Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penyelarasan UU Migas dengan UU Energi

8 Februari 2019   11:34 Diperbarui: 8 Februari 2019   11:56 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 (Undang-undang Energi) adalah merupakan induk sekaligus muara dari kebijakan energi di Indonesia. Undang-undang ini mencakup pengakuan dan pengaturan normatif terhadap energi sebagai sarana untuk peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional. 

Sebagai induk, Undang-undang itu menyentuh sumber daya energi baik sumber daya energi tidak terbarukan seperti hidrokarbon (minyak, gas atau batu bara), maupun sumber daya energi baru dan terbarukan seperti nuklir, panas bumi, sinar matahari, angin dan terjunan air.

Sebagai muara, Undang undang Energi berbicara mengenai pengelolaan yang meliputi penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaannya secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal dan terpadu. 

Undang-undang ini juga mencakup secara garis besar arah pengaturan energi, cadangan penyangga energi, harga energi serta melahirkan institusi baru Dewan Energi Nasional (DEN). Tugas utama DEN adalah merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional untuk ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR.

Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional merubah paradigma energi dari sebagai sumber pendapatan menjadi modal pembangunan. Pesan Kebijakan Energi Nasional itu sangat tegas.

Pertama, kemandirian dan ketahanan energi dicapai dengan menjadikan energi sebagai modal pembangunan. Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan energi untuk pembangunan ekonomi nasional, penciptaan nilai tambah di dalam negeri, dan penyerapan tenaga kerja.

Bagaimana dengan Undang-undang Migas ?

Undang-undang Minyak dan Gas bumi (UU nomor 22 tahun 2001 yang lahir mendahului induknya (UU Energi), tampaknya memiliki aksentuasi yang berbeda. Undang-undang ini hadir sebagai respons terhadap tuntutan reformasi. 

Undang-undang ini sedikit mendegradasi peran migas, yang pada undang-undang sebelumnya (Undang-undang Prp 44 tahun 1960) juga menempatkan migas sebagai alat pertahanan.

Sekarang migas tergeser menjadi sekedar sumber daya alam strategis yang merupakan komoditas vital. BPMIGAS dibentuk sebagai institusi baru pelaksana kewenangan managerial Pemerintah dalam hubungan kontraktual dengan investor hulu migas.

Sekalipun masih terbersit peran Negara, namun undang-undang ini didesain senafas dengan tuntutan pasar. Dalam implementasinya, kedua peran tersebut tampaknya tidak selalu mulus. Ada peran negara yang tetap ingin dipertahankan sebagai implementasi dari pasal 33 UUD 1945, tetapi pada saat yang sama, nafas dan jiwa undang-undang yang lain yang diperkenalkan pada awal reformasi terasa tajam.

Jiwa dari Undang-undang anti monopoli, Undang-undang Otonomi Daerah dan Undang-undang Keuangan Negara dicangkokkan disana sini, membuat Undang undang ini terasa berat. Kurang lincah dan penuh ruang intepretasi antara domain publik atau hukum korporasi. Dalam beberapa peristiwa tertentu bahkan tidak jelas siapa yang menjadi leading sector.

Tidak kurang dari empat kali Undang-undang Migas dimohon uji material di Mahkamah Konstitusi (MK). Ada lebih dari 20 butir gugatan (posita). Uji materi di lakukan oleh berbagai kalangan seperti aktivis pegiat hukum, politisi perorangan, anggota parlemen, komunitas organisasi keagamaan hingga juru parkir. Yang paling fenomenal adalah gugatan pada tahun 2012 yang bermuara pada bubarnya bpmigas.

Sesuai dengan putusan MK tersebut (pertimbangan hukum butir 3.22) sambil menunggu aturan yang baru, fungsi dan tugas bpmigas dilaksanakan oleh Kementerian (dalam hal ini Kementerian ESDM). Selanjutnya Pemerintah membentuk SKK Migas, sambil menunggu adanya revisi Undang-undang migas.

Sejak tahun 2012 hingga saat ini (2019) rencana revisi Undang-undang Migas selalu masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Selalu hangat menjelang akhir masa sidang Parlemen. Lebih intensif lagi tarikan tensinya setiap menjelang Pemilu.

Dunia industri migas berharap bahwa undang-undang migas yang baru, hendaknya disusun secara komprehensif, visioner, fleksibel dan tidak multi interpretatif. Semangat dan visi dari Undang-undang Energi harus tercermin di dalamnya. Bukankah kebijakan energi nasional telah merubah paradigma energi dari sumber pendapatan menjadi modal pembangunan ? Apa itu artinya. 

Yang terutama dan paling utama adalah menggeser titik pandang keberhasilan industri migas dari rezim penerimaan negara ke berkembangnya rezim bisnis dan peningkatan nilai tambah. Menggeser dari perspektif kinerja yang bersifat tahunan dan jangka pendek ke arah cakrawala bisnis jangka panjang dan berkelanjutan.

Upaya penemuan cadangan migas baru, alih teknologi, penguatan kapasitas nasional dan nilai tambah makro hendaknya lebih mengemuka dibanding ritual tahunan pembahasan asumsi makro di DPR yang lebih banyak berkutat soal jumlah target liftings, cost recovery dan asumsi harga minyak.

Dunia migas ke depan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Secara faktual lapangan-lapangan migas yang ada adalah lapangan tua, kadar air (water cut) tinggi, serta infrastruktur yang uzur. Prospek yang masih terbuka adalah ke arah laut dalam dan wilayah timur yang secara teknologi lebih mahal dan lokasi lebih terpencil.

Di sisi lain, Negara negara di sekitar kawasan menawarkan fiscal terms yang variatif dan kompetitif. Upaya Pemerintah memperkenalkan gross split adalah salah satu inovasi merespon kelesuan pasar. 

Selain dari sektor migas, kecenderungan dunia saat ini mengarah ke energi terbarukan dan energi bersih dengan adanya kampanye masif pengurangan karbon polutif.

Undang-undang yang baru hendaknya didesain mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman milenial. Pertukaran data global dalam revolusi industri teknologi industri 4.0 ataupun tahapan selanjutnya misalnya. Itu memiliki protokol dan hukum-hukumnya sendiri. 

Terlalu menonjolkan sisi romantisme regulasi dan proteksi nasionalisme kaku dalam industri hanya akan mengurangi daya juang kompetisi dan inovasi di tengah dunia yang bergerak maju secara eksponensial. 

Di sinilah kebijakan dan kenegarawanan serta visi para legislator dan para pemangku kepentingan diuji.

Undang-undang Migas ke depan juga hendaknya memuat hal hal yang lebih substantif. Harus ada demarkasi yang jelas antara domain Pemerintah dan Bisnis. Demikian juga dalam konteks perizinan, standardisasi teknis, lingkungan maupun tata kelola kelembagaannya. Harus jelas, terukur dan memberi kepastian. 

Tumpang tindih kewenangan harus dihindarkan. Deskripsi otoritas dan tanggung jawab, antara regulator, pelaksana kuasa pertambangan maupun kontraktor pelaksana harus jelas.

 Dengan tetap mempertimbangkan karakteristik dan kekhasan industri yang berbeda, kiranya undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan dapat dijadikan sebagai sebuah model acuan.

Jakarta, Pebruari 2019

Oleh : Sampe L. Purba

Penulis -- Praktisi Masyarakat Energi.

Terbit di Media Indonesia, 7 Pebruari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun