Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Alam Feodal

29 April 2011   03:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:16 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Entah apa sebabnya pernikahan William dengan Kate Middleton begitu menarik perhatian. Padahal, acara itu berlangsung di negeri nun jauh di sana. Bahkan media-media besar di sini mengirim reporter terbaiknya guna meliput langsung.

Tapi tidak hanya Indonesia sebenarnya. Negara-negara lain seantero jagat melakukan hal yang sama. Dunia seakan-akan ingin menjadi saksi bagaimanakah pernikahan pewaris kerajaan yang dulu wilayahnya membentang hingga "matahari tidak pernah sampai terbenam" itu.

Kerajaan Inggris yang sadar akan daya tarik itu ingin menyajikan pernikahan yang spektakuler. Mereka tak mau sang pangeran dan putri hanya tampil ala kadar. Kalau bisa, krisis ekonomi yang sedang dialami negeri itu bisa dilupakan sejenak. Lagipula, keuntungan yang didapat toh sebanding.

Namun saya tetap tak menyangka. Dunia sekarang bukanlah negeri monarki. Tahun-tahun belakangan ada beberapa kerajaan berganti menjadi republik, misalnya yang terjadi di Nepal. Tidak pernah kita mendengar hal yang sebaliknya. Itupun hanya sebatas romantisme seperti yang terjadi di Libya akhir-akhir ini. Seperti kita tahu, kelompok oposisi Rezim Khaddafi mengibarkan bendera Kerajaan Libya yang dikudeta oleh Khaddafi. Dan hal itu lumrah saja dalam suatu revolusi yang membutuhkan simbol.

Apakah semata-mata faktor selebritas? Bisa saja. Bagaimanapun, raja, ratu, pangeran, putri masih dijadikan obyek pemberitaan apalagi menyangkut kehidupan pribadi mereka. Di mana-mana para anggota keluarga kerajan diuntit oleh pers atau bahkan lebih ekstrim oleh paparazzi. Mereka jadi buruan.

Tak heran, karena status selebritas itu nilai jualnya menjadi tinggi. Tapi tetap saja timbul pertanyaan: mengapa mereka masih menarik perhatian? Inilah kiranya yang kemudian pertanyaan paling mendasar hingga jawaban dari pertanyaan itu bisa menjawab mengapa pernikahan William-Kate begitu dinanti.

Nostalgia Monarki

Kita bisa merunutnya dari sejarah. Seantero nusantara dulu terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil. Dari Aceh hingga Papua, seseorang ditahbiskan menjadi pemimpin. Kemudian, ketika pemimpin itu mati keturunannya-lah yang meneruskan. Pemimpin itu entah bergelar raja, sultan, dan lain sebagainya. Belum lagi gelar-gelar yang melekat pada istri, anak, cucu.

Nenek moyang kita dulu hidup dalam alam feodal itu. Bagi mereka raja atau sultan itu bahkan memiliki kekuatan supranatural; penghubung antara Tuhan dan alam. Tunduk dan patuh pada mereka berarti melakukannya juga bagi Tuhan. Raja tidak boleh dibantah, petuahnya harus menjadi sabda yang wajib ditaati.

Tapi para raja itu sendiri terbukti tidak berpihak pada rakyatnya. Ketika penjajah Barat datang ke negeri ini, para raja itu dijadikan boneka. Mereka memanfaatkan kesetiaan rakyatnya untuk dikonversi menjadi patuh pada kolonial. Mungkin ada beberapa contoh di mana para raja pada awalnya memberontak. Hasanuddin, Antasari, Gusti Jelantik, Diponegoro beberapa contoh. Raja-raja dan putra mahkota itu tidak mau tunduk dan hanya menjadi wayang kolonial.

Contoh itulah yang sedikit banyak membuat generasi muda didikan Barat alergi dengan apa saja yang berbau feodal. Bagi mereka, feodalisme sama saja dengan tahayul dan pengekangan kemanusiaan. Mereka tinggalkan gelar-gelar yang mereka punya karena yakin bahwa itu semua hanyalah penanda masa lalu. Soekarno menanggalkan gelar "raden mas"; Amir Syarifuddin tidak memakai marga, beberapa contoh. Bahkan ada yang lebih ekstrim seperti Njoto dan Njono yang menghilangkan suku kata "su"  dari nama mereka―Sunjoto dan Sunjono.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun