Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Nyata: Banci Kaleng Jatuh Cinta dan "Jangan Panggil Aku Ujang!"

25 Oktober 2020   17:42 Diperbarui: 25 Oktober 2020   17:53 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SUDAH menjadi kebiasaanku sekitar jam 14.00 WIB, atau kurang suka nongkrong di taman alun-alun Sumedang. Selain melepaskan penat, juga sekalian menunggu adzan solat ashar. Bila waktunya tiba, tinggal melangkahkan kaki. Barang puluhan meter sudah tiba di Mesjid Agung yang memang tak jauh dari sana.

Saat itu, sekitar empat atau lima bulan lalu, aku dan beberapa teman seprofesi tengah ngobrol agak serius di salah sudut taman alun-alun. Tempat itu menjadi pavorit kami berkumpul. Soalnya ada sebuah cafe sederhana yang menyediakan aneka minuman dan makanan. Jadi, sambil ngobrol, kami pun bisa dengan mudah memenuhi kebutuhan isi perut.

Apa yang kami obrolkan saat itu lumayan serius. Perdebatan kecil acap terjadi, karena adanya beda pandangan soal cara menyikapi kebijakan lokal pemimpin daerah, kala itu. Tentu dalam kesempatan ini tidak perlu aku bahas isi dari kebijakan dimaksud.

Tengah asik ngobrol, tiba-tiba datang dua wanita dan duduk tak jauh dari tempat kami. Aku pikir saat itu mereka benar-benar wanita tulen. Penampilan dan raut wajahnya bisa membuktikan itu.

Namun, aku dan teman-teman langsung kaget ketika mereka mulai berbincang. Suara yang keluar dari kedua orang yang kami sangka wanita itu ternyata seorang banci kaleng atau waria (wanita pria). Ibarat kata, wajah serupa Nancy, suara mirip Narji.

Mulai mengganggu

Awalnya kami tidak mempermasalahkan kedatangan mereka. Toh, kami tidak punya hak apapun melarangnya datang ke tempat itu. Bahkan, kedatangannya cukup menghibur dan mampu mencairkan suasana obrolan kami yang memanas.

Akan tetapi, lama-lama perbincangan kedua waria itu cukup mengganggu juga. Mereka benar-benar tak mampu mengontrol bahasanya khas banci kaleng. Kadang sesekali berdendang dengan suaranya yang maaf, "rombeng".

Aku sempat beberapa kali memohon kepada dua waria itu untuk sedikit menurunkan nada suaranya, dengan alasan kami sedang ngobrol serius. Namun, tidak diindahkan. Mereka tetap saja bicara keras dan nyanyi tidak karuan.

Salah seorang temanku yang agak temperamen terpancing. Dia langsung membentak dan menyuruhnya pergi dari tempat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun