Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Polah Puan dan Mega Ancam PDIP Rontok

28 Oktober 2020   21:31 Diperbarui: 28 Oktober 2020   21:35 4194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEJARAH Pemilihan Umum (Pemilu) di tanah air mencatat bahwa PDI Perjuangan adalah juara umum dua kali berturut-turut. Yaitu pada Pemilu tahun 2014 dan 2019.

Pada pemilu tahun 2014, partai berlambang banteng gemuk moncong putih ini meraih suara sah nasional sebesar 23.681.471 atau 18,95 persen suara. Lima tahun berikutnya, PDI Perjuangan mampu mempertahankan supremasinya dengan raihan suara sebanyak 27.053.961 atau 19,33 persen suara.

Prestasi menggembirakan buat PDI Perjuangan ini bukan diraih dengan gampang. Sebelumnya mereka harus puasa selama hampir satu dekade lamanya.

Ya, pada saat pemilu tahun 2004 dan 2009, mereka dengan konsisten tidak berbaur dengan rayuan kursi kekuasaan, saat Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Di bawah komando Megawati Soekarno Putri, PDI Perjuangan lebih memilih jadi partai oposisi meski peluang masuk ke ring pemerintahan terbuka lebar.

Konsistensi terhadap sikap politik ini pula akhirnya membawa partai yang menyebut dirinya sebagai partai wong cilik ini menuai hasil. Mereka mendapatkan simpati publik, karena dianggap telah membela hak-hak masyarakat.

Hasilnya, seperti telah disinggung di atas, PDI Perjuangan mampu membalikkan keadaan dengan menjadi kampiun pemilu dua periode berturut-turut. Meski, ini bukan satu-satunya pengungkit. Keberadaan Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu sangat disayangi rakyat Indonesia juga begitu besar kontribusinya terhadap keberhasilan partai 'banteng' dimaksud.

Setelah dua kali berturut-turut menjadi kampiun pemilu, tentu PDI Perjuangan bakal mengejar target untuk yang ketiga kalinya. Target realistis bagi setiap partai manapun, karena seyogyanya dalam politik tidak pernah mengenal kata puas atas raihan yang ada. 

Kalau bisa, mungkin selamanya bisa memperoleh tempat terbaik. Baik di eksekutif maupun legelatif.

Hanya saja menurut kacamata saya, rasanya akan sangat berat bagi PDI Perjuangan mampu mengulang sukses prestasinya tersebut. Setidaknya ada dua faktor penting yang menjadikan partai ini sulit meraih prestasi maksimal.

Pertama : faktor Jokowi.

Diakui atau tidak faktor Jokowi sangat besar dalam mendongkrak prestasi PDI Perjuangan dalam dua pemilu terakhir. Popularitas dan elektabilitas Presiden RI ke-7 ini begitu mengakar di masyarakat saat dirinya diusung PDI Perjuangan maju Pilpres 2014 dan 2019.

Magnet yang dimiliki Jokowi ini pula imbasnya langsung bisa dirasakan oleh PDI Perjuangan. Masyarakat yang memilih Jokowi sebagai presiden RI, secara tidak langsung memilih PDI Perjuangan pula.

Namun, untuk pemilu 2024 mendatang, Jokowi sudah tak bisa lagi ikut dalam pemilihan. Bukan hal mustahil, masyarakat yang tadinya memilih PDI Perjuangan karena faktor Jokowi akan berpaling atau balik kandang ke partai lain.

Kedua : faktor kesalahan internal

Dalam beberapa waktu terakhir, PDI Perjuangan terus menjadi sorotan tajam publik. Pemantiknya beragam. Diantaranya adalah :

1. Dianggap dalang RUU HIP

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sempat dibahas DPR membuat PDI Perjuangan menjadi bulan-bulanan publik. Mereka menganggap PDI Perjuangan hendak menghapus ideologi Pancasila diganti dengan Ekasila atau Trisila.

Akibat anggapan ini, bendera PDI Perjuangan dibakar oleh PA 212 dan Ketua umumnya, Megawati Soekarno Putri sempat dihujat oleh netizen. Tagar tangkap Megawati bubarkan PDIP malah menjadi trending di media sosial.

2. Polah Puan Maharani

Ketua DPR RI ini setidaknya telah dua kali menjadi sorotan tajam masyarakat akibat polahnya yang dianggap tidak mencerminkan public figure. 

Yakni, saat menganggap masyarakat Sumatera Barat kurang pancasilais dan sabotase mikropon yang sedang digunakan anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Irwan Fecho waktu interupsi UU Ciptaker, Senin (5/10/20).

Akibat polahnya itu tak pelak memantik kemarahan masyarakat. Meski mungkin hal itu adalah polah pribadi, tetapi nama Puan tetap tak bisa dipisahkan dengan nama besar PDI Perjuangan.

Artinya, saat simpati masyarakat terhadap Puan Maharani mulai luntur, maka kemungkinan besar berdampak pada partainya itu sendiri.

3. Ucapan Megawati singung milenial

Pernyataan  Ketua Umum PDI Perjuangan yang diutarakan pada hari ini, Rabu (28/10/20) boleh jadi akan sangat menyinggung perasaan Kaum milenial di seantero tanah air. Megawati dengan tegas meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak memanjakan generasi milenial.

Megawati lantas mempertanyakan apa saja sumbangsih yang sudah diberikan generasi milenial saat ini kepada negara.

"Anak muda kita, aduh saya bilang ke presiden, jangan dimanja. Saya mau tanya hari ini, apa sumbangsihnya generasi milenial, yang sudah tahu teknologi, bisa virtual tanpa bertatap langsung, apa sumbangsih kalian untuk bangsa dan negara ini?" kata Megawati dalam acara peresmian Kantor PDIP secara virtual, Rabu (28/10/2020). (Suara.com).

Masih dikutip dari Suara.com, Mega---panggilan kecil Megawati menyayangkan generasi milenial sekarang hanya bisa protes dengan melakukan demonstrasi yang berujung pada perusakan fasilitas umum.  

"Apa sumbangsih kalian terhadap bangsa dan negara ini. Masak hanya demo saja? Nanti saya di-bully ini. Saya enggak peduli, hanya demo saja ngerusak, apakah ada dalam aturan berdemo, boleh saya kalau mau debat," ucapnya.

Mungkin apa yang diucapkan Mega ini ada benarnya. Selama ini banyak para kaum milenial yang melakukan aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan tanpa mengetahui substansi masalah.

Namun, dilihat dari kacamata politik, pernyataan Mega ini bukan hal sepele. Sangat besar kemungkinan berakibat pada merosotnya perolehan suara karena ditinggalkan oleh kaum milenial.

Bila mereka tersinggung dengan pernyataan Mega, mendukung partai selain PDI Perjuangan adalah sebuah keniscayaan. Dan, ini akan menjadi sebuah kerugian besar bagi partai 'banteng'.

Betapa tidak, berdasarkan riset KedaiKOPI yang diolah dari data Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok milenial merupakan pemilih terbesar 37,7 persen pada Pemilu 2019. Sedangkan pemilih pemula sebanyak 12,7 persen.

Artinya, jika digabungkan, kelompok pemilih muda ini lebih dari setengah pemilih di Indonesia. Di setiap Pilkada sebelumnya, angka pemilih milenial maupun pemula memang rata-rata mencapai 60 persen atau yang terbanyak dibanding pemilih kategori lain seperti pemilih perempuan, maupun pemilih dewasa.

Nah, jika dua kelompok pemilih ini memboikot PDI Perjuangan, maka sangat berat untuk bisa mengulang kesuksesan seperti ditorehkan pada dua pemilu terakhir.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun