Mohon tunggu...
Samuel Samuel
Samuel Samuel Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I'm Samuel, a Chinese-Indonesian who was born in Jakarta. Lives in Harapan Indah, Bekasi with both of my parents.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Kecil, Belajar "Menikmati Hidup" bersama Adera

10 Desember 2017   21:59 Diperbarui: 10 Desember 2017   22:02 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini, atau bahkan lebih lama daripada itu, mungkin media pemberitaan di negara kita disibukkan serta diisi dengan pemberitaan mengenai berbagai kasus-kasus kriminal, mulai dari kriminal "umum" sampai dengan kriminal "kelas tinggi". Sebut saja kasus-kasus korupsi, penganiayaan, dan saling lempar tuntutan satu dengan yang lainnya menjadi makanan kita sehari-hari jika kita menonton berita. 

Hal ini diperparah dengan sikap masyarakat yang semakin keras menyerukan tindakan untuk membenci satu dengan yang lain, khususnya dengan orang yang tidak mereka suka melalui berita-berita bohong yang disebarkan melalui sejumlah media sosial. 

Jika kita sejenak berpaling kepada industri musik dalam negeri, khususnya industri musik "kekinian", rasanya hal ini tak ubahnya dengan situasi yang tadi dipaparkan di atas. Gagasan mengenai percintaan dan yang berkaitan dengan hal tersebut masih menjadi gagasan yang laku keras dan diminati banyak anak muda, sehingga hashtag #lamaradekbang atau yang sejenis dengan itu menjadi hal yang sangat populer dan mendarah daging bagi anak muda masa kini. 

Keinginan untuk "menikah muda" yang diimbangi dengan "gagasan romantis" dari lagu-lagu yang didengar oleh mereka menjadi sebuah kombinasi apik untuk mewujudkan masyarakat yang dipenuhi oleh "keluarga muda", yang rawan dengan perceraian serta mungkin, KdRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Walaupun masih ada sebagian generasi muda yang berpikiran luas untuk bekerja membangun karier lebih dahulu atau bahkan menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang banyak, sayangnya mereka mendapat expose pemberitaan yang terlambat serta "kalah" dengan "tawaran romantika" tersebut. 

Di tengah situasi seperti ini, nampaknya lagu "Catatan Kecil" dari penyanyi "Adera" menjadi sebuah penyegaran yang mengingatkan kita bahwa masih ada beberapa pengarang atau bahkan penyanyi yang memproduksi lagu berdasarkan dari refleksi kehidupan sehari-hari, dan tidak semua penyanyi maupun pengarang lagu zaman now hanya mengarang dan menyanyikan lagu yang berisi tentang cinta dan gagasan romantis saja. 

Memang kalau sedikit melirik tentang latar belakang tentang beliau, hal ini tidak lepas dari peran sang ayah, yang tak lain dan tak bukan adalah Ebiet G. Ade, seorang penyanyi yang terkenal lewat lagu-lagu yang diciptakannya berdasarkan refleksi mendalam atas peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sebut saja "Berita kepada Kawan", "Masih Ada Waktu", "Elegi Esok Pagi" dan masih banyak lagi merupakan lagu-lagu yang terkenal dan bahkan berisi pesan yang besar bagi para pendengarnya, karena diciptakan dari refleksi yang mendalam atas sebuah peristiwa yang dilihat dan hendak dibagikan kepada khalayak ramai. 

Kembali kepada lagu "Catatan Kecil", walaupun terkesan lagu ini berirama santai dan memiliki chord progression yang simple namun tidak murahan, tetapi lagu ini memiliki makna yang mengingatkan kita untuk bersyukur dengan apa yang kita miliki, serta bersedia berbagi dengan orang-orang di sekitar kita untuk merasakan hidup yang lebih utuh. 

Mungkin, lagu ini menjadi kritik Adera terhadap situasi yang terjadi pada saat ini, di mana orang berlomba-lomba untuk menghimpun kekayaan, namun lupa untuk menghimpun kebahagiaan bersama dengan orang-orang terkasih, yang justru berada di sekitar dirinya. 

Memang hal ini harus dipastikan lagi kepada beliau, karena tidak ada sumber atau artikel (bahkan Wikipedia sekalipun) yang membahas mengenai lagu ini secara lengkap. Lagu ini menjadi sebuah "pengingat" kepada para pendengarnya untuk hidup lebih utuh sebagai seorang manusia, dengan bersyukur serta berbagi. 

Gagasan inilah yang tidak ditemukan dalam lagu-lagu, bahkan lagu-lagu "pop rohani" zaman now, karena mungkin penulis serta mereka yang menyanyikannya terlalu berfokus kepada gagasan "Allah yang selalu tinggi dan jauh", bukan "Allah yang mungkin bisa dekat" dan bekerja lewat komunitas iman di mana dia bertumbuh serta melayani. 

Memang, ada lagu-lagu rohani (atau juga bisa disebut "lagu-lagu gerejawi") yang masih membawa gagasan yang disebut terakhir, namun mereka umumnya adalah lagu-lagu lama dan dianggap "tidak kekinian" atau zaman old, tidak zaman now. Hal inilah yang memperparah situasi serta kondisi masyarakat zaman now, yang semakin jauh dari kata "bersyukur" dengan segala yang dimiliki, serta mampu "berbagi" sekalipun dalam keterbatasan. 

Inilah yang membuat kita melihat orang yang gajinya sudah teramat besar sekalipun, masih mau melakukan tindak korupsi, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa ia masih merasa "tidak cukup" dengan apa yang ia miliki. Berbagi pun dilakukan bukan karena kesadaran pribadinya, melainkan supaya uang "hasil kejahatan" tadi dapat bermanfaat bagi orang lain yang tidak tahu apa-apa soal uang tersebut, dalam artian money laundering secara tidak langsung. 

Realitas seperti inilah yang coba dikritik oleh lagu tersebut, sehingga kehadirannya mampu menjadi moodbooster bagi setiap mereka yang sudah pesimis, bahkan apatis, terhadap kondisi saat ini. Sajian lirik yang mudah dicerna, serta musik yang easy listening, membuat lagu ini menjadi lagu yang melekat, bahkan mampu dihidupi oleh setiap pendengarnya baik secara sadar maupun tidak. 

Sudah sepatutnya lagu-lagu seperti ini kembali dikembangkan, bahkan merajai tangga lagu di Indonesia, karena bangsa ini sudah mengalami "krisis bersyukur" yang sangat parah. 

Sudah sepatutnya juga kita, sebagai orang yang mungkin pernah mendengar lagu ini, mencoba mencari "kebahagiaan" serta "keutuhan hidup" lewat bersyukur dan berbagi kepada sesama kita secara tulus, tanpa pamrih supaya kita tidak hanya mampu mengumpulkan kekayaan secara material, namun juga mampu mengumpulkan kebahagiaan yang memampukan kita tidak hanya untuk "hidup bahagia" saja, tetapi juga "mati bahagia". 

Kini hatimu terasa 

Semua lebih sempurna 

Karena kau hidup 

Dengan seutuhnya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun