Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Analisis

The Element of Surprise, Countdown PilPres 2024

8 Maret 2021   23:23 Diperbarui: 9 Maret 2021   07:21 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tahun 2024 adalah Tahun Demokrasi di Indonesia. Perhelatan besar-besaran super sibuk.  Pada tahun tersebut akan dilangsungkan pemilihan umum untuk empat kategori, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota), Anggota Parlemen (DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota), Senat (Dewan Perwakilan Daerah) dan Pemilihan Presiden & Wakil Presiden. Keempat kategori kontestasi ini memiliki dinamika masing-masing. Secara spesifik hal ini diatur runut dalam Undang -- Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Untuk dapat menjadi  Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2024, harus terlebih dahulu lolos verifikasi administrasi dan faktual. Ketentuan itu berlaku baik untuk Partai yang saat ini telah memiliki anggota di DPR Pusat, Partai yang ikut pemilu di 2019 tetapi tidak lolos batas ambang suara di Parlemen Nasional, atau Partai baru. Hal ini merupakan konsekuensi dari Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi UU Pemilu pada awal tahun 2020 yang lalu terkait dengan aturan verifikasi partai politik. Secara logika, 9 partai telah menempatkan anggotanya di parlemen nasional  akan mudah lolos, karena telah memiliki struktur  dan kader militan  lengkap mulai dari pusat hingga ke kabupaten, atau mungkin  sampai ke kecamatan dan tingkat desa. Adapun Partai Politik Peserta Pemilu 2019 lainnya, beserta dengan partai partai baru, masih akan berjuang keras untuk lolos verifikasi.

Akan halnya Pemilihan Calon Kepala Daerah, memiliki dua kekhasan. Ada daerah yang memiliki petahana, karena kebetulan periodesasi jabatannya saat ini berakhir di 2024 menjelang pilkada. Tetapi ada juga beberapa daerah yang tidak memiliki petahana, karena periodisasi jabatannya berakhir dengan jeda waktu yang relatif lama, sebelum Pilkada. DKI Jakarta termasuk dalam hal ini, di mana periode petahana akan berakhir di 2022. Sambil menunggu hasil Pilkada, Jabatan Kepala Daerah akan diemban Pelaksana Tugas dari unsur Pejabat Kementerian Dalam Negeri (untuk Provinsi), Pejabat Provinsi untuk tingkat Kabupaten/ Kota. Kecuali calon perorangan, maka Partai Politik yang dapat mengusulkan calon adalah Partai Politik yang saat ini memiliki anggota parlemen di Provinsi, atau Kabupaten Kota yang bersangkutan. Selain itu, saat ini sedang dalam wacana usulan RUU, bahwa  calon Kepala Daerah harus terlebih dahulu tercatat sebagai anggota partai politik, kecuali yang maju melalui jalur independen

Untuk anggota DPD sifatnya sangat cair. Tidak dikenal istilah petahana. Tidak juga ada calon yang melalui partai. Semua maju untuk dan atas nama dirinya masing-masing di daerah pemilihan (DAPIL) Provinsi. Mengenai berapa orang calon DPD di satu provinsi tertentu, serta persyaratan  administrasi dan faktual detilnya dapat direfer ke aturan yang juga dimuat di laman/ web Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sedangkan untuk kategori yang terakhir, yakni Pemilihan Presiden & Wakil Presiden lebih berbeda lagi. Berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, untuk menjadi calon Presiden & Calon Wakil Presiden, tidak perlu harus menjadi anggota Partai Politik. Tetapi paket Capres& Cawapres tersebut harus diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memiliki suara dan kursi di Parlemen Tingkat Nasional, pada Pemilu yang terakhir (dalam hal ini hasil Pemilu 2019). Persyaratan ini menutup dan tidak membuka kemungkinan adanya calon perseorangan/ calon independen. Satu persyaratan tambahan lagi adalah bahwa seseorang yang telah pernah dua kali menjabat sebagai  Presiden dan/ atau Wakil Presiden, walau dengan pasangan yang berbeda, tidak diperkenankan untuk maju lagi untuk jabatan yang sama.

Adapun presidential treshold (ambang batas pencalonan) sesuai pasal 222 Undang -- Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu adalah "Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".

Distribusi  (% Kursi/% suara) hasil Pemilu 2019 adalah sebagai berikut : PDIP (22,26%/ 19,33%); Golkar (14,78%/ 12,31%); Gerindra   (13,57%/ 12,57%);  NasDem (10,26%/  9,05%); PKB (10,09%/ 9,69%); Demokrat (9,39%/ 7,77%); PKS (8,70%/ 8,21%); PAN (7,65%/ 6,84%); PPP (3,30%/ 4,52%). Komposisi di atas menunjukkan bahwa antara persentase kursi dengan persentase suara, ada sedikit perbedaan walau tidak terlalu signifikan.

Berdasarkan pengalaman empiris di berbagai PilPres sebelumnya, juga dengan mengambil proxy di beberapa Pilkada, SAMA SEKALI tidak ada kaitan antara platform/ ciri khas suatu partai dalam hal bermitra atau berkoalisi. Entah itu partai yang diasosiasikan sebagai partai religius yang kental nuansa dan basis agamanya, partai  nasionalis, partai borjuis, partai sosialis, partai keluarga -- you name it -- kalau untuk urusan berkoalisi dan bermitra semua menjadi cair, guyub dan pragmatis. Apapun atributnya.

Kembali kepada alokasi suara dan kursi di atas, untuk memenuhi ambang batas pengusungan calon presiden/ wapres, paling dapat dibentuk dua atau tiga pengelompokan. Untuk tiga pengelompokan harus diasumsikan partai pemilik tiga suara terbesar tidak saling berkoalisi, tetapi mengambil mitra koalisi dengan partai menengah kecil. Misalnya PDIP + PKS, Gerindra + Demokrat, Golkar + PAN, atau berbagai permutasi lainnya. Partai partai kecil akan menjadi pelengkap, dinamisator dan penyedap dalam poros-poros  tersebut.

Lain halnya kalau dua partai besar bergabung, maka kemungkinan hanya akan ada dua kelompok koalisi. Dalam situasi seperti ini, partai kecil dan menengah menjadi sangat strategis dan memiliki posisi tawar yang lebih kuat, dan bahkan dapat menjadi penentu untuk poros ketiga. Misalnya Poros 1 Gerindra + PDIP; Poros 2 Golkar + PKB; Poros 3 Nasdem + PKS +Demokrat, atau PAN atau PPP. Tentu saja ini hanya hitung-hitungan kertas. Faktanya, walau kelihatannya cair, tidak mudah membentuk koalisi itu, entah koalisi partai  besar + besar, besar + kecil, menengah + kecil + kecil.

Penyebab kesulitan itu umumnya ada tiga hal. Yang pertama adalah ego  terkait dari partai mana yang akan jadi calon presiden, dari partai mana yang jadi calon wakil presiden. Yang kedua adalah, partai -- partai cenderung tergoda untuk berkoalisi dengan mitra yang dipersepsikan -- menurut survey, memiliki peluang untuk menang dan menambah coat tail effect pada perolehan suara Partainya. Pesona ketokohan personal,  kemampuan sumber daya/ dana dan baseline jaringan. Yang ketiga, chemistry kecocokan Pemimpin Partai  dengan Pemimpin Partai lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun