Mohon tunggu...
Syam
Syam Mohon Tunggu... Penulis - Syamsulhadi

Sublimasi hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Post Moderatisme sebagai Anti Tesis Moderatisme

6 Februari 2021   01:48 Diperbarui: 6 Februari 2021   03:09 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: FB Santri Desgn Komunity DSG

Semangat kemanusiaan dan keadilan sudah digaungkan sejak lama, demi memperoleh kehidupan sosial yang seimbang, antara sesama manusia maupun mahluk ciptaan tuhan yang lainya. Kemerdekaan Indonesia lahir dari semangat revolusioner untuk melepaskan negara Indonesia dari belenggu penjajahan. 

Hal itu tertuang secara legal formil di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa “ Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Redaksi tersebut mengisyaratkan bahwa sebuah bangsa memiliki hak untuk merdeka, merdeka yang dimaksud bukan berarti merdeka secara politis saja, tetapi juga merdeka dalam menjalankan dinamika hidup yang aman dan egaliter.

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu Ormas yang menjadi cikal bakal Negara Indonesia berdiri. Adapun NU mempunyai prinsip keadilan sosial dan bagaimana hidup berdampingan sesama manusia dengan damai, tanpa memilih memilah agama, suku dan ras apapun. 

NU juga sudah merumuskan jalan moderasi beragama, yaitu Tasamuh yang berarti saling menghormati, Tawasuth yang berarti berada di tengah-tengah (Tidak ekstrim kanan maupun ekstrim kiri: Red) Tawazun yang mempunyai makna seimbang dan I’tidal yang mengandung makna tegak lurus serta Amar ma’ruf nahi munkar yang mengandung makna menyeru dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Adapun rumusan tersebut mengajarkan kita atau bahkan menuntun kita untuk menjalankan kehidupan yang ideal yaitu saling menciptakan rasa aman dan nyaman terhadap sesama manusia itu sendiri.

Dewasa ini menurut penulis tentang rumusan tersebut yang selalu digaungkan kebanyakan hanya di wilayah toleransi beragama saja. Kalau kita renungkan lebih dalam tentang pemahaman Tasamuh, Tawasuth, Tawazun, I’tidal dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar secara filosofis, tidak cukup di wilayah toleransi yang bergerak ke wilayah eksistensi, bagaimana memperlihatkan Islam yang moderat, tetapi sebagai simbol perjuangan untuk membebaskan ketimpangan sosial yang ada. Kita tidak bisa menafikan tentang ketimpangan-ketimpangan sosial yang ada, yang mengancam kenyamanan masyarakat dalam menjalankan dinamika kehidupan. Apa artinya rumusan tersebut kalau kehidupan sosial belum setara.

Seperti contoh, banyak diskriminasi perempuan, yang mengantarkan mereka menjadi manusia kelas kedua setelah laki-laki, seperti pendomestikan perempuan, pelecehan seksual dan lain sebagainya. Hal itu dikarenakan, sistem, budaya dan pemahaman agama yang tidak benar. Kemudian lagi eksploitasi alam yang mengancam ekosistem bumi, seperti keberadaan pabrik dan pembukaan lahan yang tidak ramah lingkungan. Hal itu disebabkan oleh relasi kuasa pihak oligarki yang menindas masyarakat (Kaum Mustadh’afin ) dan masih banyak diskriminasi lain yang tidak kita sadari.

Menimbang masih banyaknya ketimpangan sosial, tidak cukup menggaungkan moderatisme agama tetapi harus mempunyai anti tesa dari moderatisme itu sendiri sehingga terbentuklah sintesa agar pergerakan tersebut seimbang. Post Moderatisme lah yang akan menjadi anti tesa dari konsep moderat. Post moderatisme tidak hanya berbicara mengenai toleranasi agama saja, lebih dari itu, yakni memperjuangkan masyarakat yang tertindas (Kaum Mustadh’afin) dari belenggu Oligarki, kapitalis dan patriarki.


Penulis: Syamsulhadi (Kaum Mustadh’afin)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun