Hai Sob! Kali ini mari kita bahas lebih dalam tentang "the power of netizen" yang jadi motor utama cancel culture di Indonesia. Dari kasus A Business Proposal sampai boikot PT Timah, kekuatan warganet ini bener-bener nggak main-main. Tapi, sekuat apa sih pengaruhnya? Dan apakah ini selalu positif?
Netizen sebagai "Hakim Digital" yang Cepat dan Massif
Kamu pasti ingat kasus film A Business Proposal yang langsung dihujani rating 1/10 di IMDb hanya karena komentar Abidzar Al-Ghifari dianggap merendahkan penggemar K-Drama. Ini contoh nyata betapa netizen Indonesia bisa memobilisasi opini dalam hitungan jam. Enda Nasution, pengamat media sosial, bilang, "Kekuatan netizen Indonesia memang sebesar itu. Mereka bisa meninggalkan ribuan komentar atau review negatif untuk memaksa perubahan".
Tapi, kecepatan ini seringkali nggak dibarengi verifikasi fakta. Misalnya, kasus Gofar Hilman yang dituduh plagiat, padahal akhirnya terbukti tidak bersalah. Sayangnya, reputasinya udah terlanjur hancur
Dampak Nyata, Dari Boikot sampai Kehilangan Pekerjaan
Kekuatan netizen nggak cuma berhenti di dunia maya. Contohnya, pegawai PT Timah yang dipecat setelah unggahan kontroversialnya viral. Atau kasus Saipul Jamil yang sempat kehilangan kontrak endorsemen karena skandal masa lalu . Tapi, dampaknya bisa terlalu ekstrem. Aktor Korea Lee Sun-kyun bunuh diri karena tekanan cancel culture, meski tes narkobanya negatif. Ini menunjukkan betapa "hukuman sosial" netizen bisa lebih kejam daripada kesalahan yang dilakukan.
Netizen Indonesia, Pemaaf tapi Pemilih
Meski terkenal cepat marah, netizen Indonesia juga punya sisi pemaaf. Enda Nasution bilang, "Kalau ada klarifikasi atau permintaan maaf yang tulus, banyak yang mau memaafkan". Contohnya, Abidzar Al-Ghifari yang akhirnya diterima lagi setelah minta maaf publik.
Tapi, maaf ini nggak berlaku universal. Kasus Ahok yang dipenjara karena penistaan agama menunjukkan bahwa isu sensitif (seperti SARA) cenderung ga bisa dimaafkan.
Budaya Unik, Cancel Culture ala Indonesia