Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keadilan Sosialnya Buya

27 Mei 2022   20:23 Diperbarui: 27 Mei 2022   20:31 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meninggalnya cendekiawan muslim Ahmad Syafii Maarif begitu menyayat hati. Tengok saja testimoni banyak orang terhadapnya tepat setelah kabar duka itu diumumkan kepada publik pada Jumat, 27 Mei 2022, pagi tadi.

Menurut pengamatan saya, kesan paling ditonjolkan dalam banyak testimoni adalah ketokohan Buya Syafii sebagai ulama sekaligus ilmuwan. Pria berdarah Minang tersebut dinilai masuk dalam kelompok pemikir moderat dan inklusif. Buya berhasil mengonsepkan titik temu antara keislaman dan kebangsaan di Indonesia.

Selain kapasitas pemikirannya, Buya juga didengungkan sebagai teladan dalam berperilaku. Laku hidupnya yang sederhana dianggap langka untuk tokoh sekaliber dirinya. Belum lagi keramahan dan sikap egaliternya dalam menjalin relasi dengan sesama.

Saya tidak punya persentuhan personal dengan Buya. Sebagaimana mayoritas orang Indonesia, perjumpaan saya dengannya hanyalah di 'ruang publik', terutama di kolom opini media cetak.

Setelah membaca tulisan-tulisannya, saya menangkap sejumlah pembeda Buya dengan penulis lain. Pertama, gaya bahasa. Menurut saya, Buya sangat jago menggunakan diksi-diksi unik yang jarang digunakan pengarang lain. Tampak, almarhum menyiapkan betul tulisannya meskipun hanya untuk artikel pendek.

Yang lebih penting lagi adalah konten tulisan-tulisannya. Secara khusus saya melihat Buya konsisten menanamkan titik tekan 'keadilan sosial' entah dari kacamata agama atau Pancasila. Baginya, agama mengajarkan umatnya untuk berbelas kasih dan berbagi. Jika prinsip itu diadopsi betul-betul oleh orang beriman, maka ketimpangan sudah punah dari negeri ini.

Itu kenapa Buya menilai Pancasila belum komplet terimplementasi. Sebab, sila kelima Pancasila masih jauh panggang dari api. Dalam kapasitasnya sebagai salah satu anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila pun Buya beberapa kali mengungkapkan kejengkelannya atas fakta tersebut.

Di hari tuanya Buya tidak berhenti memikirkan problematika tersebut. Cita-citanya, sebagaimana lebih dahulu diimpikan para pendiri bangsa, masih di awang-awang. Sudah lebih dari tiga perempat abad Indonesia merdeka, telah beberapa kali berganti sistem dan pimpinan. Entah sampai kapan kita menunggu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Syukurnya, Buya tidak perlu lagi memikirkannya. Dia telah kembali menghadap Tuhan, sang pemilik keadilan sejati. Selamat jalan, Buya!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun