Mohon tunggu...
Muhamad Samiaji
Muhamad Samiaji Mohon Tunggu... Konsultan - Berkeliling mencari pengetahuan baru

Menulis sekedarnya, semoga menambah khasah keilmuan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Metromini : Berlibur Karena Stress Melanda

21 Desember 2015   20:59 Diperbarui: 21 Desember 2015   21:03 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By ahun
Jakarta pagi ini terlihat sepi, meski macet masih terjadi namun rasanya itu bisa teratasi. Owh, saya ingat ini menjelang libur panjang akhir tahun. Pantas saja.. terlebih lagi hari ini metromini mogok masal, huih…

Saya bukan pengguna rutin moda transportasi ini tetapi tulisan ini dimotori oleh keringat para supir. Biarpun terkadang saya merasa awas terhadap perilaku mereka (supir) yang suka seenaknya menerobos rambu lalu lintas,mengambil jalur busway, mengebut dijalan raya, hingga aksi balapan bak di sirkuit. Tentunya saya tidak membenarkan perilaku mereka yang beralasan “kejar setoran”. Alasan tersebut terbilang dominan terucap apabila media mulai menyoroti akibat dari perilaku buruk yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Belakangan ini alat trasnportasi ini dibedah oleh media, busmini ini dikupas mendalam bahkan disamakan dengan ambulan atau bahkan keranda jenazah. Tidak hentinya hujatan kepada perilaku buruk sang supir metromini. Dari berbagai kelas ekonomi, social dan juga pemerintahan mencari solusi akan isu ini. Adapun duduk persoalan hanya terdiri dari dua elemen yakni : Apa yang salah moda atau perilakunya?

Jika merunut pada pernyataan kepada bapak gubernur DKI yang berkata bahwa “moda transportasiya sudah tidak layak, maka kita kandangi” dalam penertiban moda yang dijalankan dinas perhubungan berhasil menjaring puluhan metromini tidak layak jalan. Tentunya tindak tegas ini dilandaskan kepada fungsi kelayakan moda transportasi. Entah bagaimana dishub dapat mengandangkan kendaraan tanpa rem tanpa melihat fungsinya ketika berjalan, yang pasti mengandangan bus merah ini mungkin berdasarkan rangka bentuk yang sudah mulai keropos akibat karatan, polusi asap hingga perilaku supir yang tidak mau diatur.

Jika mengacu kepada perilaku “kejar setoran” sebenarnya solusi telah diberikan kepada para supir bus merah ini. Lewat bapak gubernur yang menyarankan agar system ‘kejar setoran’ dihapuskan dan digantikan dengan gaji. Sehingga mereka (supir) tidak harus kwatir akan pendapatan mereka. Gubernur tentunya melandasi solusi ini tidak asal sebut.

 

System kejar setoran diterapkan oleh pemilik bus  merah (cukong/pemilik modal) kepada supirnya. Dengan besaran yang bervariasi mereka (supir) harus membayarkan sejumlah uang dihari itu atas biaya sewa busmini tersebut. Jika tidak mereka mau, apa yang mereka makan ? Belum lagi biaya lainnya seperti bensin, pecah ban, dan biaya perawatan lain yang merka tanggung sendiri. Wajar apabila perilaku rebutan penumpang di jam kantor (07:00 – 10:00  dan 17:00 – 20:00) jarang terjadi karena pada jam tersebuSt beberapa karyawan swasta berangkat atau pulang kerja. Mereka hanya mengebut untuk mencapai tempat yang dimaksud penyewa, hingga akhirnya bus kosong kemudian kembali mengisi bangku kosong. Justru menurut saya, perilaku kebut-kebutan ekstreem terjadi pada waktu diantaranya (11:00 – 16:00) karna secara teori aktivitas massal jarang terjadi pada jam tersebut.
Sebutlah dengan jam kerja yang terbatas hanya 6 jam saja, supir harus bertindak agar uang yang mereka dapatkan maksimal. Sehingga pendapatanya dapat diberikan kepada keluarga untuk dinikmati entah itu sebatas makan ataupun biaya pendidikan. Mengebut bukan satu-satunya cara bahkan beberapa supir dibeberapa trayek sudah tidak menggunakan jasa kenek demi mencukupi kebutuhan hidup.

Lalu bagaimana dengan perawatan bus? Biaya perawatan bus ditanggung sendiri. Jika ban bocor harus ditambal jika sudah menipis terpaksa diganti, jika rem habis terpaksa ganti. Darimana biayanya? Dana pendidikan anak saja sudah sulit, belum lagi kalau sakit. Mereka (supir) bukannya berasalan tetapi tidak ada yang mengajarkan mereka bagaimana mengelola uang dengan baik. Alhasil untuk mencukupi kebocoran dana tersebut mereka mulai mensiasati dengan cara membeli ban second, memantek kopling, merendam rem/mengganti dengan ban, mengelas dan banyak cara lainnya.

Supir hanya anak tiri yang disuruh bekerja oleh orang tua(cukong) tanpa diberikan kasih sayang. Mereka harus menanggung biaya perawatan busmini juga,seharusnya dana tersebut ditanggung pemilik modal bukan pekerja! Sekarang mereka pun bingung mau mogok namun moda transportasi sudah banyak bahkan tinggal pencet via smartphone, belum lagi ini hari libur. Jika hendak mogok kesian keluarga dirumah, jika hendak mengadu kesiapa ke dishub? Atau gubernur? Atau pemilik modal? Sementara mereka (supir) hanya pekerja. Sang ayah(cukong) tidak mau bekerja sama dengan gubernur . Tentunya itu bukan solusi. Padahal saya yakin para istri supir dirumah sedang marah dan sibuk mencari pinjaman untuk makan.
Mogok adalah pilihan yang salah tetapi mau bagaimana lagi? Dengan mereka mogok pun warga ibukota tetap asik berpindah tempat tampa mengiraukan kehidupan mereka. Mungkin dibenak mereka mogok seperi liburan karena terlalu rumit menjelaskan keadaan mereka sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun