Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Transportasi Online Hanya Permulaan, Selanjutnya?

26 Maret 2016   08:06 Diperbarui: 26 Maret 2016   09:30 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi jika di abad 20 kita mengenal istilah Hyper Consumption yang diwakili dengan model kredit + periklanan + kepemilikan pribadi, maka di abad 21 saat ini terjadi perubahan menjadi Collaborative Consumption yang diwakili dengan model reputasi + komunitas + berbagi akses. Jika pada abad 20 lalu korporasi besar biasa menjadi penguasa tunggal di satu industri tertentu, kini akses tersebut dibagi kepada banyak pengusaha mikro yang bergabung. Hotel tidak lagi dimiliki oleh pemilik dan jaringan besar saja, pemilik rumah di tepi pantai Parangtritis Jogja juga bisa ikut di jaringan AirBnB dan memperkenalkan fasilitas kamar miliknya ke seluruh anggota situs tersebut. Dengan berbagi kamar via AirBnB, akses bisnis terbuka kepada pengusaha kecil tadi.

[caption caption="Sumber gambar: wiprodigital.com"]

[/caption]Di beberapa negara lain, sudah mulai bermunculan trend sharing economy di berbagai bidang. Lihat gambar diatas untuk contoh beberapa brand yang terkenal dari beberapa industri. Saya duga sebagian dari brand tersebut belum anda kenal bukan? Wajar saja, karena belum banyak penggunanya di Indonesia. Tapi sampai kapan? Apakah semua brand asing yang akan muncul?

Pemain lokal juga ikut mencoba peruntungan di industri on-demand berbasis sharing economy ini. Sekedar menyebutkan saja,  contoh yang juga muncul di Indonesia: model pembiayaan online (lending money). Beberapa waktu lalu muncul layanan yang memberikan pinjaman uang secara online dengan nama UangTeman.com (baca artikel saya yang membahasnya disini ). Sayang bunga pinjaman yang diberikan masih tinggi sehingga kurang diminati. Malah berita penolakan yang marak terjadi. Tapi itu hanya di awal saja. Ibarat penjelajah di era awal, akan muncul layanan berikutnya dengan model dan gaya yang lebih disesuaikan dengan kondisi pasar lokal. Ini hanya soal waktu saja.

Sebenarnya konsep sharing economy merupakan penemuan ulang terhadap konsep perilaku dari kegiatan tradisional seperti meminjamkan, menyewa, bertukar, berbagi pilihan, menghadiahkan dengan menggunakan sarana teknologi. Dengan teknologi terjadi perluasan pengguna dan skala pemanfaatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Dari contoh diatas, kita bisa menebak bahwa akan ada pengaruh kepada berbagai pihak: pelanggan dari/dan perusahaan penyedia, juga penerima kerja dan pemberi kerja.

Anda bisa menebak pengaruhnya apa? Coba bayangkan kalau jumlah pemilik mobil menyewakan mobilnya (kasus Uber) maka tentu logis perusahaan taksi akan terganggu bukan? Bayangkan kalau Gojek sukses disetiap kota di Indonesia apakah penjualan motor meningkat seperti biasa atau berkurang? Tebakan saya sedikit banyak akan berkurang. Kenapa? Karena kini perusahaan atau produsen akan berkompetisi dengan sejumlah pengguna (pembeli produk mereka sendiri) yang kini memberikan jasa dengan dan dari produk tersebut. Akibatnya pengguna produk itu akan memilih layanan dibanding membeli bukan? Kita tidak perlu memiliki mobil, rumah bahkan anjing. Ya, di luar negeri sudah ada layanan meminjamkan anjing disamping celana jeans dan lainnya. Anda akan geleng kepala melihat berbagai item yang ditransaksikan.

Menurut anda jika AirBnB meningkat kepopulerannya di Indonesia, apakah jaringan hotel tradisional akan menaikkan harga atau tidak? Kalau Netflix diterima dengan luas di Indonesia, bagaimana dengan harga televisi kabel lokal lainnya? Makin naik atau turun? Tebakan anda adalah harga semakin terkonsolidasi alias semakin murah sebuah dampak logis dari persaingan bisnis. Otomatis margin juga semakin tipis. Kalau tidak berinovasi maka kematian usaha yang lamban mengantisipasi akan berakibat fatal.

Dengan memahami pemaparan ini saya kira anda lebih jelas membaca mengapa ada anggapan bahwa penolakan akan aplikasi online ini lebih karena tudingan mematikan usaha yang sebelumnya sudah mapan. Juga kita bisa paham mengapa pemerintah kebingungan mencari solusi dengan cepat karena perubahan sangat tidak terduga jika dilihat dari kaca birokrasi. Jika dulu produsen jelas pelakunya, kini produsen bisa sekaligus menjadi konsumen. Ada juga yang menolak karena menganggap berbagai produk aplikasi online itu adalah milik perusahaan asing. Lha, bagaimana kalau nanti ada perusahaan lokal? Alasan apa lagi yang akan diutarakan? Bagaimana dengan Gojek yang datang dari  lokal? Beberapa produk lokal mulai bermunculan mencari pasar di negeri sendiri. Kita akan lihat siapa nanti yang akan berhasil.

Salah satu penolakan adalah dengan mengedepankan alasan hukum dan peraturan pemerintah. Untuk itu, memang dampak buruk dari perubahan yang terjadi untuk konsep sharing economy di tahap awal ini adalah regulasi yang belum siap. Pemerintah bisa mengambil sikap menolak atau mengubah peraturan dalam arti  menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Lalu bagaimana dengan publik (baik pengguna maupun penyedia layanan tradisional?). Pemerintah tidak bisa abai terhadap kebutuhan pasar dan keputusan pengguna (dalam jumlah besar) untuk  mendapatkan manfaat yang maksimal. Toh bisnis memang ditujukan untuk itu bukan? Yang bisa dibuat pemerintah adalah mengatur dan mengadaptasikan aturan baru terhadap perubahan itu.

Faktor lain yang perlu kita perhatikan adalah faktor kepercayaan. Tentu guncangan dan perubahan dari konsep sharing economy atau on-demand economy ini mempunya dampak lain juga, yaitu perubahan kepercayaan. Ibarat baru kenal, maka kita relatif mudah curiga dan kurang percaya. Tapi sejalan dengan waktu maka kepercayaan publik akan semakin tumbuh dengan baik. Lihatlah penerimaan akan Gojek dan Uber sekarang, tentu jauh berbeda dibanding dulu bukan? Keberhasilan kedua penyedia layanan ini akan semakin mempermudah layanan on-demand berbasis sharing economy di industri lain untuk masuk dan diterima publik kedepannya. Sekarang reputasi yang dibangun dari kepercayaan tadi menjadi kurs nilai menggantikan uang (atau kredit di era abad 20 lalu).

Mengapa model kolaborasi ini menjadi populer sekarang? Menjawabnya mungkin tidak mudah, tapi saya mencoba membuat perbandingan dengan bahasa yang lebih sederhana. Jika di abad 20 lalu (kita sebut saja ekonomi berbasis industri) maka kita sebagai pengguna berfungsi sebagai konsumen yang pasif. Tapi di abad 21 saat ini yang dikenal dengan abad ekonomi kolaborasi, setiap pengguna bisa saja berfungsi jadi: pencipta, penyedia jasa, penunjang kegiatan bahkan penyandang dana. Menurut anda mana yang lebih menarik dan menantang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun