Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Financial

Alasanku Menolak Kenaikan Harga BBM

20 September 2022   02:52 Diperbarui: 20 September 2022   03:00 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan yang pertama kali, sudah sekian kalinya pemerintah di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo mengambil berbagai kebijakan buruk yang tidak memihak rakyat. Di saat rakyat miskin kota, buruh, petani dan nelayan tengah berupaya untuk bangkit berdiri pasca pandemi covid-19, pemerintah justru mencekik leher rakyat dengan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM).  

Berbagai alasan irasional dan narasi pembodohan publik dijadikan legitiomator atas keputusan menaikan harga BBM. Pembodohan yang pertama adalah terkait angka subsidi BBM yang sudah mencapai 502 triliun. Padahal faktnya adalah, angka 502 triliun tersebut bukan hanya subsidi untuk BBM, melainkan untuk seluruh subsidi energi. Bahkan, katanya, apabila harga yang berlaku saat ini dipertahankan, maka beban APBN untuk membiayai subsidi bisa mencapai 700 trilun lebih.

Untuk mendapatkan legitimasi masyarakat atas narasi subsidi sebagai beban negara tersebut, saya melihat berbagai media masa mainstream menjadi jalur transmisinya. Media massa menjadi legitimator atas narasi sesat yang dibangun oleh pemerintah. Bisa kita saksikan, banyak ekonom yang dimintai pandanganya mengenai pencapatan subsidi memiliki pandangan linear dengan pemerintah. Para ekonom itu sepakat jika harga BBM memang harus naik. 

Saya tahu bahwa para ekonom itu tidak lebih dari humas pemerintah. Seorang yang katanya ekonom, sebut saja namanya Kapitra bahkan mengatakan bahwa rakyat Indonesia jangan dimanja dengan subsidi. Narasi yang konyol dan tidak tahu diri dari Kapitra adalah bentuk ketidaktahuanya pada siapa sebenarnya negara 'memanjakan'. 

Barangkali dia tidak tahu, sebenarnya yang dimanja oleh negara hari ini adalah pejabat dan wakil rakyat yang katanya bekerja untuk kepentingan rakyat. Mereka sudah dibayar mahal dan diiberikan fasilitas mewah menggunakan uang negara tanpa menghasilkan suatu kerja yang bermafaat untuk bangsa ini. 

Bahkan bagi saya, pemulung yang mendaur ulang sampah memiliki hasil kerja yang lebih kongkret daripada mereka. Jasa mereka besar untuk mengurai sampah plastik. Tapi pemulung-pemulung itu tidak pernah meminta uang negara untuk makan keluarganya. Mereka tidak pernah meminta gerobak sampah untuk didanai APBN. Mereka lebih suka jendela terbuka lebar, agar udara segar masuk daripada harus mengusulkan uang 90 juta hanya untuk selembar kain gorden. 

Anggota dewan bahkan memperoleh tunjangn untuk semua aktivitas mereka, termasuk tunjangan pulsa dan biaya internet untuk menelpon gadis-gadis muda peliharaannya. Tidak cukup dengan beragam kemanjaan itu, mereka bahkan mengajukan dana pensiun bagi setiap anggota DPR meskipun masa baktinya hanya lima tahun. 

Sangat tidak adil bagi pemulung, mereka sudah berkontribusi untuk mendaur berton-ton sampah dalam masa bakti seumur hidupnya, tidak pernah menerima dana pensiun sebagai imbal atas jasa mereka. Pemulung juga mungkin tidak mengenal istilah pensiun dalam kerja mereka. Karena masa baktinya adalah seumur hidup untuk mengumpulkan barang bekas, dan mati adalah pensiunya. 

Ketika mengharap kehadiran pemerintah dengan sedikit subsidi BBM, pejabat yang bernama Kapitra itu, dengan bahasa lembut, elegan dan tersenyum manis, tipikal gaya bahasa orang "berpendidikan" mengatakan bahwa rakyat jangan mau dimanja dengan subsidi. Subsidi adalah beban bagi anggaran negara.

Kemudian bagi saya, narasi yang secara eksplisit disampaikan bahwa subsidi BBM sebagai beban anggaran negara adalah bentuk penghianatan terhadap rakyat, karena sejatinya, APBN memang dialokasikan untuk rakyat. Lalu jika melihat komparasinya, di saat yang bersamaan anggaran negara ratusan triliun dianggarkan untuk proyek IKN dan kereta cepat. Jika melihat skala peruntukanya, disaat yang sulit pasca pandemi, rakyat lebih membutuhkan energi bahan bakar yang terjangkau daripada dua proyek tersebut. 

Oleh karena itu, ketika pemerintah lebih memprioritaskan APBN untuk membiayai IKN dan kereta cepat daripada subsidi BBM, sama artinya pemerintah belum menempatkan kebutuhan rakyat sebagai prioritas dalam pengalokasian anggaran negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun