Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilih Kasih Amerika Serikat dalam Kasus Pembantaian Masal Orde Baru

30 September 2022   01:30 Diperbarui: 30 September 2022   01:32 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peristiwa G 30 S bukan saja berkesan bagi bangsa Indonesia, tetapi juga dunia, khususnya dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dua negara ini pada masa pasca perang dunia ke-2 mencoba menghegemoni dunia dengan dua ideologi besar, komunisme dan liberalisme. Maka tentu, peristiwa di Indonesia tak luput dari perhatian dua negara adidaya ini. Bahkan politisi AS pernah mengatakan bahwa G-30-S merupakan peristiwa yang sangat berbahaya bagi Amerika Serikat. Ia bahkan berpandagan bahwa upaya dalam G 30  S tersebut berhasil, akan menempatakan Indonesia sebagai negara komunis besar baru yang bersekutu dengan Uni Soviet dan Cina.

Kemenangan Soeharto atas G 30 S menjadi titik balik politik di Indonesia. Negara kita yang awalnya berkoar lantang menolak segala bentuk gaya imprealisme baru Amerika Serikat, dalam sepergantian malam berubah menjadi rekan yang  taat pada hegomoni AS atas tatanan dunia. Padahal sebelum G 30 S, sejumlah pejabat pemerintah AS sempat mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatik sama sekali. AS seperti harus  melupakan Indonesia dan menganggapnya sebagai bagian dalam dunia komunitas komunis. Sebuah laporan intelijen 1965 mengatakan bahwa, "Indonesia di bawah Sukarno dalam hal-hal penting tertentu sudah bertindak seperti sebuah negara Komunis, dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri Komunis." Laporan tersebut membawa pesan pesimis bahwa tidak lama lagi Indonesia akan jatuh ke dalam lingkaran komunis seperti Cina, Kuba dll.

Apabila Indonesia jatuh ke tangan komunis menurut AS adalah kekalahan besar dalam permainan domino di Asia Tenggara. Bahkan mereka menganggap bahwa   pemain utama yang perlu di perthankan di kawasan Asean bukanlah Indocina (Vietnam) melainkan Indonesia. Indonesia dianggap sebagai negara kunci perang dingin di kawasan Asean bukan hanya karena persoalan demografi tetapi juga karena sumber daya alamnya.  Indonesia adalah bahan bakar dunia dan beragam mineral bahan mentah industri lainya.

Seperti dikatakan sejarawan Gabriel Kolko, bahwa AS pada awal 1950-an "telah menyerahkan Indonesia di bawah pengaruh ekonomi Jepang, Segala bentuk sumber daya alam, baik itu mineral seprti, timah dan tanaman pangan dari Indonesia yang menggerakan industri Jepang. Oleh karena itu, kepentingan nasional AS adalah menjaga agar negara kepulaan Indoesia tetap dibawah pengaruh mereka agak mitra ekonomi mereka di Asia Pasifik tidak mengalami kemacetan ekonomi.

Penilaian Kolko disusun berdasarkan penyataan kebijakan Dewan Keamanan Nasional tahun 1952 yang berjudul, "Tujuan dan Arah Tindakan Amerika Serikat untuk Asia Tenggara". Orang-orang yang terlibat dalam pemerintahan Truman melihat Asia Tenggara sebagai kawasan surga bahan mentah industri strategis ." Jatuhnya kawasan ini ke tangan komunis (atau, sejatinya kekuatan lokal mana pun yang ingin membatasi ekspor sumber daya alam tersebut) akan menghambat industrialisasi Jepang, dan hal ini akan "sangat mempersulit upaya mengalangi Jepang untuk pada akhirnya menyesuaikan diri dengan komunisme."

Dengan sumber daya alam yang kaya, maka tidak heran bila AS beranggapan bahwa kemungkinan jatuhnya  Indonesia ditangan komunis sebagai hari kiamat. Bahkan, upayanya dalam memerangi pengaruh komunsime di Indocina adala adalah upaya untuk membentengi Indonesia yang berada di selatan.  . Dalam logika teori domino, negeri-negeri Indocina yang relatif tidak begitu strategis harus diamankan dari komunisme agar negeri-negeri yang lebih penting di Asia Tenggara dapat dipagari dari pengaruhnya. Dalam pidatonya pada 1965, Richard Nixon membenarkan pemboman atas Vietnam Utara sebagai alat untuk melindungi "potensi mineral yang luar biasa" di Indonesia.

Pasukan darat yang mulai memasuki Vietnam sejak Maret 1965 akan menjadi tidak berguna jika kaum komunis menang di negeri yang lebih besar dan lebih strategis. Penguasaan Indonesia oleh PKI akan membuat intervensi di Vietnam sia-sia belaka. Pasukan Amerika Serikat sibuk bertempur di pintu gerbang, sementara musuh sudah berada di dalam, akan segera menduduki istana, dan menjarah-rayah gudang-gudang simpanan.

Dalam renungan reflektifnya, Robert McNamara, Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Kennedy dan Johnson, mengatakan bahwa AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Indocina setelah pembasmian kaum komunis di Indonesia oleh Suharto. Begitu domino besar di Asia Tenggara sudah aman di tangan tentara Indonesia, para pembuat kebijakan AS harusnya menyadari bahwa Vietnam sebenarnya tidak sepenting seperti yang mereka pikirkan semula. "Kekalahan permanen" PKI di Indonesia, menurut pengakuannya sekarang, "telah mengurangi pertaruhan riil AS di Vietnam secara substansial

Banyak politisi dan media  AS yang dengan nada gembira melaporkan keberhasilan Suharto dalam menupas G 30 S.  Pada Juni 1966, seorang penulis editorial utama New York Times, James Reston, menyebut "transformasi biadab" di Indonesia sebagai "secercah cahaya di Asia."Selain itu tajuk penting dalam   majalah Time menyebut naiknya Suharto sebagai "kabar terbaik bagi dunia Barat selama bertahun-tahun di Asia."Wakil Menteri Muda Luar Negeri Alexis Johnson percaya bahwa "pembalikan gelombang pasang komunis di Indonesia yang besar itu" merupakan "peristiwa yang bersama perang Vietnam mungkin merupakan titik balik sejarah terpenting di Asia dalam dasawarsa ini.

Sayangya meskipun demikian, AS yang selama perang dingin sangat vokal terhadap isu-isu humanisme, justru bungkam ketika melihat pembantaian oleh militer pasca penumpasan G 30 S. Fenomena di ini dikritik oleh  dua filsuf postmoderinsme Noam Chomsky dan Edward Herman, mereka mengatakan  pembantaian di Indonesia merupakan "pembantaian bermaksud baik" dan "teror yang konstruktif" tujuan penumpsan tersebut adalah bagian dari kepentingan ekonomi, dan politik luarn negeri Amerika Serikat. Padahal Amerika Serikat merupakan negara yang sangat vokal dalam berrsuara pada setiap pelanggaran hak asasi manusia di blok Soviet sebagai bukti kejahatan musuhnya dalam perang dingin. Sayangnya ia mengabaikan, memberi pembenaran, atau bahkan bersekongkol dalam kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah yang bersekutu dengan AS.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun