Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Usia Produktif yang Malang

10 Agustus 2022   19:41 Diperbarui: 10 Agustus 2022   20:00 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Perkenalkan, saya Samsul Bakri. Saat ini saya berusia 23 tahun. Usia emas. Usia manusia produktutif. Konon katanya, apabila masyarakat sebuah bangsa didominasi oleh struktur sepertiku, maka akan maju bangsa tersebut. Jika menggunakan pendekatan tematik yang saya pelajari dalam ilmu ekonomi, kurang lebih seperti ini kerangka logisnya: 

Kemajuan sebuah bangsa di ukur oleh output yang diciptakan. Manusia adalah subjek dari output tersebut. Artinya banyak atau tidaknya output adalah tergantung pada manusianya. Dalam persamaan ini, manusia adalah variabel bebas yang mempengaruhi output sebagai variabel tidak bebas.

Pada persamaann yang saya sampaikan tadi, manusia memanglah sebagai variabel bebas. Akan tetapi, manusia sendiri sebagai suatu variabel bebas adalah variabel yang tidak bisa bersifat sama dan tidak terdapat persamaan umum untuk keseluruhan manusia. 

Hukum atau teori yang bisa dijadikan patokan mengenai apa itu manusia tidak ada satu teori pun yang paten, karena sifatnya yang dinamis. Manusia tidak mengikuti hukum alam. Aliran air sungai, menurut sifat alamiahnya ---dengan asumsi cateris paribus, faktor lain dianggap konstan---sejak pertama kali kemunculanya di Bumi ia selalu mengalir ke wadah yang lebih rendah dari tempat awal ia berada.

Manusia tidak seperti itu. Dia mampu mengendalikan alam berkat kemampuan berpikirnya. Dengan segumpal daging dan sel-sel yang ada di balik tengkorak kepalanya, manusia mampu membuat baja raksasa dengan massa yang masif melawan kodrat hukum gravitasi. 

Sifat alami air pun dapat diubah olehnya.  Dengan merangkai baja sedemikian rupa dan dialiri energi listrik, manusia mampu membawa aliran air sungai ke puncak gunung yang tandus.

Kerja berpikir yang mampu mengubah hukum alam tersebutlah yang membawa manusia menuju kemajuan. Atau dalam bahasa ekonominya adalah output yang meningkat berkat pencampuran sumber daya alam dan kerja otak. 

Jika kalian sebagai pembaca masih kesulitan untuk menangkap alur berpikir saya, maka maksud saya adalah seperti ini: Tidak bisa tidak, bahwa kecepatan pergerakan manusia dan barang adalah pendorong kemajuan perdagangan. 

Baja raksasa yang kita kenal sebagai pesawat yang mampu melawan hukum gravitasi dengan melayang di udara---buah karya otak manusia---adalah alat untuk mengakslerasi peradagangan.  Perputaran barang dan jasa yang dalam waktu cepat akan mempercepat penciptaan output-output baru. 

Output yang bertambah akan melahirkan kemajuan ekonomi. Saya bisa memberikan ratusan rangakaian kalimat untuk memperjelas dari maksud premis saya. Tapi saya harap kalian sudah mebaca alur berpikir saya.

Kembali ke premis yang saya sebutkan tadi, bahwa tidak ada satu teori umum yang mampu dijadikan patokan untuk mendefinisikan manusia. Apa itu manusia? Jika saya mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki keinginan yang tidak terbatas, setidaknya begitu dalam salah satu asumsi teori ekonomi.

Tapi bagaiman jika defini manusia menurut ilmu politik? Tentu akan berbeda dengan pendefinisianya akan berbeda dengan definisi manusia menurut ilmu ekonomi. Sehingga memang tidak ada satu konsensus tunggal mengenai manusia. Termasuk agama. Karena tiap agama memiliki defini sendiri mengenai apa itu manusia.

Saya tidak ingin berputar terlalu banyak untuk mencari batasan tunggal mengenai manusia. Namun, berusaha untuk membangun kerangka berpikir yang logis pada pokok 'saya' yang berusia produktif dan kemajuan bangsa yang berdasarkan ukuran penambahan output. 

Bahwa saya adalah manusia, memiliki unsur otak untuk berpikir. Karena saya memiliki alat bernalar---bawaan yang melekat pada diri saya sejak diciptkan oleh tuhan, maka saya secara penarikan alur berpikir deduktif mampu berkontribusi untuk memajukan bangsa sebagai hasil berpikir saya.

Banyak studi empiris yang linear  dengan opini saya. Misalnya Tulisan dari Vegard Skribekk yang menemukan bahwa dalam teori siklus hidup, proktivitas seorang manusia di usia 50 tahun akan mengalami penurunan drastis dikarenakan kemampuan kognitif yang semakin lemah. 

Karena ini pula, bahwa penekanan yang seringkali disampaikan oleh masyakarakat kepada usia produktif sepertiku kami adalah pewaris peradaban yang akan melanjutkan mereka yang akan tua dan mati.

Janji-janji tentang masa depan yang cerah dan akan kami emban tak pernah berhenti mereka sampaikan dalam setiap orasi politik mereka. Sebab mereka memang bergantung pada kami untuk memajukan bangsa ini. Akan tetapi, apa yang mereka pertontonkan sangat kontradiktif. 

Mereka dengan nalar kognitof yang sudah melamah, memaksa kami untuk belajar dengan giat. Itu  anjuran yang baik. Belajar agar daya berpikir kami makin kuat, maka maju jugalah ekonominya. Itu adalah sejalan dengan teori pertumbuhan ekonomi dari sisi pendorong kualitas sumber daya manusia.

Namun, agak sulit bagi pemuda untuk percaya pada janji masa depan yang baik dapat kita capai. Moral para orang tua yang kami saksian di publik hanyalah kebusukan. Mereka memakan hak-hak kami yang muda. Korupsi mulai dari tingkat atas hingga begitu masif dan secara terbuka dipertontonkan kepada kami. 

Saya sebagai satu bagian kecil generasi usia produktif, barangkali yang lain pun demikian, telah kehilangan kepercayaan terhadap suatu kondisi ideal masa depan versi golongan tua. Bahkan saking meragunya, masa depan tersebut terlalu utopis. Sangat melecahkan nalar saya untuk menerima status quo hari ini untuk membayangkan realita hari esok yang baik tersebut.

Logika angkatan muda sebagai penggerak kemajuan bangsa hanyalah alat politik mereka. Tidak lebih pula sebagai alat retorika. Sebab jika mereka konsekuen dengan apa yang selalu digembar-gemborkan, kenapa tindakan mereka justru membatasi akses bagi kami untuk meningkatkan nalar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun