Mohon tunggu...
Samuel Partogi Simanjuntak
Samuel Partogi Simanjuntak Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Teknik Elektro di Institut Teknologi Padang

Sebagai seorang aktivis kepemudaan, saya senang berdiskusi tentang sosial budaya, politik, dan pemerintahan. Bagi saya, pemuda punya peran penting dalam membentuk masa depan bangsa. Melalui tulisan, saya ingin berbagi perspektif, mengajak berpikir kritis, dan bersama-sama mencari solusi untuk isu-isu yang kita hadapi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Feminisme vs Patriarki: Pergulatan Isu Gender dari Zaman Kartini hingga saat ini

9 Maret 2025   03:47 Diperbarui: 9 Maret 2025   09:12 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iustrasi Hari Perempuan Internasional (Sumber: Freepik))

Sejak lama, feminisme telah menjadi lentera pergerakan yang tak lekang oleh zaman sebuah isu yang bergema jauh sebelum abad ke-19. Di Indonesia, benih pemikiran feminis mulai tumbuh subur sejak era kolonial awal abad ke-20, diwarnai oleh kegigihan R.A. Kartini yang lewat surat-suratnya (Habis Gelap Terbitlah Terang) mengkritik feodalisme Jawa dan memperjuangkan hak pendidikan perempuan. Tak hanya Kartini, semangat itu terus hidup dalam karya Karlina Supelli, filsuf dan feminis visioner yang mengkritik praktik kelembagaan agama serta menelurkan pemikiran etis tentang sains-teknologi. Seperti kata-katanya yang menggugah: "Agama bukanlah musuh feminisme. Musuh kita adalah penindasan yang menggunakan kedok agama."

Tulisan ini lahir bukan hanya dari refleksi pribadi, tetapi juga dari diskusi intens bersama rekan-rekan di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Padang Sanctus Anselmus: Ella, Devi, Febi, Berlin dan Erguna. Keragaman disiplin ilmu dan budaya mereka menciptakan dinamika diskusi yang kaya, mengajak kita menyelami feminisme bukan sebagai teori semata, melainkan sebagai perjuangan hidup yang menyentuh setiap aspek kemanusiaan. Mari kita telisik lebih dalam!

Laki-laki bekerja, perempuan cukup di rumah itu kodrat

Pernyataan "Laki-laki bekerja, perempuan cukup di rumah itu kodrat" mengabadikan stereotip patriarki yang mengabaikan keragaman budaya dan ketimpangan sistemik. Nyatanya, konsep "kodrat" lebih sering merupakan konstruksi sosial ketimbang ketetapan biologis. Contoh nyata terlihat pada Suku Minangkabau yang menganut sistem matrilineal: perempuan memiliki hak waris dan mengelola harta keluarga, sementara laki-laki bertugas menjaga kehormatan marga pembagian peran yang justru berlawanan dengan narasi dominan. Sejarah juga membuktikan bahwa kolonialisme Belanda di Jawa-lah yang memperkenalkan feodalisme patriarki, membatasi perempuan ke ranah domestik, padahal sebelumnya banyak perempuan Jawa aktif berdagang atau mengelola lahan. Klaim ini pun mengabaikan realitas beban ganda perempuan: data BPS (2023) menunjukkan 64% perempuan Indonesia bekerja di sektor formal, namun tetap menghabiskan rata-rata 4,7 jam/hari untuk urusan domestik dua kali lipat lebih lama daripada laki-laki. Di sisi lain, laki-laki yang dipaksa menjadi "mesin pencari nafkah" rentan mengalami tekanan mental, tercermin dari angka bunuh diri 3x lebih tinggi daripada perempuan (WHO, 2021). Tokoh seperti Butet Manurung, yang mendirikan Sokola Rimba untuk pendidikan anak-anak pedalaman, atau Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, membuktikan bahwa perempuan mampu berkontribusi di ruang publik tanpa mengabaikan tanggung jawab domestik jika sistem mendukung. Seperti dikatakan Karlina Supelli: "Masalahnya bukan pada 'kodrat', tapi pada sistem yang menolak membagi beban dan peluang secara adil." Maka, alih-alih berdebat tentang "takdir biologis", sudah saatnya kita membongkar struktur yang memaksa perempuan dan laki-laki terpenjara dalam kotak peran usang.

Patriarki Merusak Budaya? (Perspektif: Masyarakat Batak)

Patriarki dalam masyarakat Batak tercermin dalam sistem kekerabatan dan adat yang kuat, di mana garis keturunan (marga) diturunkan secara paternalistik. Contoh nyata terlihat pada tradisi "parsinabul" (pembawa acara/raja parhata) yang kerap hanya dibawakan oleh laki-laki sebagai representasi pemegang otoritas marga, sementara perempuan lebih banyak berperan sebagai penopang simbolis. Selain itu, dalam pembagian warisan, tanah ulayat atau harta keluarga umumnya diwariskan kepada anak laki-laki, sementara perempuan dianggap "keluar" dari marga setelah menikah dan bergabung kemarga suami. Praktik "sinamot" (mahar pernikahan) juga memperkuat hierarki gender: besaran sinamot sering dilihat sebagai "harga" perempuan, yang secara tak langsung menempatkan posisi perempuan sebagai "milik" marga suami. Bahkan dalam struktur adat, peran "raja" atau "datu" (pemimpin adat) hampir selalu dipegang laki-laki, meski beberapa perempuan Batak seperti Sondang Tiar Debora Raja Sitanggang  (politikus) mulai mendobrak stigma ini. Namun, penting dicatat bahwa budaya Batak bukanlah monolitik arus modernisasi dan gerakan perempuan Batak, seperti Institut Ungu di Sumatera Utara, mulai mengkritik praktik adat yang timpang sembari mempertahankan nilai kearifan lokal. Seperti dikatakan Debby G. Sirait (akademisi Batak): "Adat bukan untuk membelenggu, tapi untuk memanusiakan. Jika adat merendahkan perempuan, itu bukan adat, melainkan keserakahan yang menyamar." Dengan demikian, kritik feminis terhadap patriarki dalam masyarakat Batak bukanlah penghancuran budaya, melainkan upaya menghidupkan kembali prinsip "Dalihan Na Tolu" (tungku tiga kaki) yang sejatinya mengedepankan keseimbangan, bukan dominasi satu gender.

Tugas utama perempuan adalah menikah dan punya anak

Pernyataan bahwa "tugas utama perempuan adalah menikah dan punya anak" mengabaikan kompleksitas kehidupan dan hak asasi perempuan sebagai manusia merdeka. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa 54% perempuan Indonesia berusia 15+ belum menikah atau tidak memiliki anak, namun banyak di antaranya berkontribusi sebagai ilmuwan, pemimpin, atau aktivis seperti Butet Manurung dengan Sokola Rimbanya atau Tri Rismaharini yang mengubah wajah Surabaya. Sejarah Nusantara sendiri mencatat perempuan seperti Ratu Kalinyamat dan Cut Nyak Dien yang memimpin perlawanan politik, sementara Kartini dalam suratnya menegaskan bahwa "bersuami bukanlah kewajiban, melainkan pilihan". Narasi ini juga bertentangan dengan prinsip agama: KH Husein Muhammad menekankan bahwa Islam tidak memaksa pernikahan sebagai takdir mutlak, sementara Nyai Ahmad Dahlan membuktikan bahwa perempuan bisa berperan melalui pendidikan dan gerakan sosial. Di sisi lain, tekanan untuk menikah justru membawa dampak buruk tingkat depresi perempuan muda di daerah konservatif meningkat (UI, 2022), sementara perempuan marginal (penyandang disabilitas, pekerja migran) semakin terpinggirkan oleh standar "keluarga ideal". Jika menikah dan punya anak adalah "tugas utama", lantas bagaimana dengan perempuan yang memilih child-free, mengadopsi anak, atau fokus pada karier? Apakah nilai mereka sebagai manusia jadi berkurang? Karlina Supelli mengingatkan: "Kebebasan perempuan adalah prasyarat bagi keadilan sosial. Tubuh dan hidup mereka bukan milik sistem, melainkan hak untuk dirayakan sebagai subjek yang utuh." Maka, sudah saatnya kita berhenti memenjarakan perempuan dalam narasi usang dan mulai menghargai keragaman pilihan hidup mereka.

Laki-laki tidak boleh menangis itu tanda kelemahan!

Pernyataan "Laki-laki tidak boleh menangis itu tanda kelemahan!" mencerminkan belenggu budaya patriarki yang mengaitkan maskulinitas dengan ketahanan emosional semu. Padahal, menangis adalah respons alami manusia untuk melepas stres dan mengembalikan keseimbangan psikologis sebuah fakta yang didukung riset American Psychological Association (2023) tentang manfaat air mata bagi kesehatan mental. Di Indonesia, stigma ini berdampak serius: 58% laki-laki enggan mencari bantuan psikolog karena takut dianggap "lemah" (Kemenkes RI, 2022), dan angka bunuh diri mereka tiga kali lebih tinggi daripada perempuan (WHO, 2021). Contoh tokoh seperti B.J. Habibie atau Taufik Hidayat membuktikan bahwa mengekspresikan emosi tidak mengurangi kewibawaan, justru memperlihatkan keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Budaya lokal pun mengajarkan fleksibilitas: dalam tradisi Suku Sasak, tangisan bahagia adalah bagian dari ritual pernikahan, sementara tokoh wayang Arjuna digambarkan sensitif namun tetap bijaksana. Jika kita terus memaksa laki-laki menahan tangis, apakah kita tidak sedang merampas hak mereka untuk menjadi manusia utuh? Seperti dikatakan Karlina Supelli, "Maskulinitas sehat adalah yang membebaskan, bukan membungkam." Maka, sudah saatnya kita redefinisi kekuatan sebagai keberanian merangkul vulnerabilitas bukan sekadar tampilan fisik atau keteguhan semu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun