkajian, studi berkelanjutan, dan penjiwaan akan visi, misi, dan nilai-nilai luhur pusaka bangsa Indonesia yang terdapat dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pembukaan UUD ’45. Bahasa Indonesia wajib dikuasai para peserta didik secara baik dan benar, secara lisan maupun tertulis. Siswa dan mahasiswa juga harus didekatkan pada kearifan-kearifan lokal, elemen-elemen budaya seperti pakaian dan upacara adat dan sebagainya dari seluruh daerah di Indonesia. Juga pada sejarah kehidupan bangsa, riwayat para tokoh nasional secara obyektif terhadap segala kelebihan dan kekurangan manusiawinya, serta sistem ketatanegaraan dan dinamika perikehidupan kebangsaan-kenegaraan mulai sejak awal bangsa ini terbentuk hingga pada yang paling aktual.

Kemudian, para pemimpin, baik pemimpin pemerintahan maupun pemimpin di bidang-bidang lain, dalam level negara, daerah, lokal, maupun keluarga, wajib memberi contoh yang ideal tentang bagaimana nasionalisme yang sehat itu diaplikasikan dan diimplementasikan. Jangan sampai pemimpin justru lemah dan lembek menghadapi bangsa asing sehingga dengan gampangnya bangsa-bangsa luar mempermainkan Indonesia. Jangan pula para pemimpin dengan entengnya menjual aset-aset nasional kepada pihak asing. Korupsi bukan hanya merusak perekonomian dan kesejahteraan bangsa, tapi juga memberi contoh yang tidak benar dengan memberi kesan seolah-olah kepemimpinan adalah soal mengutamakan hawa nafsu akan uang dan kekuasaan dan berahi, serta kepentingan pribadi dan golongan, jauh melebihi niat untuk menegakkan kehormatan bangsa melalui peningkatan taraf hidup, kapabilitas, dan kesejahteraan masyarakatnya.

Apabila kedua penanaman tersebut berkelindan dengan indah, pasti setiap insan bangsa akan dengan kesadarannya sendiri mematangkan nasionalisme yang telah tertanam dan tengah bertumbuh di hatinya itu melalui kontemplasi penghayatan dan pengamalan yang kontinu dan simultan. Yang berbuahkan manis berupa kuatnya jatidiri kebangsaan itu terpancang dalam kehidupannya. Apalagi sekiranya para orangtua, rohaniwan, pemimpin politik, figur publik lainnya seperti artis atau atlet yang diidolakan, dan juga tenaga pendidik dapat terampil mengipasi kobaran patriotisme di atas bara nasionalisme pemuda bangsa itu sehingga jadi makin membesar. Entah itu dengan perbuatan-perbuatan patriotik yang berani dalam menolak kejahatan dan intrik-intrik bangsa asing, umpamanya. Atau lewat komentar-komentar dan orasi-orasi yang menekankan ke-Indonesia-an, dalam arti, amat jarang menggunakan istilah-istilah bahasa asing, apalagi sampai mengagungkan unsur asing dan melecehkan/merendahkan/menyepelekan apapun yang berasal dari negeri dan bangsa Indonesia sendiri.

Begitu mudahnya kerajaan-kerajaan Nusantara ditaklukkan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak awal abad ke-16 dengan taktik adu domba memang dapat dimengerti. Pada waktu itu, memang tidak ada sama sekali identitas nasional Nusantara dalam alam pemikiran suku-suku bangsa di seluruh kepulauan ini. Nasionalisme itu baru dilahirkan pada awal abad XX. Terbukti, seiring bertambah besarnya jatidiri kebangsaan bertumbuh dan berkembang di dada seluruh rakyat Nusantara, kemerdekaan pun teraih, negara Indonesia pun terbentuk. Sebab, entitas baru sudah ada dan menjadi dewasa, yakni bangsa Indonesia. Dan entitas inilah yang membentuk negara dengan nama yang sama, Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, identitas nasional yang sempat memberi harapan cerah itu justru malah melayu. Kepemimpinan nasional memberikan contoh buruk yang merusak pohon dan bangunan nasionalisme dalam sukma anak-anak bangsanya. Di sinilah kegagalannya. Di sinilah sumber penyebabnya, karena pendidikan motivatif sama sekali tidak pernah berjalan di negeri ini. Termasuk dan teristimewa dalam hal penanaman nasionalisme. Padahal, justru pendidikan motivatif inilah yang berperan jauh lebih besar ketimbang pendidikan secara kognitif.

Memang, Orde Lama berupaya dengan politik Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri)-nya. Orde Baru juga sudah, melalui penataran-penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)-nya. Tapi, seiring itu, korupsi juga berjalan. Kebobrokan moral para pemimpin makin jelas bisa disaksikan rakyat. Apalagi, Orde Baru juga begitu permisif dan mengalah pada pihak asing. Terutama dunia Barat. Alhasil, identitas kebangsaan itu melemah akar dan fondasinya secara progresif.

Pada akhirnya, sebuah ujian berupa Krisis Moneter yang datang di penghujung tahun 1997 sampai awal tahun 1998 mengakibatkan bangunan kebangsaan kita rusak parah. Nyaris bangsa ini lenyap, tercabut dari tanahnya. Syukurnya, tidak sampai demikian. Tapi, bagaimanapun, kerusakan yang berupa krisis multi-dimensional itu memang perlu penanganan radikal. Sebab, memang radiks (akar)-nya sendiri sudah rusak dan sakit parah hingga sekarat.

Rezim Reformasi bukannya melakukan hal tersebut, yaitu membangun kembali secara radikal bangsa ini dengan cara menanamkan kembali akar nasionalisme atau jadiri kebangsaan itu di dalam hati bangsa ini, dan kemudian memeliharanya baik-baik supaya bukan hanya bertumbuh sehat dan ideal, melainkan juga cepat. Alih-alih demikian, malah Reformasi melakukan pengrusakan justru pada akarnya itu sendiri.

Pendidikan berbasis kompetensi. Sekolah bertaraf internasional. Pendidikan bertujuan meningkatkan daya saing. Kita mesti tetap berbaik sangka pada semua itu. Kompetensi jelas mutlak dipunyai. Kita bukan hanya harus berdaya saing, namun juga harus unggul dalam segala bidang terhadap semua bangsa di dunia, karena, sebenarnya, tidak ada alasan untuk tidak bisa mencapai hal itu, kita ini bangsa besar. Dan semua itu tentu perlu pendidikan, terutama dalam jalur formal, yang memberi wawasan dan gereget internasional.

Tapi, pada saat yang sama, materi yang pengajaran tetaplah harus diawali, dikawal, dan ditutup dengan nuansa Indonesia total. Tanpa itu, kembali seperti tadi, ibarat menanam pohon tanpa akar, bagai membangun rumah tanpa fondasi.

Prakteknya? Justru bangsa ini terkesan jelas seperti sedang dipereteli akarnya. Bukannya memperkuat pengetahuan, kemahiran, dan wawasan dalam hal Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Pembukaan UUD ’45, budaya-budaya Indonesia, dan bahasa Indonesia, justru semua itu malah dihilangkan. Yang tragis, yang katanya sekolah internasional itu malah melarang keras para muridnya, yang notabene semuanya warganegara Indonesia dan nyaris seluruhnya dari nenek-moyangnya sudah bangsa Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah. Bahkan, sekolah-sekolah itu secara intensif mendesak para orangtua siswa agar berkomunikasi menggunakan bahasa-bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan/atau Mandarin.

Jelas, anak bangsa ini seharusnya menguasai bahasa-bahasa asing. Makin banyak makin baik. Terutama bahasa Inggris, bahasa yang diakui sebagai bahasa komunikasi internasional. Akan tetapi, itu nanti, setelah si anak sudah amat sangat menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar secara lisan dan tertulis dulu. Kalau tidak, maka akarnya bisa-bisa bukanlah Indonesia, tapi Inggris. Atau Tiongkok. Atau Jepang. Atau yang lainnya.

Perhatikan. Tiada satupun dari antara semua negara maju yang bangsanya tidak memiliki identitas nasional yang jelas, gamblang, dan tertanam kuat. Bukan hanya bangsa-bangsa yang secara alamiah memang sudah menjadi penduduk asli atau pribumi di negeri masing-masing, seperti bangsa Jepang, Korea, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Belanda, dan sebagainya. Tapi, bangsa yang terhitung baru terbentuk sekalipun –seperti bangsa Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru– tidak perlu diragukan lagi nasionalismenya. Bangsa Amerika Serikat dibentuk oleh orang-orang yang secara lahir berkebangsaan Anglo-Saxon (Inggris, Skotlandia, Irlandia), Prancis, Belanda, Spanyol, Italia, Jerman, dan Tiongkok, yang baru datang ke benua baru tersebut pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Bangsa Kanada dibentuk oleh orang-orang yang sebelumnya adalah bangsa Anglo-Saxon dan Prancis. Sedangkan bangsa Australia dan Selandia Baru dibentuk oleh para imigran Anglo-Saxon. Jadi, tidak satupun dari bangsa-bangsa itu yang bisa dikatakan merupakan penduduk pribumi di wilayah tempat mereka tinggal sekarang. Dengan lain istilah, mereka tadinya sudah punya identitas kebangsaan yang dibawa dari tanah kelahiran mereka, namun memutuskan secara total meninggalkan identitas lama mereka selama-lamanya, membentuk identitas kebangsaan baru di wilayah tempat tinggal mereka yang baru, serta setia berkomitmen dan menjaga kekokohan identitas baru tersebut. Memang, belum tentu juga bangsa yang jatidiri kebangsaannya jelas dan tertanam dalam-dalam akan serta-merta menjadi bangsa maju. Dan belum tentu pula bangsa yang nasionalismenya samar-samar dan tidak terpancang kuat-kuat akan otomatis terbelakang, tidak maju-maju. Tapi, yang pasti, biarpun bisa maju, bangsa yang tanpa jatidiri kebangsaan kokoh takkan dapat mempertahankan eksistensi dan kemajuan yang dicapainya.

Jikalau praktek pengrusakan akar kebangsaan dan nasionalisme ini terus dilanjutkan, maka AFTA 2015 akan menjadi badai besar yang merusakkan pohon dan bangunan kebangsaan Indonesia. Gejala-gejalanya saja sudah jauh-jauh hari bisa dilihat. Produk kita diperlakukan sewenang-wenang dan dihargai rendah sekali di luar negeri, sementara orang-orang luar menekan kita supaya produk mereka diperlakukan dengan hormat dan dibandrol tinggi sekali di Indonesia. Mereka seenaknya menetapkan kuota bagi komoditas ekspor kita, dengan alasan karena mereka punya hak dan kedaulatan atas perekonomian negara mereka. Sedangkan pada saat bersamaan, Indonesia dipaksa dan bahkan mungkin diancam supaya membuka diri seluas-luasnya untuk dijadikan pasar produk mereka, dan sama sekali mereka tidak mau tahu akan hak dan kedaulatan kita.

Celakanya, justru para pemimpin kita sendiri yang memungkinkan itu terjadi. Malahan, para pemimpin kita sendiri yang menjilat-jilat dan membujuk-bujuk pihak asing untuk melakukan semua tindakan itu, seolah melacurkan bangsa dan negerinya sendiri ini.

Pula, pada AFTA nanti, akan bebas masuk pula produk-produk yang beraromakan budaya dari negara-negara jiran. Musik, bacaan, pakaian tradisional, dan sebagainya. Ngerinya, sebagaimana sudah terbukti dan terjadi, produk-produk budaya bangsa kita sendiri yang masuk ke negeri mereka itu nanti akan mereka curi. Dalam arti, mereka kumpulkan, mereka ubah sedikit rancangannya. Kemudian, karena bangsa kita sendiri tidak menghargai asetnya sendiri yang berharga sekalipun sehingga tidak mematenkan aset tersebut, bangsa tetangga itu klaim produk tersebut sebagai karya intelektual mereka. Puncak celakanya, dunia mengakui itu. Dan tidak sudi mengakui bahwa Indonesia-lah sebenarnya pemilik asli aset tersebut. Dan kita hanya bisa pasrah. Kemudian lupa.

Itu bagaikan orang yang sudah meninggal. Kemanusiaan dan dirinya sudah meninggalkan dunia ini. Tapi jasad dan namanya masih tertinggal di dunia ini.

Jangan sampai gara-gara AFTA, Indonesia seperti itu. Hanya tinggal jasad tanpa nyawa. Hanya tinggal nama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun