Mohon tunggu...
Syamsiah
Syamsiah Mohon Tunggu... Insinyur - Trainer

Instruktur TIK Kemenaker RI Love Purple and Eat Purple \r\nwww.syamthing.blogspot.com, \r\nwww.syamhais.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

“Knowing To Drugs”, Ubah Paradigma Narkoba

15 Mei 2015   16:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:01 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di lingkungan baik sekalipun, jika kita tidak pandai memilih teman, kita pun mudah terbawa orang-orang yang negatif. Karena di manapun kita berada, selalu ada orang-orang negatif, sebaik apapun lingkungannya. Sebaliknya, seburuk apapun lingkungan, jika kita sudah punya bekal yang cukup dalam menyaring pertemanan, maka kita pun tidak akan terbawa arus buruknya.

Jadi itu semua kembali ke diri kita sendiri. Bagaimana menyikapi keadaan? Kuatkah kita jika teman-teman kita yang awalnya dekat kemudian malah menjadi musuh hanya karena kita tidak mau mengikuti gaya mereka? Bagi saya, tidak akan merugi kita ditinggalkan kawan seperti itu. Justru beruntung, karena dari situlah kita dapat memulai berteman dengan orang-orang yang sesuai dengan kepribadian kita.

Permasalahannya, sekuat apa seorang anak, remaja, dan kita semua untuk bisa bersikap seperti itu? Di sinilah peran penting keluarga dan sekolah untuk selalu mengingatkan bahayanya. Guru di sekolah tidak hanya mengingatkan bahayanya, tapi penting juga untuk menjaga kedekatan dengan mereka. Penting untuk perhatian terhadap siswa yang suka menyendiri atau jarang hadir. Tidak sekedar konsultasi secara formal, tapi ajak bicaralah orang tuanya.

Di rumah, orang tua juga mesti menyadari tugas mereka. Bukan karena telah menyekolahkan anaknya di sekolah bagus dan mahal, lantas tanggung jawab perkembangan anaknya diserahkan pada sekolah. Tanggung jawab guru memang mendidik, tapi pendidikan anak pertama kali mereka dapatkan dari orang tuanya.

Banyak orang tua yang tidak menyadari, interaksi mereka dengan anak-anaknya menjadi contoh bagaimana sang anak berinteraksi dengan lingkungannya. Bukan menganggap orang tuanya benar, tapi sehari-hari yang paling banyak mereka saksikan adalah perilaku orang tua mereka. Anak secara tidak sadar menyimpan memori perilaku orang tua mereka yang terus berulang dan kemudian masuk dalam alam bawah sadar mereka. Hal inilah yang membuat perilaku baik-buruknya orang tua pasti akan ditiru anak.

Lebih bahaya lagi jika orang tua dan guru di sekolah lebih banyak memberikan larangan dan caci-maki ketimbang anjuran dan pujian. Anak pun menjadi tidak nyaman berinteraksi dengan orang tua dan gurunya. Dan karena teman-temannya banyak yang mengalami hal yang sama, mereka pun lebih merasa nyaman bersama teman ketimbang keluarga.

Dari sinilah awal mula bahaya pergaulan, yang termasuk di dalamnya narkoba. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi pada anak di usia dini karena menurut data BNN, usia awal mereka yang mencoba dan memakai narkoba adalah 9-10 tahun. Para guru di sekolah juga mesti melarang siswa jajan di luar pagar sekolah. Narkoba sudah menyusup di mana-mana, termasuk makanan anak seperti permen-permen.

Pagelaran Seni dan Budaya BNN

[caption id="attachment_365986" align="aligncenter" width="504" caption="Pagelaran Seni BNN"][/caption]

Minggu, 26 April 2015, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyelenggarakan “Pagelaran Seni dan Budaya BNN”. Acara yang diadakan di panggung terbuka di halaman Museum Penerangan ini mengusung tema “Melalui Pergelaran Seni Budaya Kita Selamatkan Penyalaguna Narkoba”.

Tema tersebut sangat erat kaitannya dengan stigma yang beredar di masyarakat bahwa narkoba identik dengan seniman. Atau sebaliknya, seniman identik dengan narkoba. Bahkan beredar rumor bahwa dengan narkoba segala inspirasi seni dapat mengalir dengan mudah. Padahal kasus-kasus narkoba tidak hanya di kalangan seniman atau artis. Kasus narkoba ada di mana-mana. Semua itu bergantung bagaimana sosialisasi yang kita dapat dari lingkungan dan bagaimana interaksi kita dengan mereka. Dan menurut data BNN, pengguna narkoba terbanyak di Indonesia ada di Jakarta (47%).

[caption id="attachment_365987" align="aligncenter" width="504" caption="Perwakilan dari BNN dan Kementerian Pariwisata"]

1431681621995690678
1431681621995690678
[/caption]

“Knowing To Drugs”

Fakta bahwa narkoba selalu berevolusi memang cukup menyusahkan untuk menjerat mereka. Evolusi narkoba ini memang ditujukan untuk menghindari dari jeratan hukum. Selalu dicari sela bentuk yang tidak termasuk kategori yang ada dalam pelanggaran hukum. Oleh karena itu, para orang tua dan pendidik, berbagai elemen masyarakat, dan kita semua tidak perlu menggambarkan terutama pada anak-anak tentang visualisasi narkoba. Yang diperlukan adalah pengetahuan tentang bahaya narkoba, bukan visualisasinya.

Slogan “Say No To Narkoba” mesti diganti dengan “Knowing To Drugs”. Dengan mengetahui, kita dapat mengantisipasi sejak dini. Bukan sebaliknya “Say No To Narkoba”, karena setiap larangan cenderung malah dilaksanakan. Karena otak kita tidak mengenal kata “tidak”, “jangan”, serta kalimat larangan lainnya.

Tidak Ingin Terjerat Hukum? Lapor!

Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang enggan melaporkan diri, teman, atau kerabatnya yang terjerat narkoba. Paradigma yang beredar di masyarakat jika melapor pasti terjerat hukum. Padahal pengguna narkoba bukanlah penjahat, karenanya penjara bukan tempat mereka. Pecandu narkoba yang ingin segera sadar sebaiknya melapor ke pusat rehabilitasi.

Rehabilitasi pun tidak harus rawat inap, bahkan bisa manfaatkan fasilitas publik yang ada. Ada 23  Resimen Induk Daerah Militer (Rindam) yang dapat membantu proses rehabilitasi pengguna narkoba. Pengguna juga disarankan mendatangi Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dan 400 pusat rehabilitasi di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Sosial (Kemensos) untuk mengobati. Jika sudah melapor seperti ini maka tidak akan ditangkap karena terjerat hukum.

Sebaliknya, yang terjerat hukum adalah mereka yang tidak melapor dan terus bersembunyi. Polisi menangkap dan menjerat hukum karena mereka tidak melaporkan diri, terus bersembunyi, dan tak kunjung sadar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun