Mohon tunggu...
Miftahul Fajar
Miftahul Fajar Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Siapakah aku ? Aku hanya orang dungu. Yang tak punya pengetahuan dan kepekaan. Yang ku punya hanya sejuta kerinduan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Takdir Bukanlah Urusanmu

7 Juni 2017   22:54 Diperbarui: 7 Juni 2017   23:07 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oh bagaimana mungkin engkau melegitimasi kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekuranganmu dengan menggunakan kata "taqdir" ? Ya, memang benar ucapanmu, tapi kalau menggunakan sudut pandang kesopanan apakah pantas ?

Ada seorang teman saya, yang taat beribadah, suatu ketika dia bercerita kepada saya, kalau dirinya diminta untuk meminang kekasihnya, kemudian dia mengatakan kepada saya, ya sudah takdirNya. Dan dia pun panjang lebar kemudian berbicara mengenai takdir. Padahal, dia menggunakan legitimisasi takdir untuk keengganannya meminang kekasihnya.

Saya jadi teringat pelajaran ketika mengaji tahun lalu. Guru saya menjelaskan mengenai apabila orang bertanya, jika Allah Maha Kuasa, apakah Allah kuasa untuk meniadakan DiriNya ? Tentu, pertanyaan ini salah penempatannya. Karena kekuasaan Allah tidak ta'alluq (berkaitan) dengan wajibat (perkara yang mesti keberadaannya), sedangkan Allah itu wajib adanya. Kekuasaan Allah berta'alluq (berkaitan) dengan mumkinat (perkara yang boleh ada atau tiada keberadaannya).

Jika qadar Allah ta'alluq dengan mumkinat, mengapa kita melegitimasi kesalahan-kesalahan kita sendiri menggunakan kata taqdir ? Apakah pantas ?

Mumkinat, perkara yang boleh ada atau tiada keberadaannya. Dalam kata lain, mungkin adanya. Namun, dengan penempatan yang kurang tepat kepercayaan terhadap taqdir, secara tidak sadar kita telah mengubah mumkinat menjadi wajibat. Sekali lagi, coba renungi kata mumkinat. Bukankah jika qadar Allah ta'alluq dengan mumkinat, maka banyak pilihan bagi manusia ? Dan manusia tidak majbur (terpaksa) ?

Kita tidak pernah tahu lauh al-mahfudz, tempat Allah menuliskan qadha' azaliy-Nya. Kita tidak pernah menengoknya. Lantas, apakah pantas engkau seolah-olah mengetahui isi dari lauh al-mahfudz ?

Kita tidak pernah mengetahui pada hal apa Allah menempatkan nama Jabbar-Nya (Maha Pemaksa) bagi kita, kita hanya mengetahui bahwa manusia memiliki berbagai macam perangkat-perangkat untuk menghadapi kehidupan. Tubuh, mata, tangan, kaki, mulut, akal fikiran, hati nurani, jika masih berfungsi dengan baik maka tugas manusia mengoptimalkan fungsinya. Kita hanya mengetahui pula, bahwa manusia dikaruniai beberapa kelemahan. Mudah berbuat salah, berbuat dholim, dan lupa.

Kelebihan-kelebihan yang ada pada diri manusia, seyogyanya digunakan untuk terus berupaya mencari tahu, mumkinat apa yang telah ditetapkan Allah pada kita. Kelemahan-kelemahan yang ada pada diri manusia, seyogyanya digunakan untuk terus berintropeksi diri, apa yang perlu diperbaiki dari diri kita. Pengetahuan tentang mumkinat, seyogyanya diaplikasikan untuk tidak gampang menyandarkan segala sesuatu kepada kehendak Allah.

Engkau tidak pernah menyandarkan sukses tidaknya pada usahamu, itu sudah menunjukkan kadar keimananmu. Engkau tidak pernah mengeluh, tidak pernah berkeluh kesah terhadap musibah yang menimpamu itu sudah menunjukkan kadar keimananmu. Lebih baik lagi, apabila engkau tidak pernah bercerita kepada orang lain mengenai musibah yang menimpamu. Tak perlu, memperbincangkan ini itu sebagai taqdir. Urusanmu hanya berusaha, intropeksi diri, dan menerima apa adanya. Taqdir merupakan urusan Allah, bukan urusanmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun