Mohon tunggu...
Salsabila widyadhari
Salsabila widyadhari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Political studies at UPNVJ

mencoba mencurahkan pemikiran dan keresahan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemikiran Haermas dan Pengaruhnya terhadap Ruang Cyber dan Kebebasan Berpendapat di Indonesia

20 April 2021   09:59 Diperbarui: 21 April 2021   11:29 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Internet dan Media massa membuat proses pertukaran informasi menjadi lebih luas siapapun dapat beropini ataupun berinteraksi terhadap suatu permasalahan warga kini bukan lagi audiens tetapi juga sebagai civil society sering disebut Netizen di dalam media massa platform chatting dan aplikasi menyebabkan terbentuknya ruang pertukaran informasi di media massa atau yang kita kenal cyberspace , Internet terlihat sebagai ruang demokrasi yang ideal lewat komunikasi dan berpartisipasi secara bebas dalam semua forum sosial media. Aksebilitas ysng dapat diakses semua orang dan partisipatif  lewat pembrtukan opini atau wacana . Melalui platform individu dapat berkomunikasi, bertukar informasi, serta dapat menyuarakan pendapatnya di ruang publik digital ini namun realitasnya media massa juga bukan merupakan tempat yang dapat mempresentasikan realitas secara netral artinya sebuah isu dan bagaimana cara pandang masyarakat terhadap sebuah isu terutama isu politik dapat dibentuk oleh elit ataupun orang yang memiliki kepentingan lewat buzzer ataupun penggiat media sosial.

            Konsep tersebut pertama kali diperkenalkan habermas di tahun 1926 dalam buku The Structural Transformation of the Public Sphere di dalam buku tersebut habermas mengkritik rasionalitas ruang publik yang berkembang di abad 17 dimana menurut habermas ruang publik seharusnya dijadikan sebagai tempat pertukaran informasi publik secara rasional namun pada realitasnya ruang publik dikuasai oleh kaum borjuis untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka akan ekonomi yang berpengaruh pada perdagangan kaum borjuis pada masa tersebut forum-forum publik seperti warung kopi, klub, salon, dan table societies Akibatnya ruang publik pada abad tersebut mengalami keterbatasan kebebasan dan didominasi oleh kaum borjuis terjadi inekualitas antar warga negara padahal sistem negara mulai melangkah ke arah liberalisme dan menjujung persamaan yang sama antara seluruh warga negara antara kaum borjuis dan proletar terdapat tiga ideal normatif dalam konsep ruang publik Pertama, ruang publik merupakan ruang  yang menjunjung persamaan status,yang kedua didasari pada kepentingan umum ,bukan kepentingan segelintir orang ,yang ketiga bersifat inklusif artinya siapapun dapat mengakses ruang publik asalkan memiliki opini yang rasional (Habermas,1989: 36-37).

            Seiring berkembangnya ruang publik Akhirnya Habermas menerbitkan buku keduanya yang berjudul Between Facts and Norms book on deliberative politics 1992 Pada buku keduanya habermas membicarakan elaborasi antara  ruang publik hukum dan demokrasi. Bahwasanya demokrasi yang dihadirkan ialah demokrasi deliberatif dengan fokusnya pada isu legitimasi politik ruang publik menjadi politik formal dan informal. Bahwa politik formal sebagai area institusional dari komunikasi sebagai tempat bagi para pembuat keputusan, misalnya legislatif, partai politik, kabinet. Sementara, politik informal bukan sebagai pengambil keputusan, melainkan memiliki peran dalam membangun jaringan komunikasi dan diskursus dalam proses pembentukan opini maupun sudut pandang, sehingga dalam melakukannya ini disebut ruang publik. Dalam skema sistem politik, politik informal (masyarakat sipil) menyuarakan pendapatnya agar didengar oleh kelompok formal, yang sekaligus saling bersinergis dalam pembentukan kehendak politik masyarakat. (Habermas,1996:78).

            Pada keterkaitan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat terutama di ruang cyber di Indonesia mengambil salah satu platform yang masih aktif banyak digunakan di semua kalangan di Indonesia facebook pengguna Facebook terbesar kedua dunia dengan total pengguna mencapai kurang lebih 140 juta pada 2020 ,facebook menjadi medium  ide dan sirkulasi info yang berperan penting dalam pengembangan rasionalitas publik.lantas apakah facebook public sphere? Ya tentunya facebook merupakan ruang inklusif bila orang melemparkan sebuah wacana dan ada yang menanngapi maka wacana tersebut bertransformasi menjadi opini publik ,sampai pada titik ini facebook dijadikan sebagai medium penampung kepentingan umum yang tersedia melaui hastag ataupun forum berbeda sub Secara umum, karakterisik aksesibilitas yang tidak terbatas bagi siapa saja karena semua orang bisa mendaftar memiliki kebebasan untuk berlama-lama posting di forum yang ada di facebook dan bebas untuk berbicara mengenai masalah apapun. Perbincangkan yang dihadirkan pun  pun beragam, dari tema serius seperti isu sosial politik sampai  perbincangkan ringan.

            Kebebasan berpendapat dan berekspresi semakin dikekang oleh UU ITE dan Polisi Cyber polri yang baru baru ini gempar dibicarakan melihat pola perilaku masyarakat Indonesia dalam beropini memang masyarakat Indonesia cenderung aktif di Isu /wacana politik di Indonesia sangat ramai diperbincangkan di facebook dikarenakan masyarakat yang pluralisme dan beragam sebuah Isu politik seringkali dibenturkan dengan isu lainnya dan menyebabkan perdebatan sengit terutama ketika Proses pemilihan berlangsung para pendukung dan lawan akan menggunakan facebook sebagai medium untuk menjunjung calon pilihannya dan mencaci maki calon lawan ,memang tidak ada aturan khusus dalam berpendapat di dalam facebook /media massa lainnya namun yang perlu diperhatikan setiap individu yang ada didalam media sosial adalah dengan tidak flamming (provokatif atau mengadu domba), terutama isu SARA Kekurangan public sphere dalam media massa  yaitu informasi terkadang tidak dapat dipercaya sumbernya, informasi yang disampaikan digunakan demi kepentingan pribadi/segelintir orang/kelompok, informasi dengan tujuan komersial, memberikan informasi yang bersifat pribadi, memberi informasi dengan tujuan pencemaran nama baik, membicarakan hal kecil yang sengaja di besar-besarkan

            Menangapi bagaimana Negara mengintervensi kebebasan warga negaranya dalam berpendapat mengingatkan kita pada gagasan habermas di dalam buku ST bahwa Ruang publik masih bergantung pada negara, sebab kenyataannya negara akan selalu intervensi ruang publik dan masyarakat sipil, misalnya menjaga keamanan dan ketertiban, penyediaan infrastruktur, maupun pemberian jaminan akan hak-hak sipil. Hal ini menyebabkan ketegangan atas konsep ruang publik yang nilai-nilai idealnya (kesetaraan, inklusif, dan kepentingan umum atau rasionalitas) hanya sebagai fiksi atau harapan belaka ,dalam niat menjaga keamanan dan ketertiban mengabaikan hak masyarkat sipil atas kebebasan berekspresi dan berpendapat yang paling menghawatirkan adalah kematian pakar di Indonesia apabila sebuah pakar berkomentar atau mengeluarkan opininya terkait keahlian yang ditekuninya maka pengguna media yang merasa opini yang dikeluarkan tidak benar langsung menyerang dengan komentar tidak baik dan diksriminasi yang amat kental ,apalagi jika pakar tersebut juga berafiliasi dengan partai politik,sedangkan pendapat seseorang yang secara gamblang menyerang suatu elite politik tertentu misalnya juga akan terancam dipenjarakan dengan UU ITE dan polisi Cyber padahal dalam konteks ruang Publik semua itu adalah bagian dari kebebasan beropini.

       Masyarakat tetap membutuhkan ruang partisipasi keterjaminannya harus dipenuhi oleh pemerintah dan dewan representasi rakyat  Kebebasan partisipasi  lewat media dan memperoleh informasi juga merupakan pilar  demokrasi deliberatif dimana mengedepankan peran aktif masyarakat . kebebasan bermedia massa jika tidak ditegakan masyarakat menyebabkan kemandetan demokrasi lemahnya partisipasi rakyat dalam berpolitik dan bernegara.Dapat dikatakan ruang publik dalam politik informal tempat dimana jaringan komunikasi dan diskursus dalam proses pembentukan opini maupun sudut pandang di dalam media massa /ruang cyber belum mampu menghadirkan ruang publik yang rasional dimana pendapat dan opini dapat dipertukarkan dengan bebas .Pembatasan dan intervensi kebebasan lewat UU ITE dan Polisi Cyber polri dalam menjaga keamanan atau mungkinkah  pemerintah dan elit justru sebenarnya  menginginkan degradasi public sphere dimana keinginan masyarakat tumbuh dengan budaya masyarakat konsumtif daripada masyarakat kritis terhadap apa yang disajikan oleh media massa.

Referensi

Habermas, Jrgen. 1996. Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, William Rehg (terj.). Cambridge: MIT Press

Habermas, Jrgen. 1989. The Structural Transformation of Public Sphere: An In- quiry into Category of Bourgeois Society, Thomas Burger (terj.). Cambridge: Po- lity Press

Calhoun, Craig. 2010. The Public Sphere in the Field of Power. Social Science Histtory 

Midgley, David. 2012. Beyond Habermas: Democracy, Knowledge, and the Public Sphere. London: British Library

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun